#KarnavalMenulis
#FCP
#Dayke-1
#Part1Pulang
#1114kata***
Sejak datang hingga ia berdiri di depan kantor kabid humas kampusnya, perempuan itu sudah berkali-kali menghela napas dan mengembuskannya dengan berat.
Hawa dingin dari air conditioner di ruangan itu membuatnya semakin kedinginan, berkali-kali ia mengusap telapak tangannya yang basah karena gugup. Terlebih ketika berhadapan langsung dengan Pak Wahyono, atasan yang selama ini telah membantunya di kampus ini.
Laki-laki paruh baya itu sempat menyayangkan keputusannya, terlebih kinerjanya di bagian humas kampus sudah mulai menampakkan kemajuan yang signifikan. Namun, setelah Arti menjelaskan alasannya, akhirnya beliau tidak bisa berbuat banyak, selain memberi dukungan.
“Sekali lagi terima kasih untuk kesempatan dan bimbingannya selama ini, Pak,” ucap perempuan itu seraya menjabat tangan atasannya.
Setelah menyerahkan surat tersebut akhirnya ia merasa lega, meski sejujurnya ia tengah dihinggapi rasa hampa, karena keputusan itu harus membawanya kembali pada posisi semula.
Satu koma lima tahun bukan waktu yang sebentar baginya, karena selama itu pula ia berusaha semaksimal mungkin untuk melupakan semua hal yang membuatnya memilih singgah di sini. Di kota yang katanya selalu dirindukan oleh setiap orang yang pernah menginjakkan kaki di sini.
Setelah perjuangannya hampir berhasil, keadaan malah menyuruhnya untuk kembali, dan menolak sepertinya bukan hal yang tepat untuk saat ini.
“Mbak Lia!”
Mendengar namanya dipanggil, perempuan dengan setelan blazer hitam itu menoleh pada sumber suara.
“Mbak Cici? Ada apa kok lari-lari? Kayak dikejar massa aja,” selorohnya asal. Lalu berjalan pelan menjauhi pintu Kadiv Humas kampus tempatnya bekerja tujuh belas bulan terakhir.
Cici—perempuan sipit itu terengah-engah ketika sampai di dekat Lia atau Arti Nurapriliani—nama lengkapnya sesuai akta kelahiran dan ijazah yang dimiliki.
“Aku baru tau infonya dari temen-temen di prodi.”
“Info apa?” Arti berjalan pelan sembari tersenyum ketika berpapasan dengan rekan-rekan dan mahasiswa yang dikenalnya.
“Mbak Lia katanya mau resign, terus pulang ke kampung halaman. Bener, Mbak?”
“Iya, Mbak. Aku mesti pulang ... padahal sekarang itu aku mulai kerasan tinggal di sini,” sesalnya sembari menghentikan langkah di langkan lantai tiga gedung kampus.
Bola mata Arti memindai sekeliling area kampus dari atas tempatnya berdiri. Ia masih ingat ketika pertama kali masuk sebagai karyawan divisi humas di sini, berkat informasi dari saudara ayahnya. Kota ini menjadi pengalaman pertamanya menjadi perantau, jauh dari siapa-siapa, terutama keluarga.
“Berarti ospek nanti Mbak Lia ndak ikut, ya?”
“Iya, Mbak. Akhir pekan ini aku pulang.”
Cici yang memiliki nama asli Larasati itu hanya mendengkus pasrah sambil menatap temannya yang akan kembali ke tempat asalnya. Meskipun berat, tetapi Cici tidak memiliki hak apa-apa untuk menahan kepergian Arti.
“Ah, aku ndak bisa apa-apa selain dukung keputusan Mbak Lia.” Tangan Cici menepuk pelan pundak Arti.
“Terima kasih Mbak Cici, aku bersyukur bisa berteman sama Mbak di sini.” Arti mengulas senyum tulus, dan dibalas dengan hal yang sama oleh perempuan mungil di sampingnya.
“Aduh, iki kok mellow sih, Mbak.” Cici mengalihkan pandangannya ke lain arah, menutupi kesedihan akibat harus berpisah dengan teman baiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
General FictionSetelah mempercayakan jiwa raganya untuk ditata ulang di tempat yang jauh dari kota kelahiran. Pada akhirnya Arti Nurapriliani harus kembali tanpa bisa menolak dan memilih meninggalkan sosok yang ia percaya menjadi pelabuhan terakhir hatinya. Meski...