Aku menarik kedua tanganku yang terikat kuat di sisi ranjang besi.
Melengkungkan punggung yang nyaris membeku. Dadaku bergemuruh.
Merasakan nyeri yang tak terkira di buku-buku jari. Rasanya lengket, ngilu, dan perih. Pergelangan tanganku akan kebas dan memar. Tampak membiru dan kotor. Entah untuk berapa lama. Mataku melirik dengan susah payah ke ujung ruangan. Masih terkunci.
Aku mengembuskan napas lega. Jantungku mulai berdetak dengan teratur. Emosi perlahan mulai terkendali. Ini lebih baik. Aku harus melenyapkan rasa sakit itu jauh-jauh. Hingga tak ada apapun yang bisa kurasakan nanti.
Aku baik-baik saja. Aku akan tetap sehat, hidup, dan bahagia.
Aku merapal dua kalimat itu seperti mantra.
Tapi, entah hingga kapan. Jarum jam yang bergerak terasa berlari-lari. Berkejaran. Suaranya berdetak seperti jantung manusia. Membuat gendang telingaku terasa penuh.
Cahaya temaram dari balik jendela lebar di samping tempat tidur begitu menyilaukan mata. Kelambunya, berderak-derak karena embusan angin. Memantulkan bayangan gelap memanjang. Membentuk siluet serupa lorong-lorong maya.
Mataku memicing. Mencari lagi bayangannya. Kosong.
Aku baru bangun setelah kesadaranku menguap entah berapa lama. Mungkin satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tak bisa ditebak.
Ia menyeretku ke sini. Membanting tubuhku yang ringkih ini. Lalu mengunci pergelangan tanganku dengan borgol dari stainless steel yang kaku dan dingin.
Sepoi angin, seperti mencabik sekujur tubuh. Berpakaian seperti ini, di sebuah kamar besar yang gelap, dan kosong, serta jendela setengah terbuka yang menghadap ke arah danau, membuat hawa yang masuk terasa seperti gumpalan-gumpalan es.
Rambutku yang kusut dengan jepit mutiara, terasa lengket di kepala, memudar perlahan. Anak-anak rambut menusuk-nusuk kulit wajah. Aku menggelengkan kepala. Menyentak helai-helai rambut itu agar tersingkir dari pipi, hidung, dan mataku.
Bahkan untuk merapikan rambut, aku tak bisa.
Aku melenguh kesal. Gigiku bergemeretak marah.
Begitulah keadaanku, saat ini.
Aku menggerakkan kepalaku. Mengusir rasa pening yang tiba-tiba menyerang. Lalu, kudengar Langkah-langkah kaki mendekat. Dadaku berdebar cepat. Apa lagi yang akan dilakukannya?
Tanpa kuperintah, kulit tubuhku meremang. Wajahku terasa panas. Mataku perih. Aku melihat embun. Iya, aku melihat embun, hingga semua ornamen di ruangan ini samar.
Bayang-bayang dari bawah pintu besar terasa pudar.
Apa ia akan menyiksaku lagi?
Ohya, aku bisa meminta segelas air padanya tentu saja. Tenggorokanku terasa amat kering. Terasa seperti pasir. Tak ada air. Aku butuh air.
Pintu kayu mahoni yang berat dan kuno itu tiba-tiba berderit. Rasanya seperti mendengar kayu diseret-seret, begitu memekakkan telinga. Aku mengernyit. Membasahi bibirku yang begitu terasa kering.
Aku ingin segelas air.
Ruangan besar ini tiba-tiba menggema. Sesosok tubuh tinggi dengan dada bidang dan wajah menarik tersenyum dan mendekat padaku. Aku memalingkan wajah. Dialah Bram Winata. Lelaki yang harusnya melindungiku, tapi malah membuatku seperti ini.
Mungkin ini salahku. Iya, salahku karena aku bukan istri yang baik dan patuh. Itu kata Mas Bram jika ia akan menghukumku.
Ia akan memberiku sanksi jika aku melakukan kesalahan. Rasa-rasanya aku ini istri yang sangat bebal, karena tiada hari tanpa kesalahan. Kecuali, jika Mas Bram mengundang kolega-koleganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Wife (18+)
Misterio / SuspensoCerbung ini tayang di Fizzo dan bisa dibaca gratis sampai tamat. 🥳 Cari akun Puspitalagi di sana yes! Happy reading, Dears. ........ Di bawah rinai hujan dan payung merah ia pernah jatuh cinta pada seseorang. Namun, ketika pernikahan impian beruba...