#004 【𝓣𝓱𝓮 𝓜𝓮𝓶𝓸𝓻𝓲𝓮𝓼】

55 4 0
                                    

.
.
.
.
.
.






"Abia, ayok main masak-masakan" itu Gerald yang berbicara. Tengah berdiri di depan pintu masuk rumah Abia dengan menggendong tas berisikan peralatan memasak dari bahan plastik milik mereka. Mengajak gadis kecil berusia 10 tahun itu bermain seperti biasa keseharian mereka.

"Sebentar aku mandi dulu"

Abia kecil sedikit berteriak menjawab ajakan temannya itu. Dan dibeberapa menit selanjutnya, Abia berlari kecil keluar dari rumahnya menghampiri Gerald yang tengah duduk menyusun peralatan memasak mereka.

" Aku udah selesai nih, kamu mau masak apa? Aku mau goreng telur aja deh."

"Kamu hari-hari goreng telur terus, Bi? Ga takut bisulan?"

Abia memberengut kesel mendengar ucapan temennya. Kan telurnya ga dimakan beneran, gimana mau bisulan? Pikir Abia.

"Ger, di panggil Bunda tuh. Pergi dulu sana."

Anak laki laki yang baru datang itu langsung duduk di samping Abia-memperhatikan dalam raut wajah Abia yang sedang berpura-pura menggoreng telur di dalam penggorengnya. Dengan gerakan cepat, anak laki-laki itu mengecup pelan pipi kiri Abia. Membuat gadis itu membelalakan matanya terkejut. Dan sedetik kemudian Abia sudah menangis kecil.

"Eh kok nangis? Abia kok nangis?"

anak laki-laki itu terlihat panik. Pasalnya, ia tidak menyangka Abia akan menangis, dan itu karnanya.

" Aldrin jahat"  Dengan terisak dan menutup wajahnya, gadis itu menjawab.

"Mas Aldrin....." diujung pintu terlihat Gerald yang berdiri kaku dengan mata yang membulat. Menyaksikan semua yg di lakukan oleh Masnya itu.

"Bundaaaaaaa..."

Gerald berteriak, membuat Aldrin panik dan buru-buru menghampiri adiknya, membekap mulut adiknya dengan telapak tangannya.

"Ger, jangan kasih tau bunda. Gerald minta apa? Biar Mas beliin."

"Ice cream"

pada dasarnya anak kecil tetaplah anak kecil yang akan melupakan segalanya jika sudah di janjikan.

"Okay ice cream. Besok mas beliin ya."

Aldrin tersenyum ke arah adiknya. Gerald mengangguk lalu kembali duduk di samping Abia. Begitu juga dengan Aldrin.

"Mas, kenapa tadi mas cium pipi Abia?"

Gerald kembali membuka obrolan. Membahas hal yang sebelumnya terjadi. Itu juga karna Gerald yang penasaran dengan apa yang di lakukan masnya. Setaunya, Aldrin ga akan pernah mencium seseorang kecuali bunda.

"Mas suka Abia ya?"

lanjut Gerald sedangkan Abia sudah tertunduk malu. Wajahnya semerah tomat sekarang. Aldrin mengangguk-mengiyakan pertanyaan adiknya

"Mas suka Abia, mas ga suka kalo Abia bahas Esa terus kalau lagi cerita sama Gerald. Ada Aldrin, Bi. Sama Aldrin aja ya? Jangan sama Esa."

Aldrin memiringkan tubuhnya menatap Abia dalam dengan tatapan memohon, sedangkan Abia masih tertunduk. Pipinya semakin memerah sekarang. Semuanya karna Aldrin.

"Kok Abia ga jawab?"

ada sedikit kecewa di nada bicara Aldrin. Matanya mulai berkaca-kaca. Sepertinya dia akan mulai menangis karna pernyataan cinta nya tertolak.

" Abia mau kok, Al. "

satu kalimat final dari si gadis yang masih tertunduk malu. Membuat Aldrin tersenyum hingga matanya menghilang. Anak laki-laki itu mulai melompat-lompat bahagia seperti baru saja mendapat hadiah impiannya. Aldrin tertawa lepas merasa bangga karna sudah berhasil memiliki Abia.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gadis manis bersurai panjang itu tersenyum ketika mengingat kembali masa kecilnya itu, sembari membuka lembar selanjutnya dari buku hariannya. Ada rasa rindu yang terpancar dari matanya. Ntah bagaimana akhirnya, Abia pun tidak tau. Yang ia pahami saat ini adalah, itu hanya sebuah kisah cinta anak kecil umur 10 tahun. Dan sampai saat ini, Abia sudah tidak lagi bertemu dengan Aldrin si cinta masa kecilnya itu. Ntah kemana Aldrinnya itu pergi. Ada yang bilang ia terbang ke penjuru dunia,  ada yang bilang ia menetap di satu kota yang jauh dari kota asalnya. Tidak tau pastinya. Dan jelas setelah membaca kembali, ia merasa merindukan Aldrinnya.

Bel rumah nya berbunyi. Menyadarkannya dari kenangan masa kecilnya dan segera berjalan menghampiri pintu rumahnya.

"Siapa...?"

Abia mematung, matanya membulat melihat sosok Pria tinggi didepannya. Wajahnya tampan terlihat kecil. Rambutnya berwarna hitam pekat dengan mata elangnya yang ikut membulat saat ia melihat siapa yang membukakannya pintu.

Ini Aldrinnya. Cinta masa kecilnya. Tapi apa yang di lakukan Aldrin disini? Tau darimana dia rumah Abia?

Untuk sesaat, Aldrin dan Abia hanya terdiam saling memandang. Mungkin dengan hanya memandangi satu sama lain bisa membuat kerinduan di antara keduanya sedikit berkurang.

Aldrin tak menyangka ia bisa bertemu Abianya lagi. Abianya terlihat lebih cantik setelah sekian lama. Jantungnya berdetak tak biasa. Lebih cepat dari sebelum saat pertemuan tak terencana mereka. Aldrin mengulum bibir nya. Berusaha menyembunyikan kebahagiaan dalam hatinya. Menahan diri untuk tidak langsung menerjang Abia dengan pelukan rindu. Tidak! Mereka sekarang seperti orang asing kan? Iya tentu, sudah belasan tahun tidak bertemu dan itu cukup membuat mereka menjadi asing.

" H-Hai ! "

hanya satu kata yang keluar dari Aldrin. Dengan lambaian tangan singkat dan senyum canggungnya.

" Hai, Aldrin. "

balas Abia, menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.

Dan sedetik kemudian, suasana kembali canggung. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Sampai satu suara menyadarkan mereka.

"Sayang, Siapa yang datang?"
.
.
.
.
.
End

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Library of Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang