Part 1 - Mimpi Buruk

17 3 0
                                    

Aku benci keadaan seperti ini, di mana aku dituntut harus tetap berpikir positif, saat sedang khawatir tentang keadaanmu saat ini yang tak bisa kuketahui dengan pasti.

—Nisa Syarifah

Angin malam berkali-kali telah menyapaku dengan ramah, menerpa secara halus hingga membuat secangkir kopi yang tengah kuminum lebih cepat dingin dari biasanya. Dan ia juga berhasil menembus kulitku sehingga membuatku beringsut memeluk kedua kakiku yang tertekuk dengan kuat, karena dingin telah berhasil menjalar ke seluruh tubuhku. Ah, angin malam ini seakan-akan menyuruhku untuk menutup jendela kamar dan segera bergegas tidur saja. Padahal kopiku masih tersisa beberapa teguk lagi, belum benar-benar habis dan aku juga masih belum puas memandangi tumbuhan kecil berwarna hijau yang sangat kusukai ini.

Bukan tanpa alasan aku begitu menyukai kaktus atau dalam ejaan bahasa Yunani klasik Κακτος, tanaman unik berasal dari negara Amerika yang namanya mempunyai makna tanaman liar berduri. Aku menyukainya karena filosofi yang terdapat pada tumbuhan tersebut, yang membuat aku tak pernah jemu untuk memandanginya meski setiap hari bahkan setiap detik sekalipun. Karena darinya aku bisa belajar banyak tentang berbagai hal yang selama ini tak pernah terbesit dalam pikiranku.

Saat aku sedang asik mengamati setiap duri yang ada di tumbuhan mungil tersebut, tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk. Sehingga membuatku terperanjat kaget dan langsung diam membeku di tempatku duduk, pasalnya sekarang sudah pukul sebelas malam dan jam segini biasanya para penghuni rumah ini sudah terlelap semua dalam buaian mimpi kecuali aku yang memang sering tidur paling akhir.

Karena tak ada jawaban apa-apa dariku pintu pun lantas terketuk kembali. Namun, kali ini disusul dengan suara ibu dari luar. 

"Kamu belum tidur di dalam 'kan, Fah?" tanya Ibu dengan setengah berteriak. Aku yang mendengarnya pun lantas menghela napas lega dan segera beranjak untuk membukakan Ibu pintu.

"Belum kok, Bu." jawabku saat pintu kamar telah kubuka dan aku pun langsung mendapati Ibu tengah berdiri sambil tersenyum kecil ke arahku. "Ayo masuk, Bu!" ajakku sambil menggandeng tangan Ibu kemudian kulepaskan, saat Ibu sudah duduk di atas kasur sedang aku memilih untuk merebahkan diri di samping Ibu.

Ibu yang melihat jendela kamarku yang tidak ditutup lantas segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela yang masih terbuka lebar. Aku yang menyadarinya pun langsung terperanjat bangun dan menepuk jidat. 

Astaghfirulloh ... Kebiasaan banget kamu Syarifah suka ceroboh! Bisa-bisanya cangkir kopi dibiarin ada di situ. Nanti kalo ketahuan Ibu gimana coba? Ish, gerutuku.

"Ini jendela kenapa dibuka, Fah? Angin malam nggak bagus loh buat kesehatan, nanti bisa-bisa kamu masuk angin kalo kelamaan kena angin malam." Nasehat Ibu kepadaku dengan lembut sambil menutup jendela kamar dan tirai.

"Alhamdulillah …," ucapku lirih tapi masih bisa terdengar oleh telinga Ibu, sehingga membuat Ibu urung menutup tirai jendela kamarku yang berwarna abu-abu dan lantas membalikkan tubuhnya ke arahku dengan penuh sambil mengernyit bingung.

"Ada apa, Fah kok kamu ngucap hamdalah?" tanya Ibu membuatku yang hendak kembali berbaring pun langsung duduk seperti sebelumnya karena terkejut.

"Mmm ... Itu Bu aku sedang bersyukur karena sudah dilahirkan dan dibesarkan oleh Ibu yang sangat baik, perhatian, penyayang, dan penyabar seperti Ibu," jawabku dengan sekenanya dan Ibu justru menanggapi dengan gelak tawa yang renyah.

"Ibu kenapa malah ketawa?" tanyaku bingung.

"Ya habisnya kamu itu lucu, Fah. Di mana-mana yang namanya Ibu pasti seperti itu dan terus kamu kesambet atau gimana, hm? Kok tumben-tumbenan bilang gitu? Karena dari dulu kamu nggak pernah sekali pun mengutarakan hal-hal seperti itu, semuanya pasti kamu simpan sendiri," terang Ibu membuatku tercengang sekaligus membenarkan apa yang dikatakan Ibu barusan.

"Hehe nggak tau juga aku, Bu. Kayaknya aku udah terkontaminasi temen-temen ku di sekolah deh," ucapku sambil menggaruk tengkuk ku yang sebenarnya tidak gatal.

Setelah aku menjawab seperti itu, Ibu tak berkata lagi. Melainkan hanya menanggapi ucapanku dengan sebuah senyuman, kemudian Ibu pun berbalik membelakangiku untuk menutup tirai jendela. Namun, lagi-lagi harus tertunda sebab Ibu menemukan cangkir kopiku yang hampir tandas.

"Kamu minum kopi lagi malam ini, Fah?" tanya Ibu sembari mengambil secangkir kopi dari ambang dorpel bawah jendela untuk dibawa ke dapur.

"I-iya, Bu. Tapi kopinya nggak ngaruh kok ke tubuh Syarifah. Buktinya aku bisa ngerasain ngantuk sekarang," belaku pada Ibu yang sontak membuat langkah Ibu terhenti.

"Iya … tapi nggak boleh sering-sering Syarifah sayang. Karena kafein yang ada dalam kopi itu nggak baik buat tubuh kamu. Kamu sudah besar sekarang, tentunya kamu bisa membedakan mana yang baik dan buruk bagi kamu sendiri. Ya, sudah Ibu mau naruh ini dulu di dapur."

"Tunggu, Bu!"

"Ada apa? Mau kamu habiskan kopinya, hm?"

"Eh enggak kok, Bu," jawabku sambil bangkit dari tempat tidurku dan sedetik kemudian aku telah mengambil alih cangkir kotor bekas minum kopiku dari tangan wanita yang sangat kusayangi itu. "Ibu di sini aja, ya. Tidur, karena pasti capek banget 'kan seharian nggak istirahat sama sekali gara-gara ngurusin rumah," ucapku seraya tersenyum simpul ke arah Ibu sejenak kemudian langsung melenggang pergi menuju dapur setelah Ibu juga turut mengukir senyum.

Sepeninggal aku, Ibu pun bergegas menarik dua gorden jendela yang ada di samping kiri dan kanan secara bersamaan. Hingga keduanya bertemu di tengah tengah-tengah dan menutupi jendela dengan sempurna. Lalu tak lama dari itu aku pun datang, dan Ibu langsung menghampiriku.

"Ini sudah malam. Tidur, ya sayang 'kan besok sekolah," kata Ibu sambil mengelus dengan penuh kasih sayang puncak kepalaku yang tertutupi jilbab.

"Iya. Ibu juga, ya," jawabku sambil menatap Ibu. "Oh, iya. Tadi ada apa Ibu malam-malam ke kamarku?" tanyaku ketika baru ingat.

"Nggak jadi besok-besok saja ya, Nak," jawab Ibu sambil tersenyum kemudian Ibu segera pamit untuk kembali ke kamarnya sendiri. Namun sebelum Ibu keluar dari kamarku tak lupa Ibu mencium pipiku terlebih dahulu.

***

"Astaghfirullahal'adzim Ya Allah!" seruku kaget saat terbangun dari tidur karena mimpi buruk tentang dia datang lagi. Saat posisiku telah duduk sempurna di atas kasur dengan cepat aku meludah ke arah sisi kiriku kemudian aku membaca doa mimpi buruk yang diriwayatkan oleh Ibn As-Sani dengan gemetar dan takut.

Allahumma inni a'uudzu bika min 'amalisy syaythaani wa sayyi'atil ahlami.

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan setan dan dari mimpi-mimpi yang buruk."

Dengan detak jantung yang tak normal dan napas tak beraturan sama sekali serta pikiran-pikiran negatif yang mulai datang bersarang di kepalaku kembali menyerang. Aku pun segera menoleh ke arah nakas untuk melihat jam weker yang ternyata menunjukkan pukul dua dini hari.

Tak mau membuang-buang waktu, aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu' kemudian segera kugelar sajadah dan kutunaikan sholat tahajjud kemudian dilanjutkan dengan membaca Al-Qur'an hingga perasaanku benar-benar tenang sehingga aku tidak terlalu overthinking.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diketuk RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang