Hari Pertama Puasa

4 1 0
                                    

Di bawah lampu ruang tamu yang tamaram, aku meringkuk, bergelung di balik kain sarung yang sebagiannya sudah basah. Aku rindu Bapak, Ibu, adek, dan semuanya yang ada di kampung. Rindu salat dengan tenang. Rindu saat-saat bulan Ramadhan di rumah, kumpul bersama keluarga, juga momen jalan-jalan usai salat Subuh dengan teman-teman. Sampai mata ini lelah dan terpejam dengan sendirinya.
***

Seakan mendapat panggilan dari alam, aku terbangun mendengar dentingan suara lift dari luar. Melirik sekilas jam di dinding, pukul 04.00 waktu setempat. Gegas, aku merapikan matras beserta bantal dan guling, lalu pergi ke kamar mandi yang dikhususkan untukku, membersihkan diri. Membuat kopi menggunakan air panas sisa semalam dari dispenser dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan suara. Karena, suara sekecil apa pun di ruangan yang sepi, biasanya akan terdengar nyaring.

Bismillah. Satu gelas kopi dan roti tawar selai kacang kuniatkan sebagai menu makan sahur. Aku nekat berpuasa hari ini karena Allah. Semoga tidak ketahuan majikan. Setelahnya, mengerjakan salat Subuh di bekas tempat menghampar matras tanpa tahu apakah sudah masuk waktu atau belum.

Pukul 06.00 waktu luar negeri, jadwalnya aku bangun tidur. Saat itu pula, biasanya Nyonya Ying akan ke dapur untuk membuatkan susu batitanya. Kupasang keadaan seolah baru sedang bangun tidur. Matras yang sudah sejak tadi kusimpan, kugeser ke kanan dan kiri. Biasanya, karena saking letihnya bekerja, aku tak sempat bangun awal untuk menunaikan salat Subuh. Terbangun pun karena mendengar suara Nyonya Ying membuatkan susu putrinya di dapur, kadang juga dibangunkan majikanku itu.

Gegas, aku memasak air untuk mengisi termos. Kulihat majikan lelakiku sudah duduk di ruang makan. Kuhampiri lelaki berkacamata itu, lalu menanyakan minuman apa yang ia mau.

"Milo panas aja, Rum," jawab lelaki kekar berambut hitam lebat itu melihat sekilas ke arahku sebelum kemudian fokus lagi ke ponsel pintar yang ada di tangannya.

Air panas sudah siap. Kubuat milo panas untuk lelaki yang biasa kupanggil 'tuan' itu. Selai blueberry kukeluarkan dari kulkas dan meletakkannya di meja makan. Roti tawar yang tadinya diujung meja, kudekatkan, bersisihan dengan toples selai dan cangkir yang masih mengepulkan uapnya.

"Thank's, Rum. Kamu jangan lupa sarapan, ya," ucapnya ramah sambil mengembangkan senyuman.

Salah satu yang kusuka di sini, kedua majikanku sangat lembut dalam bertutur kata. Tidak pernah mengeraskan suara, apalagi membentak. Pasangan yang begitu harmonis dan saling mencintai. Sang suami yang suka meluangkan waktu makan malam demi bisa bercengkerama dengan istri dan anak-anak, meskipun disibukkan dengan pekerjaandi kantor. Juga sang istri yang teramat bertanggung jawab terhadap anak-anak. Sampai-sampai urusan kedua buah hatinya itu di-handle sendiri. Bahkan, kotoran anaknya pun ia yang membersihkan, meskipun ada pembantu yang siap membantu apa saja dan kapan saja di rumah.

Semua pekerjaanku sudah disusun Nyonya Ying dalam selembaran kertas berisi jadwal kerja, dan ditempel di pintu lemari kayu di mana tempat menyimpan pakaianku. Mirip jadwal pelajaran di sekolah. Bedanya, hanya ada sekali waktu istirahat itu pun di malam hari, jam tidur. Bisa dibilang teramat ketat. Akan tetapi, kalau dikerjakan dengan senang hati sambil membayangkan lembaran dollar yang akan dikirim ke kampung, rasa capai pun lewat bagai angin. Semua demi keluarga di Indonesia.

Pukul 11.00 waktu luar negeri. Saatnya membuatkan makan siang untuk anak-anak. Karena pekerjaan itu diambil alih Nyonya Ying, aku pun menggantikan majikanku itu menemani dua buah hatinya bermain di ruang Televisi yang terhubung dengan ruang makan. Si sulung namanya Sean, biasa dipanggil Son. Sementara adiknya bernama Wanting, tapi kupanggil Memey yang artinya adik. Mereka berdua memanggilku kakak, karena tahu kalau aku orang Indonesia. Kadang-kadang, Rum Cece yang berarti Kakak Rum.

Menjaga kakak-beradik itu sebenarnya tidak sulit, karena keduanya jarang sekali berkelahi. Sang kakak penyayang dan adiknya kalem tak suka usil. Kalau sudah diberi mainan lego, batita itu akan sibuk membuat apa saja yang ada di dalam imajinasinya. Tak jauh berbeda dengan sang abang.

Suasana sunyi. Saking heningnya membuat mataku berat, seperti ingin terkantup. Beberapa kali kukucek dengan lengan. Namun, sia-sia. Angin sepoi yang melipir dari jendela kaca samping rumah seakan bersatu dengan keheningan. Saking tak kuasanya menahan, beberapa kali kepalaku mengangguk-angguk mirip burung pelatuk. Sampai decitan suara pintu dapur terdengar diiringi seruan Nyonya Ying, hingga membuyarkan semuanya.  Aku berpura-pura mengajak Memey mengobrol, meskipun tak ada sahutan dari mulut kecil itu.

"Ayo, Son, makan siang dulu. Memey juga," seru Nyonya Ying mengitari meja makan sambil menaruh dua piring berisi bubur campur sayur brokoli dan ayam yang masih mengepulkan uap.

Tanpa kata, putra sulungnya langsung menghampiri meja makan. Menarik kursi dan duduk di sana.

"Masih panas, Mam," ucap Son.

"Sambil menunggu buburnya hangat, kita bahas PR semalam. Gimana?" ujar Nyonya Ying turut menarik kursi di hadapan putranya, lalu mendudukinya.

"Ok," jawab bocah lelaki itu singkat.

"Rum, tolong kamu suapi Memey, ya. Aku mau mengajari Son." Nyonya Ying menyodorkan piring tanpa bergeser dari tempat duduknya.

Aku pun beranjak dan menghampiri meja makan, lalu meraih piring cembung mirip mangkuk tersebut.

"Masih panas, Rum. Hati-hati nyuapinya."

"Baik, Nyonya."

Aku kembali ke tempat Memey bermain lego. Menyendokkan bubur mulai dari bagian pinggirnya. Kata Bapak, di situ biasanya lebih cepat dingin. Setengah sendok bubur kumasukkan ke mulut Memey. Batita itu tampak lahap. Mungkin, karena tadi pagi hanya sarapan susu, jadi sudah merasa lapar. Aku sendiri sebenarnya tidak puas kalau cuma sarapan kopi dan roti tawar. Mau makan apa lagi? Jadwal makan nasi adanya di siang hari. Siasatku perbanyak minum air putih, meskipun perut tetap tak berhenti berbunyi.

Dua suapan, tiga suapan, sampai empat suapan, bubur di bagian tengah sudah menghangat. Giliran sayur brokoli yang kumasukkan ke mulut memey. Sambil menunggu batita itu mengunyah, aku menguap, dan mata kembali kurasakan berat. Susah payah kutahan dengan mengedipkannya sambil menekan ke dalam. Aku harus tahan.

Kalau boleh memilih, lebih baik mencuci kamar mandi atau mengepel daripada disuruh duduk begini. Tidak ada obrolan, seakan otakku berhenti bekerja. Bahkan suara Nyonya Ying yang tengah mengajari putranya, terdengar sumbang. Aku sudah tidak tahan.

"Rum? Kamu tidur?"

Seketika rasa itu kembali menguar mendengar suara Nyonya Ying.

"Ti-tidak, Nyonya." Aku menoleh sambil gelagapan menjawab.

Nyonya Ying menyipitkan matanya sambil memegang bingkai kacamata. Tatapannya menyelidik ke arahku. Aku yang tak terbiasa ditatap seperti itu pun langsung menunduk. Takut, khawatir, resah, bercampur menjadi satu.

"Kamu tadi pagi nggak makan sahur, kan, Rum?" Nyonya Ying menekan kalimatnya.

Sontak aku mendongak. Terkejut saat melihat wajah putih majikanku berubah merah padam.

****

Vote dan komen, dong. Biar semangat maratonnya. 😍

Noda TKWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang