Ujian Puasa

3 1 0
                                    

Pukul 12.00 waktu luar negeri. Aku, Nyonya Ying, dan Memey melepas Son di depan pintu, sampai lelaki kecil dengan garis wajah sama seperti ibunya itu menghilang di balik lift. 


"Rum, sekarang kamu bisa makan siang. Setelah itu, kita pergi ke pasar," titah Nyonya Ying melirikku sekilas, lalu menggendong Memey ke dalam.


"Baik, Nyonya," jawabku patuh sambil menutup pintu dan tak lupa menguncinya.


Wanita yang kesehariannya memakai kaus oblong dan celana kolor di atas lutut itu pun melanjutkan aktivitas menyuapi putrinya. Wajahnya tampak datar. Namun, kurasakan sikapnya jadi berubah. Tak ada senyuman untukku. Aku harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai karena kecerobohan, justru menciptakan sebuah bumerang untuk diriku sendiri. 


Kulihat sebungkus mi instan di pinggir kompor tergeletak bersisihan dengan sebutir telur. Itu jatah makan siangku saat yang lain--Nyonya, Son, dan Memey--makan bubur.


Kutatap bungkusan makanan siap saji itu, lama. Sambil berpikir, harus kusembunyikan di mana? Kalau di lemari kayu tempat pakaianku yang sempit itu, bisa-bisa telurnya pecah, kalau aku kelupaan saat membuka pintunya dengan tergesah-gesah.


Dibuang? Sayang. 


"Ada masalah sama kamu, Rum? Kenapa mi-nya cuma dilihatin gitu saja, nggak dimasak?" 


Astaghfirullah! 


Aku tersentak dengan kedatangan Nyonya Ying secara tiba-tiba. Aku tidak boleh terlihat gugup di depan wanita itu. Bisa-bisa, ia curiga dan ..., entahlah, apa yang akan terjadi? Memulangkanku ke agen, lalu pihak egen akan menuntutku sekian juta? Semoga itu tidak pernah terjadi.


"E-enggak, Nyonya. Ini baru mau masak, mi-nya." Aku mengambil panci yang biasa dipakai untuk memasak mi dari dalam kabinet, lalu mengisinya dengan air kran.


Kunyalakan kompor. Menunggunya mendidih sambil membuka bungkus mi dengan ragu-ragu. Nyonya Ying masih mematung di sampingku dengan tatapan kosong ke tempat panci, sampai kumasukkan kepingan mi kering ke dalam panci yang sudah tampak menggelembung airnya. Aduk pelan-pelan kurang-lebih tiga menit baru kumasukkan telurnya. Aduk lagi, matang. Kutuang ke dalam mangkuk keramik secara perlahan. Tak lupa memasukkan bumbunya, dan mi pun siap dimakan.


Aku sudah duduk di bangku plastik yang biasa kupakai untuk makan di dapur. Di hadapanku telah tersaji mi yang masih mengepulkan asapnya. Tanpa kata, Nyonya Ying keluar dari dapur, meninggalkanku dalam kegamangan.  


Kutatap mi yang aromanya menusuk ke indera penciuman dengan bermacam pikiran di kepala. Ini baru awal puasa, tetapi ujiannya begitu berat. Entah, bagaimana dengan esok dan seterusnya? Mampukan aku melewati semuanya? 


Tak terasa, sudut mataku basah. Rindu akan kampung halaman. Walau keadaan rumah yang jauh dari kata sederhana, hidup dalam keadaan serba berkecukupan, di sana aku dapat meraup kebebasan beribadah. Bahkan, kalau aku lalai, Bapak dengan sabarnya mengingatkanku. 

Noda TKWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang