Bab 5

44.8K 1.2K 9
                                    

Dilra masih merasakan inti miliknya perih, bergerak sedikit saja membuatnya sangat kesusahan. Dilra hanya mampu menggeliatkan tubuhnya lalu menoleh ke arah nakas, rupanya malam sudah berganti pagi, sinar matahari menyambutnya hangat. "Rupanya sudah pagi." Dilra beranjak bangun, "Aww." Ia sedikit meringis.

Dari arah luar Sesil setengah berlari menghampiri, "Apa kau baik-baik saja?" Ia kembali dengan mode khawatir.

"Aku baik-baik saja, cuma ada sesuatu yang perih." Lirihnya dengan berlalu dari hadapan Sesil.

"Sebaiknya kita ke dokter." Sesil mengajukan permintaan dan sudah seharusnya mudah di tebak jika Dirla akan segera menjawab.

"Tidak usah, kau ingin aku malu?" Dilra menepisnya, ia tak ingin hal memalukan kemarin sampai menjadi sebuah gosip.

"Tapi, wajahmu meringis. Sudah pasti sakit kan?" Sesil duduk tepat di samping Dilra.

"Aku mana paham, ini kali pertama dan rasanya masih perih." Dirla meraih segelas susu hangat. "Aku mending perawan sampai tua ketimbang harus diperawanin begini."

"Sakit sekali memang ya?" Sesil memfokuskan pandangannya, gadis itu merapatkan posisi duduknya. "Agak ngeri kalau sakit."

"Kau pikir aku tahu jika diperawanin itu sakit? Katanya kenikmatan duniawi ... apaan yang ada perih." Dirla pura-pura berisak.

Sesil terhenyak, "Maaf, kenapa aku justru kepo." Sesil beranjak bangun dan masuk ke area dapur kenapa ia menjadi penasaran dengan sebuah 'rasa' kenikmatan duniawi? Ah sialan! Sesil membatin resah kenapa ia menjadi kepo begini apa karena ia masih perawan di usia nya yang sudah cukup tua.

"Sebaiknya kau mandi dan kita sarapan."

Dilra mengangguk dan wanita itupun masuk kembali ke dalam kamar meninggalkan Sesil yang sibuk menata menu sarapan pagi mereka, di sisa waktu kesibukannya Sesil menghentikan aktifitasnya karena sebuah bel berbunyi.

Ia menatap layar monitor mengintip siapa orang di balik pintu dan lantas ia membukanya. "Kenapa kemari?"

Dirga menghela, "Aku ingin menjelaskan masalah kemarin."

"Lupakan saja, Prao tidak ingin bertemu denganmu sepertinya." Sesil menolak permintaan Dirga

Namun Dirga menolak pergi, jelas masalah yang Dilra hadapi benar-benar serius. "Masalah ini harus aku jelaskan."

"Kau tahu?" Sesil sedikit terkejut, "Siapa yang memberitahumu?"

Dirga menggeleng lalu menghela berat. "Aku terlambat menyelamatkannya."

Sebelum percakapan mereka semakin panjang, dari balik punggung Sesil sang tokoh utama muncul sebari menggosok helai rambutnya dengan mengenakan handuk mimik wajahnya datar dan mulai memberikan ekspresi tak suka jika maniknya menemukan dalang dari musibahnya kali ini.

"Usir dia." Dengan berlalu begitu saja Dilra kali ini tak suka melihat satu makhluk di hadapannya, rasa kagumnya lenyap.

Dirga dengan segera menerobos masuk, "Tunggu Prao." Ia mencekal pergelangan tangan Dilra dan menariknya secara bersamaan membuat Dirla tanpa persiapan justru terjerembat dalam pelukan Dirga.

Suasana semakin nampak canggung setelah beberapa detik mereka saling membalas tatapan, Dirga sadar dan perlahan ia mengurai pelukannya. "Maafkan aku Prao."

Dilra tak menghiraukannya sejenak, namun melihat tubuh kekar pria itu luruh dan menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan barulah Dilra sadar jika pria di hadapannya tak main-main ingin meminta maaf, "Apa yang kau lakukan?"

"Seharusnya aku jujur sejak awal jika aku sudah menikah dan memberitahu mu jika Lion bukan pria baik-baik."

Deg!

Detak jantungnya serasa membeku, mendengar satu nama yang selamanya akan masuk dalam daftar blokir, pria itu yang sudah menghancurkan mahkota pertahanannya, bahkan ia tak tahu permasalahannya. "Aku tidak perduli dengan pria itu sebaiknya kamu menjauh dari kehidupanku."

"Tidak prao, aku-" ucapan Dirga terhenti sesaat namun dengan yakin pria itu menarik napas dan kembali mengatakan, "Aku sangat menyayangimu."

"Sebagai adik kan? Aku sudah tahu, sebaiknya kita bersikap layaknya pembisnis saja ... aku tak mau terlibay masalah yang entah dari mana awalnya."

"Bukan, aku mencintaimu sejak lama." Aku Dirga dengan nada suata tegas, pria itu beranjak bangun dan meraih kedua tangan milik Dilra, "Aku akan menceraikan dia untuk bertanggung jawab atas perbuatan Lion."

"Ucapan macam apa itu? Omong kosong!" Dilra merasa ingin muntah mendengarkan bualan tak bermutu daru Dirga, sejak kapan pria itu menjadi lebay?

Dilra melepaskan pegangan Dirga, "Sebaiknya kita akhiri pertemanan kita, jaga jarak mungkin pilihan terbaik untukku." Dilra meyakini hati kecilnya jika pria di hadapannya bukan miliknya, karena sejatinya mereka sejak awal bukanlah berjodoh, Dilra tersenyum simpul lalu mulai perlahab membalikkan tubuhnya untuk menjauhi Dirga dan ia yakini ini untuk terakhir kalinya ia menatap netra milik Dirga.

Rupanya sakit sebelum berjuang itu cukup mengejutkan baginya yang sangat awam dalam urusan asmara.

"Aku tidak bisa Prao." Dengan cepat kedua tangan kekarnya sudah memeluk erat tubuh Dilra, ia mulai menenggelamkan seluruh wajahnya di ceruk leher Dilra.

"Dirga!" Dirla memberontak untu minta dilepaskan, "Aku tak ingin pria bajingan itu semakin jauh merusak kehidupanku, lepas Dirga!"

"Ada aku yang akan menjagamu."

"Kau hanya menbual! Aku takkan percaya, sebaiknya kita tidak berbicara lagi sebelum aku mendapatkan peringatan-peringatan berikutnya dari pria bajingan itu."

Dirga akhirnya mengalah, ia mengurai pelukannya dan melepaskan Dilra secafa perlahan, ucapan wanita itu ada benarnya juga ia tak mampu untuk menjaganya karena ia masih memiliki seorang istri, mempertahankan rasa egoisnya justru akan menimbulkan masalah baru untuk Dilra, dan kariernya akan terganggu jika ia bersikukuh bertahan melindungi.

"Aku hargai keputusanmu, tapi ada satu syarat."

Dirla masih menutup rapat kedua mulutnya enggan berkomentar, keterkejutannya setelah berada di newyork yang memberikan luka terdalam untuknya membuat ia semakin enggan berucap.

"Jika Lion memperlakukanmu semakin buruk, berutahu aku."

"Memberitahumu hanya akan semakin bertambah banyak musibah yang menimpaku." Dilra berlalu saat itu juga, jika ia masih berhadapan dengan Dirga tak akan ada jalan keluar yang menyenangkan.

"Sil, suruh pria itu keluar aku ingin istirahat beberapa menit sebelum kita kembali pulang."

"Sebaiknya kau pulang, berada disini bukan kabar yang baik." Sesil membuka pintu keluar di iringi oleh Dirga yang siap angkat kaki.

"Apa kalian akan pulang hari ini?" Dirga sempat berbalik dan bertanya kembali.

Sesil mengangguk membenarkan.

"Maaf untuk masalah ini."

Setelah itu hanya terdengar derap langkah yang semakin jauh, Sesil merasa lega jika masalah ini berakhir cukup baik meski tidak selesai.

"Kau yakin pulang hari ini?"

Dilra mengangguk lalu kembali membereskan semua barang bawaan miliknya.

"Bukan nya masih ada dua hari lagi?"

"Sempat-sempatnya mau jalan-jalan setelah ... sudahlah."

Keduanya mulai berkemas, Dilra yang sudah sedari tadi berkemas hanya fokus memainkan ponselnya dan berniat untuk melakukan selfi terakhirnya di new york.

Semuanya yang ada saat ini akan ia masukkan kedalam sebuah kenangan tersembunyi yang Dilra yakini tidak akan ada lembaran baru di dalamnya.

Jangan lupa vote ya 😁😁 novel ini sedang ikut serta lomba di aplikasi Hinovel, mampir juga di sana ya 🙏

SALAH MASUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang