Air Mata

0 0 0
                                    

Nina bobo, oh, Nina bobo.
Kalau tidak bobo, digigit nyamuk.

Lagu singkat itu mengalun sendu dari bibir seorang wanita dengan rambut berwarna putih. Ia tengah meninabobokan anak kecil yang tertidur pulas dalam dekapan hangatnya.

"Nina bobo, oh, Nina bobo.
Kalau tidak bobo, digigit nyamuk."

Ia, Tianshi, masih menyanyikan lagu itu dengan wajah berseri-seri. Saat jeda, senyum dari bibir semerah ceri akan tersungging sempurna.

"Xian bobo, oh, Xian bobo. Kalau tidak bobo, digigit nyamuk." Tianshi mengubah lirik lagu itu dengan nama anak yang ditimang dengan sayang, sangat sayang.

Dari luar, terdengar suara orang-orang yang berteriak murka. Anak-anak panah melesat dari busur di tangan mereka dan menancap di dinding rumah Tianshi. Wanita itu menghentikan nyanyian, menoleh dengan mata yang memerah, nyaris itu adalah lesar yang mampu memotong jantung bagi yang melihat.

"Siluman Tian, kembalikan putraku!" pinta lelaki yang memegang obor dengan nyala besar. Giginya gemelutuk karena murka.

"Dasar siluman. Kembalikan putra raja kami! Kembalikan Pangeran Huo Hu!" teriak mereka ramai-ramai.

Tianshi mendesis, dua tanduk di kepalanya muncul seiring kuku-kuku yang memanjang.

"Tidak ada yang boleh mengambil anakku. Xian Yang, putraku tersayang," ucapnya dengan mata berkilat-kilat penuh amarah.

Dari ambang pintu, seorang pria muda menatap nanar Tianshi. Perlahan ia mendekat, lalu menjatuhkan pandangan pada anak kecil di pangkuan Tianshi yang mulai menangis.

"Tianshi, dengarkan aku, ya," pintanya sembari mendekap tubuh Tianshi yang panas.

"Aku tidak mau dengar! Tidak ada yang boleh mengambil putraku. Tidak ada!" pekiknya hingga membuat anak itu menangis semakin keras.

Suaranya terdengar sampai ke luar rumah, tertangkap telinga orang-orang yang memberang, terutama lelaki yang memegang obor.

"Siluman sialan! Kembalikan anakku!" teriaknya keras.

Di dalam, Tianshi kembali menyanyikan lagu itu dengan sendu. Pupil matanya kembali hitam dan menatap anak itu dengan sayang. Elusan jarinya begitu lembut di pipi tembem anak itu.

"Ia bukan anak kita, Tianshi. Anak kita sudah tidak ada. Kau sudah membunuhnya," tegas lelaki yang merupakan suami Tianshi.

Elusan di pipi si anak terhenti, ia meletakkannya di atas pembaringan, lalu berbalik dan mendorong sang suami hingga terhuyung-huyung ke belakang.

"Tidak! Bukan aku! Anakku belum mati. Ia masih hidup! Orang-orang itu saja yang membencinya!" pekik Tianshi. Matanya kembali memerah, amarahnya memuncak

Huan Yanling, suami Tianshi, bungkam. Susah payah ia menahan air mata. Meskipun dewa mencabut hati dan perasaannya, tetapi tak ada suami yang tega melihat istri, wanita tercinta, menjadi gila. Rasa bersalah karena tak bisa menjaga darah dagingnya menjadikan tulang-tulang lelaki itu seperti dilolos satu per satu.

Tianshi melirik sebuah pedang di sudut ruangan remang itu. Dalam satu kedipan mata, pedang itu sudah berada di tangan kiri Tianshi. Ia lalu berkata dengan seringai kejam, "Aku akan membunuh orang-orang itu."

Tianshi mendekati Huo Hu, putra seorang raja di dataran manusia, dan menciumnya dengan penuh cinta. Ia juga membisikan sesuatu di telinga anak itu, lalu tersenyum.  Kemudian, dia melesat seperti kilat, keluar dari rumah dan menemui sekumpulan orang-orang yang murka.

Pandangannya begitu tajam seperti mereka-mereka itu adalah musuh yang harus disingkirkan dari muka bumi. Orang-orang itu juga tidak takut meski berhadapan dengan siluman bertanduk dan bermata seperti laser. Mereka terus berteriak, meminta agar putra raja mereka dikembalikan.

Sayang sekali, suara-suara mereka seperti nyanyian sumbang. Tianshi marah mendengarnya. Ia berteriak lantang, "Enyahlah, kalian manusia!"

Guntur dan petir jadi rindu pada bumi. Suaranya seperti batu bukit yang pecah. Kilat menyambar saling sambung. Manusia-manusia itu ketakutan, mereka menjatuhkan busur, dan menutup kepala dengan tangan sendiri, menunduk dengan air wajah ketakutan yang kentara.

"Kalian! Kalian harus mati!" teriak Tianshi lagi. Sejurus kemudian, sambaran petir menerjang seperti guyuran air dari kapas hitam yang menggantung di langit.

Orang-orang itu tak bisa menghindar. Jeritan kesakitan menggema ke bawah gunung bersama asap hitam yang keluar dari tubuh-tubuh yang hangus. Selang beberapa menit, suara sumbang dari makhluk yang menuntut seorang anak itu hirap, berganti dengan senyap dan rintik hujan.

Tianshi tersungkur. Ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan permen. Di benaknya, suara anak berkeliaran.

"Mama! Mama! Aku di sini!"

"Mama, mereka melukaiku!

"Mama, sakit sekali!"

Suara itu membuatnya histeris. Ingatan beberapa waktu lalu, saat Xian Yang, putra Tianshi, bermain dengannya. Tawa dan senyumnya begitu gembira. Namun, manusia-manusia yang tak manusiawi melukainya secara beringas. Anak itu tak berdosa, tetapi mereka menghukum Xian Yang dengan keji hingga ia kesakitan setiap malam.

Rintihan, tangis kesakitan Xian Yang membuat Tianshi menderita. Ia tak bisa tidur, tak bisa makan hingga Tianshi kehabisan akal.

Pada suatu malam yang suram, lagi mencekam, Tianshi mendendangkan lagu, berharap Xian Yang terlelap.

"Xian bobo, oh, Xian bobo. Kalau tidak bobo, digigit nyamuk." Namun, Xian Yang semakin kesakitan, napasnya pendek karena manusia yang melukainya telah merusak paru-paru Xian Yang.

Anak kecil itu kesakitan. Sangat kesakitan hingga tak mampu lagi membuka mata. Sampai kematian mendekati Xian Yang. Derita tak membuatnya bertahan dan panjang umur. Tianshi tidak rela. Ia mendengar Dewa Kematian akan mengambil nyawa Xian Yang dua minggu lagi.

Tianshi tak bisa bertahan selama itu menyaksikan penderitaan anaknya. Dia menangis saat langkahnya mencoba menaiki bukit. Di atas bukit, ia histeris, mengutuk manusia dan dewa. Ia menggali tanah dengan kuku panjang, membiarkan kuku itu terluka dan berdarah.

Saat matahari hendak tenggelam, Tianshi berhenti menangis. Ia menimang putranya dengan sayang. Nyawa Xian Yang ada di ambang batas. Tianshi tak bisa menunggu selama dua minggu.

Masih dengan sayang, ia mengubur Xian Yang. Air mata, peluh, dan darah menetes di atas kuburan Xian Yang. Tianshi benar-benar terluka. Ia benci manusia. Namun, anak-anak mereka terlihat seperti Xian Yang hingga ia menculik anak-anak itu dan menganggapnya sebagai Xian Yang.

Tianshi memeluk pedang yang gunakan untuk memanggil kilat dan guntur, dari belakang, Yanling memeluk dengan erat. Lelaki itu juga terisak penuh penyesalan. Duka menjadi cerita di bawah awan hitam dan remangnya rajar.

Tamat.

Sio Panga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang