"Rum, besok masuk bulan puasa. Kamu nggak puasa, kan?" ucap Nyonya Ying, majikan yang mempekerjakanku dua bulan yang lalu itu dengan bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan.
"Perjanjian awal, kan nggak ada ibadah apapun selama kamu bekerja di sini. Termasuk ibadah puasa," sambungnya.
Allah, mana aku tahu? Bahkan, isi perjanjian kerja saja tidak paham. Aku hanya diminta menandatangani tanpa membacanya. Apa lagi diberi pengertian sebelumnya.
Mam Emi, salah satu guru bahasa di tempat penampungan para calon Tenaga Kerja Wanita sebelum diberangkatkan ke negara lain itu memang pernah mengatakan pada kami, kalau bekerja di sini dan mendapatkan majikan non-muslim biasanya akan dilarang salat. Itu bukan hal yang baru. Sudah dari dulu, sejak Mom Emi masih berstatus menjadi TKW(Tenaga Kerja Wanita). Akan tetapi, semua bisa disiasati dengan salat secara diam-diam. Mukena yang biasa dipakai untuk menutupi aurat saat salat pun bisa diganti dengan sarung dan kain. Yang penting aurat tertutup, maka salat pun tetap 'sah'.
Masalah puasa bisa dengan bebas kita lakukan, asal tidak mengganggu pekerjaan. Wajib makan sahur, jadi badan tidak terlihat loyo di depan majikan.
Semua perkataan Mam Emi masih terekam jelas diingatan. Semua terdengar begitu mudah. Tidak ada istilah pengekangan dalam beribadah, meskipun harus bekerja dan tinggal dengan keluarga berbeda keyakinan dengan kita. Akan tetapi, kenapa kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang Mam Emi katakan? Apakah itu hanya sebuah taktik, agar kami semakin bersemangat untuk bekerja di lingkungan yang baru tanpa memikirkan risiko terburuknya?
Aku sudah mengorbankan salat. Haruskah kukorbanlan juga puasa?
Allah, kenapa ini begitu berat? Padahal, dulu, aku sering menggampang-gampangkan masalah puasa. Terpengaruh oleh ajakan teman, pergi ke warung saat jam istirahat sekolah untuk berbuka lebih cepat dari yang seharusnya. Kini, aku malah dipaksa untuk tidak berpuasa. Bukankah seharusnya aku senang, karena tak perlu menahan lapar dan dahaga di saat bekerja? Kenapa justru sedih?
Baru dua bulan, aku bekerja di sini. Perjanjian yang pernah dikatakan pihak PT, kalau belum enam bulan masa bekerja, belum boleh pindah majikan. Kalau memaksa keluar dan minta pulang ke negara asal pun akan dikenai denda yang tidak sedikit nominalnya.
Terpaksa, aku turuti kata-kata majikanku. Mana mungkin, kan seorang pembantu sepertiku yang harus dituruti kata-katanya.
Minta pulang? Aku kemari mencari uang untuk membantu keluarga, bukan malah menyusahkan mereka dengan mengeluarkan uang sebagai denda.
"Baik, Nyonya, saya mengerti." Aku menjawab setengah hati.
"Kamu, kan bisa menggantinya, nanti, kalau sudah pulang ke negaramu," tutur Nyonya Ying seakan tahu sisi hatiku tengah merepih.
"Mungkin bisa dengan beramal di masjid atau apalah. Yang jelas, perjanjian itu berlaku salama kamu bekerja di rumah ini," lanjutnya.
Entah, kenapa wanita berparas cantik dengan tubuh tinggi semampai yang belakangan kuidolakan itu mendadak tampak menyeramkan. Kata-katanya tajam bagai pedang. Sangat kontras dengan kecantikkan dan kelembutan padaku selama dua bulan ini.
"Aku tidak peduli, majikan di tempat lain memperbolehkan pembantunya beribadah dengan bebas. Itu hak mereka. Aku tidak akan pernah bisa dan mau dipaksa untuk seperti mereka." Nyonya Ying menekan kalimat terakhirnya.
Setahuku, Nyonya Ying itu sosok wanita yang lembut dan berpendidikan. Walaupun selama 24 jam di rumah, alias menjadi seorang ibu rumah tangga, tak lantas membutnya berleha-leha atau ungkang-ungkang saja. Dia mengurus anak-anak sendiri dengan tangannya. Bahkan, melarangku menyentuh kakak-beradik beda usia lima tahun itu, kecuali diminta menemani mereka bermain. Pekerjaanku fokus mengurus rumah yang luasnya tak seberapa ini.
Kini sepertinya, baru tampak sisi lain seorang Nyonya Ying. Peraturan dan perjanjian yang sudah dibuat, ia junjung tinggi, tanpa ada kata tawar-menawar lagi.
"Kamu masak dulu sayurnya. Kalau sudah selesai, langsung panggil aku di ruang kerja. Aku mau masak semur ayam campur kentang untuk tuan."
Nyonya Ying meninggalkanku di dapur seorang diri. Padahal sudah hal biasa, kami bergantian memasak, karena ibu dua anak itu selalu menyiapkan masakan spesial untuk menyambut suaminya datang. Entah, kenapa kepergiannya kali ini kurasakan ada benteng besar di antara kami?
Ternyata, sebaik apapun usahaku bekerja di sini, tidak akan pernah bisa mengubah batu menjadi sutera.
***
Usai membersihkan perabotan kotor sekaligus dapurnya, kugelar kasur matras di ruang tamu, persis di depan pintu masuk utama. Di sanalah tempatku merenggangkan persendian setelah seharian penuh bekerja.
Rumah dengan model apartemen ini hanya memiliki tiga kamar. Satu ditempati pasangan suami-istri bersama batitanya, satu lagi ditempati sulung mereka yang berusia delapan tahun, dan juga dipakai untuk ruang bekerja.
Tidak ada tempat lagi buat seorang pembatu. Karena yang kudengar dari orang tua Nyonya Ying, putri sulung mereka itu baru dua kali mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Aku yang keduanya.
Tempat tidurku sudah siap. Gegas, ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu, mengambil sarung dari dalam lemari kayu, tempat menyimpan pakaianku yang letaknya ada di dapur. Kain sarung milik Bapak yang setia menemani malam-malamku itu kupeluk erat sambil melepas rindu pada Bapak dan Ibu di kampung.
Tak lama kemudian, Nyonya Ying keluar kamar menuju dapur. Mungkin, hendak membuatkan susu untuk putri kecilnya. Di bawah lampu ruang tamu yang sudah tamaram, aku pura-pura memejamkan mata sampai ibu muda itu selesai melakukan rutinitas malamnya.
Derap langkah terdengar jelas, sampai menghilang setelah diakhiri suara deritan pintu kamar ditutup. Sudah tidak ada lagi aktivitas malam, tandanya aku bisa menjalankan aksiku tanpa sepengetahuan seisi rumah.
Aku duduk di atas matras sambil meraba sarung untuk mencari peniti yang sengaja kukaitkan di sana. Ketemu. Kusarungkan kain itu ke kepala menutupi rambut dan badan, hanya memperlihatkan bagian wajah, lalu mengaitkan peniti di bawah dagu. Dalam posisi berdiri dengan lutut--karena kain sarung tidak bisa menutup sampai ke kaki--,berniat menghadap ke arah kiblat, kutunaikan lima salat dalam satu waktu, diakhiri doa dan linangan air mata di bawah lampu ruang tamu yang tamaram.
Esok, aku mau puasa, ya, Rabb.
****
Jangan lupa vote dan komennya, ya. Biar semangat update-nya. 🤗😍

KAMU SEDANG MEMBACA
Noda TKW
FanficDemi membantu perekonomian keluarga, Rumanah terpaksa menjadi seorang TKW di negeri orang. Namun, ternyata bukan hanya pengalaman pertama bekerja di negara orang yang ia rasakan berat, tetapi juga aturan ketat sang majikan yang membelenggu hati dan...