"Aku berharap, kehidupanku akan berubah pada detik ini juga. Akan tetapi, tidak semua hal semudah membalikkan tangan. Perjuangan tidak pernah lepas setiap usaha yang kuinginkan." -Rara
***
Hari ini pun telah tiba, mengharuskan Rara pergi meninggalkan Simbok dengan sangat berat hati. Air mata sejak tadi tak bisa ia bendung membuat matanya membengkak dengan hidung yang memerah. Simbok hanya bisa pasrah merelakan Rara demi kebahagiannya.
"Mbok, Rara bakal kangen." Simbok hanya bisa mengelus punggung Rara untuk menguatkan dirinya. Rasanya berat sekali harus berpisah setelah lama menjalani hidup bertahun-tahun apalagi dengan anak satu-satunya.
"Simbok cuma bisa ngasih kamu ini. Disimpen, itu peninggalan Simbok satu-satunya." Simbok memberikan sebuah kalung dan di sana terdapat foto Simbok dan Bapak. Semakin deras pula tangis Rara membuat dada Simbok semakin sesak.
"Sudahlah, bereskan barang-barangmu, nanti ketinggalan." Rara mengangguk dan segera mengangkat tasnya ke luar dan langsung diangkut oleh beberapa bodyguard milik Pak Wendi. Ia sudah ditunggu sejak setengah jam lalu, tapi hatinya belum kuat untuk meninggalkan Simbok. Rasanya seperti kehilangan Bapak dulu, pikir Rara.
"Ayo berangkat, Nduk. Kasian sudah nunggu dari tadi."
Rara semakin mengeraskan suara tangisnya. "Huaa, Simbok mengusir Rara, padahalkan Rara mau lama-lama sama Simbok," rengek Rara membuat Simbok merasa kesal dengan sifatnya yang sangat kekanakan. Bagaimana ia bisa hidup dengan sifat yang seperti itu.
"Kamu ini, katanya sudah dewasa, kok gak mau pisah sama Simbok. Mau disamakan dengan bocah lagi?" Rara menggelengkan kepala dengan bibir yang mencebik. Ia mengelap ingusnya dan meneguhkan hati.
"Rara pergi, Mbok. Assalamualaikum." Simbok tersenyum dan mencium kening putrinya itu. "Waalaikumsalam."
"Rara pergi loh," ucap Rara sambil melangkah pergi, namun kepalanya masih menoleh ke belakang.
"Ya udah pergi sana!"
Setelah Rara benar-benar pergi. Simbok langsung jatuh terduduk. Kakinya serasa tak bertenaga, betapa sakitnya kehilangan orang yang dicintai. Kini Simbok hanya tinggal sendiri di rumah yang begitu sepi.
Rara masih diam sambil menatap ke luar jendela mobil. Ia teringat kenangan bersama Simbok saat ia melihat sawah dan sungai. Baru sebentar ia pergi, mengapa sudah rindu.
"Rindu Simbok ya, Neng?" Suara itu lantas membuat Rara terpelonjat kaget dan melihat seorang wanita yang sepertinya sama dengan umur Simbok. Rara mencoba tersenyum walaupun rasanya kaku.
"I--iya," jawab Rara seadanya. Wanita itu tersenyum tulus.
"Saya pembantu di rumah Pak Wendi. Panggil saja saya Mbok Um."
"Rara, Mbok."
"Namamu bagus, semoga Tuan Muda suka denganmu." Saat itu juga mata Rara langsung membulat. Ia terpikir dengan calon yang akan menikah dengannya, seperti apa dia?
"Mbok, ngomong-ngomong Tuan Muda yang Mbok sebut itu siapa?"
"Dia---"
Seketika mobil berhenti, mereka telah sampai di depan gerbang sebuah rumah yang luasnya hampir seperti sawah yang sering Rara kunjungi di kampung. Mata Rara tak berkedip sedikitpun melihat megahnya istana yang akan ia tapaki.
"Mari saya bantu, Non." Mbok Um segera membantu Rara dan berjalan memasuki rumah.
Rara melepas sendalnya membuat Mbok Um sedikit tertawa kecil. "Non, pakai saja sandalnya, tidak usah di lepas."
"Nanti lantainya kotor, Mbok. Sayang, sudah kinclong seperti ini." Tawa Mbok Um semakin pecah dan hanya geleng-geleng kepala. Rara hanya menyengir layaknya kuda sambil menunduk malu.
"Orang kampung, ya?" bisik salah satu pembantu lainnya. "Iya, lihat saja penampilannya. Katrok."
Mbok Um langsung menatap mereka, tajam. "Hei! Kalian mau saya adukan ke Tuan?!" Mereka pun langsung pergi dan mulai mengerjakan tugas masing-masing. "Dasar!"
"Ndak papa, Mbok. Sudah biasa, wong aku memang ndeso." Rara tersenyum lebar seakan ucapan yang ia dengar tidak membuat dirinya sakit hati.
"Kurang ajar namanya, Non. Sudahlah, mari Mbok antar ke kamar." Rara membalas dengan anggukan kecil dan tersenyum manis.
Ketika memasuki lantai 2, ia melihat sosok lelaki yang baru saja memasuki kamar yang tidak jauh dari kamar yang akan ia tempati. Dilihat dari tubuhnya, Rara seperti tidak asing lagi. Ia seakan pernah bertemu, tetapi siapa?
"Mbok, dia itu siapa?"
"Stt! Jangan keras-keras ngomongnya. Itu Tuan Muda Alkana Devandra calon suamimu."
Rara melongo, jadi dia orangnya. Rasanya Rara pernah bertemu dengan orang itu. Tetapi, ia tidak ingat karena hanya melihat punggung laki-laki itu saja.
"Ya sudah, istirahat ya, Non. Mbok tinggal dulu." Rara membalas anggukan lalu tersenyum. Segera ia membereskan baju-bajunya dan menyusun di lemari yang telah disediakan.
"Begini ya hidup di kota? Jangankan rumah, isinya pun kayak istana." Rara menyelusuri setiap barang yang ada di kamarnya itu. Bahkan, luasnya hampir sama dengan rumahnya sampai ke dapur. Sungguh menakjubkan! Ah, Rara jadi keinget Simbok.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Muncul seorang wanita berpakaian elegan, mewah dan rapi. Ia tersenyum ramah sambil berjalan dengan wibawa seorang wanita karir.
Beberapa pembantu membawa pakaian yang cukup banyak di tangan mereka masing-masing. Wanita itu memerintah hanya dengan jari-jarinya yang bergerak. Rara hanya terdiam menatap setiap pergerakan orang di hadapannya.
Andriana Hirata adalah sosok perempuan pebisnis, juga istri dari Wendi Alkana. Ia dikenal banyak orang karena wibawanya yang tangguh dan sosok wanita tegar. Prestasinya dikenali banyak perusahaan dan mempunyai cabang yang tidak sedikit.
"Selamat datang di keluarga Alkana, Rara." Rara tersenyum dan langsung membungkukkan badannya.
"Terimakasih."
Riana tersenyum miring. "Angkat kepalamu." Rara langsung menurut dan berdiri menatap wanita itu, kaku.
"Santai saja, di sini kamu akan diajarkan banyak tentang tradisi, adab, cara berpakaian dan kecantikan. Kamu bisa bertanya kepada, Mbok Sun atau Sila."
"Siap, Nyonya!" jawab Mbok Sun dan Sila bersamaan.
Rara sedikit bingung sambil mengerutkan keningnya. "Apa semua wajib kuketahui?"
Riana terkekeh kecil. "Sebentar lagi kau akan jadi bagian dari keluarga ini. Bersikaplah layaknya manusia terpandang jangan membuat kesalahan di depan banyak orang. Apalagi membuat malu keluarga. Belajar dengan baik dan mempraktikkannya. Aku tidak ingin ada kesalahan dan laporan bahwa kau tidak menurut."
Rara mengangguk paham sambil mengerjapkan matanya. "Baiklah, Rara akan berusaha, Nyonya!" tegasnya penuh keyakinan.
Dahi Riana berkerut. "Nyonya?"
Rara terkejut. "Eh! Apa salah?" Ia tidak tahu harus memanggil apa. Bahkan, ia bingung harus bersikap seperti apa.
"Hei, kau akan menjadi menantuku. Panggil saja aku Bunda seperti Devan memanggilku."
Rara mengerti. "Baik, Bunda."
"Good, I like it! Baiklah, Mbok Sun dan Sila bantu Rara bersiap untuk makan malam nanti. Rias dia dengan benar, jangan membuat kecewa." Riana mengedipkan sebelah matanya.
"Baik, Nyonya."
#Bersambung
Wah, udah jadi nona besar, nih. Mari ikuti terus ceritanya. Kira-kira, siapa ya Devan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rara Love Scene
RomanceRara adalah gadis desa yang memiliki sifat kekanakan walaupun umurnya terbilang dewasa. Pernikahan terjadi karena sebuah perjanjian, mengharuskannya pindah meninggalkan Simbok beserta orang yang ia kagumi sejak SMP. Tidak ada cinta yang hadir dikedu...