Tujuh

42 4 1
                                    

# Ujian Kelulusan dan Tes Jalur Prestasi (Kafka)

Kafka memutar bola basket menggunakan telunjuknya. Hari ini adalah latihan terakhir untuk pertandingan persahabatan antara SMP Utama dan SMP Bangsa Jaya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lapangan, lalu matanya menangkap seorang gadis duduk di ujung lapangan yang sedang asik dengan sebuah buku ensiklopedi di tangannya.

Kafka mendekati gadis itu yang masih terfokus dengan bacaan di tangannya. “Sebentar lagi ya, Reyn.” Ucapnya yang membuat gadis itu menoleh padanya.

“Iya,” ucap Reyna singkat lalu memberikan sebotol air mineral pada Kafka. Setelah meminum airnya hingga habis, Kafka kembali menuju lapangan karena pelatih sudah memanggilnya.

“Setelah pertandingan ini, kalian harus mempersiapkan ujian kelulusan dan Tes Jalur Prestasi apabila kalian mau masuk SMA Brawijaya. Ekskul basket SMA Brawijaya sudah melegenda, dan selalu mendapat juara.” Ucap Pak Bara, selaku pelatih basket Kafka menutup latihan sore ini.

“Kaf, lo ikut Tes Jalur Prestasi, kan?” tanya Rino, kapten tim basket sekolahnya, sambil mengelap butir-butir keringat yang masih menempel di dahi dan lehernya menggunakan sapu tangan.

“Nggak tau, nih bro!” jawab Kafka agak lama. Mereka kini berjalan ke ruangan ganti untuk mengganti kaos basketnya yang basah oleh keringat.

“Kenapa?”

“Gue masih bingung,” jawab Kafka sambil menyampirkan tas ke bahu kanannya yang kini sudah mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah. Setelah menyapa teman-teman timnya untuk pulang duluan, Kafka keluar menuju tempat dimana Reyna sudah menunggunya.

Menjelang ujian kelulusan, Kafka memang sudah tidak diperbolehkan mengikuti pertandingan basket lagi. Mengingatnya, membuat Kafka gelisah setiap hari karena tidak ada yang menyibukkannya. Ia sangat resah memikirkan ujian kelulusan dan tes jalur prestasi yang akan diikutinya.

“Kaf, kenapa sih? Dari tadi ngelamun mulu,” Sebuah tangan mungil dikibaskan di hadapan wajahnya, membuatnya tersadar dari lamunan.

“Hoi, Kafka!” Suara itu mengagetkannya. Kafka mengerjapkan matanya untuk memfokuskan penglihatannya pada Reyna yang sedang menatapnya dengan aneh.

“Ya?”

“Aku panggil dari tadi juga. Kenapa sih, dari tadi bengong mulu?”

Kafka baru menyadari kalau es krim vanillanya sudah mencair. Reyna sedang menyuap sendokan terakhir es krim coklatnya. Dengan gerakan cepat, Kafka menghabiskan es krimnya yang sudah menjadi air, lalu menyuruh Reyna membereskan bukunya dan pulang.

“Kamu kenapa sih, aneh banget dari tadi.”

“Nggak apa-apa, aku cuma lagi mikir tentang ujian kelulusan.” Ucap Kafka menerawang sambil memperlambat kayuhan sepedanya

Reyna mendesah keras. “Ah, iya, bener banget. Aku takut nggak bisa dapet nilai bagus. Padahal aku mau masuk SMA Harapan.”

Kafka tiba-tiba menghentikan sepedanya membuat hidung Reyna menabrak punggung Kafka. “Kenapa?!”

“Kenapa apanya?” tanya Reyna tidak mengerti. Ia mengaduh kesakitan sambil mengelus hidungnya yang menabrak punggung Kafka.

Kafka turun dari sepeda, namun tangannya masih memegang stang sepeda. Kafka menatap Reyna lurus. “Kenapa kamu mau masuk SMA Harapan?”

Reyna mengangkat bahu. “Aku punya feeling kalau aku bakal sekolah disana.”

“Kamu yakin mau masuk SMA Harapan?” Kafka mengulang pertanyaannya, seolah ia salah mendengar ucapan Reyna. Reyna mengangguk, tapi ekspresi wajahnya keheranan dengan sikap Kafka yang semakin aneh dari hari ke hari.

Little Star In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang