Waktu berlalu begitu cepat setelah hari-hari kelam itu memperdaya semua aktifitas yang Dilra lakukan bahkan ia harus mendadak cuti dari dunia pekerjaannya, dan malam ini adalah awalnya yang baru, berusaha bangkit meski rasanya masih sulit melupakan semua bayang-bayang menyeramkan yang pria bajingan itu berikan, bahkan Dilra harus menata ulang semua termasuk mengganti aroma parfum kesukaan miliknya.
Dilra berusaha selalu tetap biasa saja berupaya menutupi semua masalahnya dari kedua orangtuanya karena akan percuma jika ia berterus terang, "Aku sudah selesai."
"Kau mau bekerja?"
Dilra mengangguk dan menggeser kursi makan berniat untuk bersiap diri sebelum Sesil menjemputnya.
"Mau sampai kapan kau bekerja tak berguna seperti itu?" Kini langkah Dilra otomatis terkunci setelah suara bariton dari sang ayah kembali memberikan luka dalam hatinya.
"Kenapa tak menjadi pembisnis saja yang sudah jelas hasilnya."
"Ini pilihan Prao, ayah tidak bisa selalu menjadikanku boneka." Setelah mengucapkan kata sarkasnya ia segera berlari kecil untuk masuk ke dalam kamar, buliran bening itu kembali membasahi pipinya secara perlahan, inilah sebabnya ia tak suka berlama-lama di dalam rumah karena baginya berada disana seperti neraka versi dunia, panas dan memuakkan.
Dilra menarik nafas dan segera mematut tubuhnya dari pantulan cermin, pulang ke rumah rupanya bukan pilihan terbaik bukannya ia merasa tenang justru semakin menggila jika di diamkan, "Sebaiknya aku kembali tinggal di apartemen." Niatnya sudah mantap setelah cukup lama mempercantik dirinya kini giliran semua barang-barang yang ia perlukan mulai masuk dan di kemas, ayahnya akan selalu bersikap keras jika keinginan nya tak kunjunh terpenuhi.
Dilra menuruni setiap undakan anak tangha sebari menggeret koper, langkahnya perlahan namu pasti jika kali ini mungkin membutuhkan waktu cukup lama ia kembali pulang, luka kemarim belum sepenuhnya hilang kini luka-luka baru siap menghampiri dan menghakiminya.
Dilra menghentikan langkah namun hanya berdiri tanpa menoleh ke arah lawan bicara, "Aku kembali ke apartemen."
"Sayang, ini kan rumahmu kenapa harus buang-buang uang untuk tinggal di apartemen?" Suara lembut khas dari sang ibunda menyeruak ke dalam indra pendengarannya, namun bukan kebahagiaan yang ia rasakan melainkan hanya sebuah skenario palsu.
"Berhenti bersikap baik kepadaku, bukankah ini yang kalian tunggu? Aku enyah dari kehidupan kalian!" Setelah berhasil mengucapkan kalimat sarkas, Dilra kembali menggeret kopernya dan ia mempercepat laju langkahnya, dadanya semakin sesak dan derai air mata mulai membasahi pelupuk matanya.
Ini sakit.
Sesil segera berlari kecil menghampiri, dan mencoba untuk menghentikan langkah milik Dilra, "Apa semua baik-baik saja?"
"Menurutmu? Aku kembali ke apartemen."
"Loh, bukannya orangtuamu menyuruhmu tinggal bersama mereka?" Sesil nampak heran, sebenarnya ada apa dengan keluarga mereka, Sesil menggaruk tengkuknya yang tak gatal selama ia bekerja dengan Dilra ia hanya melihat raut kesedihan dari wajah Dilra dan hal yang paling menyedihkan adalah setiap Dilra berulang tahun hanya mereka berdua yang merayakan dan dari para fansnya Dilra.
"Apa kau baik-baik saja?" Meski ragu ia harus bertanya.
Dilra hanya melamun melihat di balik jendela mobil, menghiraukan pertanyaan yang Sesil berikan.
"Apa kau baik-baik saja?" Sesil mengulangi pertanyaan nya kali ini dengan intonasi cukup tinggi.
Dilra tersentak kaget, dengan cepat ia menoleh sebari sebuah bogeman mentah tertanggak di pundak Sesil, "Aku terkejut!"
"Habis di tanya gak jawab." Sesil kembali fokus untuk menyetir.
Dilra menghela berat, "Aku baik-baik saja kau kan tahu jika aku sudah terbiasa atas perlakuan mereka."
"Benarkah? Gak mau curhat nih?"
Dilra menggeleng, "Kasihan kamu bebannya makin banyak." Segera Dilra tersenyum lebar bahkan dengan terang-terangan ia menggoda Sesil yang masih perawan diusianya yang sudah sangat matang.
"Udah bangga ya gak perawan?" Sesil membalas godaan Dilra dan berhasil membuat sang bos terbatuk-batuk.
"Ucapan macam apa itu? Ganti topik."
"Ah, aku baru ingat." Sesil merogoh sesuatu di dalam tad nya dan ia memberikan ponsel miliknya kepada Dilra.
Dilra nampak heran, untuk apa ia membaca berita. "Waaah, ngeledek ini nyuruh baca berita tak bermutu gini."
"Baca buruan baru berkomentar."
Dilra kembali mematap layar ponsel milik Sesil dengan sangat tajam setelah ia membaca sebuah nama Lion Lesmama terpampang jelas beserta foto si pria bajingan. Disana Lion nampak sangat gagah tentu berwibawa, "Kau menipuku ya? Kenapa harus baca dia."
Dengan seenaknya Dilra melepar ponsel milik Sesil ke arah kursi belakang, wanita itu menarik nafas berulang lalu memalingkan wajah.
"Dia rupanya orang penting, sayang kelakuannya buruk."
"Memang buruk!"
Sesil mengangkat kedua pundaknya tak ikut berkomentar takut-takut jika nanti justru ia yang kena apes dapat omelan mentah, "Tapi aku penasaran."
"Hmmm."
"Kamu gak penasaran gitu?"
Dilra menggeleng berusaha untuk terus mengalihkan pembicaraan mereka.
"Katanya Lion seorang ceo yang dingin, bahkan hanya beberapa karyawannya saja yang tahu suraranya." Sesil sempat menggelengkan kepala tak percaya kok ada manusia tampan, tajir, pintar berbisnis, seksi namun bajingan!
"Hentikan mobilnya aku mau turun!" Dilra sedikit membentak membuat Sesil sontak menginjak pedal rem mendadak.
"Masih mau bahas pria bajingan itu? Aku turun sekarang." Dilra siap membuka pintu namun di cekal oleh Sesil.
"Oke, maaf ... maaf tadi aku terbawa rasa kepo, gak ulangi." Bujuknya.
Dilra mulai tenang, wanita itu melepaskan genggamannya dan mereka akhirnya kembali melaju menerobos jalanan macet di kota Jakarta, Dilra kini kembali mengingat Lion, mengingat perbuatannya dan tentunya permainan panas mereka.
Sial!
Debaran di dalam dadanya semakin membuncah setelah tanpa sengaja bayangan dada bidang milik Lion tercetak jelas di dalam memori ingatam Dilra, bagaimana ia mengecup dan bermain di dalam inti miliknya, membuat Dilra merasa terangsang kembali meski dalam kondisi paksaan pria itu bermain cukup baik dan tentunya sangat memuaskan.
Dilra masih memejamkan kedua manik miliknya berusaha bertahan dalam bayangan seorang Lion yang asyik menjamah setiap inci tubuhnya, mengecup hangat dan mendesah berat ia masih sangat jelas mendengarkan desahan-desahan kenikmatan mereka, Dilra akui jika ada satu sisi ia menikmati permainan itu meski akhirnya menyesalpun percuma.
Dilra meremas kedua tangannya sama persis ketika ia merasakan penerobosan di inti miliknya dan kedua tangannya meremas seprei sebagai pengalihan atas sakit kenikmatan yang luar biasa, sensasi yang kali pertama ia rasakan, desakan nikmat yang semakin memabukkan, desahan berat yang selalu membuatnya kembali terangsang dan netra gelap itu yang membuatnya tak mampu melupakan kejadian menjijikan itu.
"Lion brengeseeekkkkk!!!!!!!" Dilra berteriak sebari membuka lebar kedua matanya, napasnya tercetak nampak dari dada miliknya naik turun tak beraturan.
"Kau baik-baik saja? Aku kaget bodoh! Sesil menepuk bahu Dilra untuk menyadarkannya jika mereka sudah sampai di apartemen.
"Tadi aku mimpi kayanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SALAH MASUK
RomanceDilra baru saja tiba di sebuah nightclub di New York, gadis itu berprofesi sebagai disjockey yang tengah penomenal akibat aksinya yang sangat memukau dengan lekuk tubuh yang seksi. Namun, karena sebuah insiden salah paham gadis itu harus merasakan o...