Titisan hujan merangkap rindu. Beradu dengan angin yang berhembus seperti napas para manusia yang bingung dan tidak tahu. Tuturan kata yang terbata hanya demi merangkai hubungan semalam. Rasa yang sudah lama redup dan ternyata menjadi diam-diam menggenggam. Ingin melipat gandakannya menjadi 1001 malam. Sipu yang belum tersapu, senyum yang semakin terasa pilu dan mengkaku. Tertawa kecil karena tidak ingin canggung semakin membebani punggung. Akhirnya, wanita itupun ikut tertawa. Dian namanya.
Hatinya tertahan, ingin mengungkapkan hal yang sulit sekali diugkap. Kata-kata itu tidak mengenal situasi dan perasaan saat ini. Masih sayang dan enggan melepaskan, keegoisan dunia akan memilikinya terus terombang basah di kepalanya. Darsa namanya.
Pelan Darsa meregangkan jemarinya, bergerak menuju tangan-tangan harapan di hadapannya. Iya, mereka sedang berada di sebuah tempat kopi katanya. Darsa yang bersi keras memaksakan kehendak diri dan keegoisan nurani. Satu, dua, dan akhirnya, tiga. Jemarinya menyentuh harapan itu. Menatap dan kemudian saling bertatap. Tersenyum, kemudian salah satu lawan bicara itu sedikit bingung.
Darsa, menyatakan resah gulananya. Kalimatnya memenugi langit-langit denai yang sedari tadi mengintai. Bulan tertutup awan, begitu juga senyuman kecil tadi, tertutup asan. Dian mengerti, kemudian tersenyum dan berkata, "Darsa, ini bukan akhirnya, tetapi juga bukan pengawal dari sebuah cerita. Lalu yang berlanglang sudah menyebrang ke ruang-ruang tenang. Darsa, kita habiskan malam ini dengan saling tersenyum dan berbicara, kemudian pulang dan melupakan waktu-waktu yang terlalu ambigu."
Sudah, malam itu lewat begitu saja. Dian yang lekas pergi dan Darsa yang ingin berembuk kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dian dan Darsa.
RomansaKelam dari Darsa, terlalu sukar bagi Dian. Malam yang ditempuh memang terlalu jauh dari rasa hangatnya rengkuh. Gelap dan dingin sudah lama menjadi selimut tanpa kain. Dingin.