Dan disinilah gue, duduk di kantin kantor pak Wendra, bareng Sandy. Sandy Madhava. Junior gue jaman kuliah. Gue dan Sandy dekat awalnya karena gue adalah bagian kesehatan waktu ngurusin OSPEK di kampus. Dan Sandy adalah manusia yang langganan gue urusin karena dia punya tekanan darah rendah. Bener. Ini anak sering banget pingsan.
"Sehat kak?" Sandy ngeletakin jus jeruk di hadapan gue. Sumpah ini anak bahkan masih inget gue suka apa. Astaga.. Maafin gue San. Dulu lo bocil banget soalnya.
"Sehat. Lo gimana kabarnya?"
"Ya gini. Jadi bawahannya kak Wendra di kantornya kak Wendra."
"Wendra kakak lo?"
"Heum. Kakak kandung, kalo lo penasaran."
Dan kami berdua hening. Nggak tau mau mulai percakapan darimana dan mau ngomongin apa. Jujur aja. Sebagai pacar dulu, Sandy ini baik banget. Meskipun umurnya lebih muda dari gue, tapi dia cukup ngemong. Anaknya humble. Tapi saking humble nya, dia kadang lupa kalau punya pacar. Semua yang nempel sama dia ya dia nggak permasalahin. Mau ada gue atau enggak.
Gue adalah perempuan cemburuan. Oh hell siapa sih yang nggak posesif sama pasangannya sendiri? Nah karena gue nggak suka sama sifat dia yang terlalu "ramah" itu lah akhirnya gue memutuskan untuk menyelesaikan hubungan gue sama Sandy. Kita putus baik-baik kok. Cuma ya gitu. Karena Sandy cukup terkenal di kalangan mbak-mbak di kampus, gue dianggap "habis manis sepah dibuang" terhadap Sandy. Iya. Nggak ngerti juga sih gue tapi ya begitu gue di cap buruk.
"Kak. Gue belum minta maaf secara jelas ke lo."
"Hah? Kenapa?"
"Inget waktu kita putus kan? Gue nggak tau kalau ternyata setelah itu lo diomongin orang-orang di belakang gue."
"Oh hahaha udahlah San. Udah lewat juga. Gue udah nggak mikirin lagi soal itu."
"Hehe iya kak. Gue Cuma belum minta maaf lagi aja ke lo. Karena gue tau itu juga setelah lulus kuliah." Gue nggak sadar kalo dia tau soal itu setelah lulus. Gue kirain dia tau tapi bodoamatan gitu. Ternyata enggak.
Dan kami diam lagi.
"Kak."
"Iya San?"
"Bagi kontak lo dong."
.
.
.
Dan hari ini. Di minggu pagi di dalam kamar gue, ada Dimas dan Mas Satria. Dateng barengan, muka bete dua-duanya sambil tangan megang sirup rasa jeruk yang barusan gue buatin. Manatau bisa bikin adem.
"Jadi... Kalian berdua kenapa? Dan kenapa harus ke rumah gue? KAMAR gue?" Mereka diem. Nggak saling liat. Mas Satria minum pelan sirupnya sementara si bocah nenggak langsung sampe abis. Untung nggak kesedak ini anak.
"Masa gue dimarahin dia karena tiap hari ke rumah lo!" Dimas nunjuk mas Satria dengan kesal. Nah kan.. masalah sepele. Tapi dua bersaudara ini bisa bikin seakan-akan salah satunya adalah pengedar obat terlarang. Pusing nggak?
"Ya gimanapun lo tiap hari datengin kamar perempuan. Mana bukan muhrim lo lagi."
"YAUDAH GUE JADIIN MUHRIM!"
"MULUTNYA!" Gue dan Mas Satria teriak barengan tanpa sadar, dan siap itu liat-liatan. Gue cengo. Mas Satria juga. Dimas udah kayak pengen lompat dari jendela saking gedeg nya.
"Mbak lo kok nggak mau sih??"
"Bukan nggak mau Dim.. Gue—"
"Sekolah dulu lo yang bener, bocah. S2 aja baru mau mulai, udah mikirin nikah. Mau ngasih anak orang makan apa lo? Daun pepaya?" Jitakan Mas satria kena langsung ke pucuk kepala si bontot. Sakit itu pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Let's Love II Day6 Fanfiction ✔
FanficKetika kita menyadari, bahwa urusan perasaan tidak pernah segampang yang terlihat Dan saat semua terjadi, apakah waktu bisa diulang? Apakah kesabaran dalam memendam bisa diungkapkan? --------------------- Alternate Universe of Yoon Dowoon x OC x Par...