Seorang gadis berkacamata bulat sedang termenung seorang diri di tepi pantai. Ia seperti menginterogasi semesta, apa yang salah darinya? Mengapa ia harus sampai di sini. Ya, di sinilah tempat pelariannya ketika sudah tak sanggup lagi memendam segala kekacauan yang menimpanya.
Sepi, itulah yang dirasakan gadis berusia 21 tahun ini. Ia berasal dari keluarga sederhana. Semenjak dunia memburuk dengan hadirnya virus tak diundang, ekonomi keluar tidak lagi sepesat sebelumnya. Ia memutar otak agar bisa lebih mandiri dan tidak merepotkan orang tuanya.
Bersama kesepian, ia menerobos kabut hitam untuk tetap bisa menggapai apa yang didamba. Tidak ada yang tahu bagaimana asap-asap itu menyesakkan dadanya hingga sulit bernapas. Ia berjuang sendirian dengan 'asa' yang tersisa. Ia tidak akan membiarkan orang lain mengetahui kesulitannya, hanya tawa yang ia suguhkan kepada mereka.
Di tengah diaolognya dengan semesta, mata merahnya menangkap dua anak kecil tengah membuat istana pasir. Ia jadi rindu masa-masa kecilnya, yang tak pernah merasa khawatir akan kehidupannya. Ia mengusap mata sembabnya, kemudian menghmpiri mereka.
"Hai, sedang bikin apa kalian?" sapa Dela.
"Eh, Kakak, kita bikin istana pasir, nih, Kak. Tapi dari tadi belum jadi," sahut anak laki-laki bermata sipit.
"Iya, nih, Kak. Dari tadi roboh terus," timpal gadis kecil di sampingnya, sambil menyebikkan bibirnya.
Melihat itu, Dela tertawa geli. Mereka terlihat polos sekali, kedua mata mereka jernih tak berkabut seperti miliknya. Tangan Dela gatal ingin mengepalkan pasir itu, lalu menyusunnya menjadi istana megah seperti di dalam khayalannya.
"Uhm, boleh Kakak bantu?" tawar Dela.
"Wah, beneran, Kakak mau bantuin kita?" sahut Naya, gadis imut itu semringah.
Dela mengangguk antusias, sedangkan Reno tersenyum lebar penuh semangat. Melihat itu, kekalutan Dela perlahan lenyap tergantikan dengan gelak tawa yang lama tidak ia rasakan.
Suara ombak yang biasanya jadi penenang kekalutannya, kini berubah menjadi penyemangat untuk mencapai puncak istana pasirnya. Naya dan Reno tak kalah semangat darinya, mereka berlomba mendirikan istana termegah yang tiada tandingannya. Adu mulut pun tidak terlewatkan, justru itu membuat Dela semakin tertawa lepas. Tidak ada yang mau mengalah di sini, Dela hampir kewalahan karena mereka berebut ingin dibantu olehnya.
Tak terasa, Sang Surya pamit untuk kembali ke peraduan. Reno dan Naya beberes untuk pulang. Ternyata rumah mereka tidak jauh dari pantai. Dela menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang.
Seusai mengantar Reno dan Naya, Dela bergegas pulang takut ibunya khawatir. Benar saja, ibu sudah menunggu di teras rumah. Raut wajahnya terlihat tenang yang dipaksakan. Dela tahu ibunya khawatir dengannya.
"Dela, kamu dari mana, Nak?" tanya Ibu sebisa mungkin tetap tenang.
"Uhm, Dela habis main dari rumah Sera, Bu," bohong Dela sambil mengangkat sedikit ujung bibirnya.
"Ya sudah, kamu mandi, gih! terus makan malam," ucap sang Ibu sembari menepuk ringan punggung Dela, ia hanya mengangguk.
Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, Dela melihat ibunya memasak sambil melamun, entah apa yang mengusik pikiran ibunya itu. Ia berniat ingin membantu, tetapi takut membuat Ibu tidak nyaman. Ia terus memerhatikan ibunya, hingga mencium bau sesuatu yang terbakar. Ia bangkit, lalu bergegas ke dapur.
"Bu, tahunya gosong!" pekik Dela.
Lamunan Sarah pun buyar, lantas mematikan kompornya. Dela heran, sebenarnya apa yang sedang Ibu pikirkan, sampai tidak mencium bau gosong di dekatnya.
"Bu, Ibu ngelamunin apa, sih?" tanya Dela khawatir.
"Nggak ada, Dela, Ibu hanya sedikit pusing saja," jawab Ibu tidak ingin Dela tahu yang dipikirkannya.
Dela mengambil alih spatula yang dipegang ibunya. Dela menyuruh ibunya istirahat, biar dia yang memasak untuk malam ini. Ibu pun tidak bisa menolak, tubuhnya yang lemas tidak bisa berbohong.
Setelah semua masakan tersaji, Dela memanggil ibunya untuk makan. Sejak ia pulang dari pantai, ia tidak melihat ayahnya di rumah. Kata Ibu, Ayah akan pulang terlambat. Jadi, mereka makan dahulu tanpa sang Ayah.
Di tengah makan malam, ponsel Ibu berdering. Ibu langsung mengangkatnya, tak lama raut Ibu berubah menjadi cemas. Ibu tak mengatakan apa pun, lantas pergi menuju kamar. Dela berlari meyusul Ibu.
"Bu, ada apa? Ibu mau ke mana?" tanya Dela penasaran sekaligus cemas.
"Kamu di rumah ya, jangan lupa kunci pintunya. Ibu mau pergi sebentar."
🌊🏝🌫🌬⛅
655 words
Thank you, kabut hitam, berkatmu aku banyak belajar mencari celah untuk memperoleh hirupan segar. -jeongyeoun
Teruntuk readers, sempatkan vote ya.. satu klik sangat berarti for me, thanks💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Serasa
ChickLitPerjuangan seorang gadis menggapai cita (kesuksesan, cinta, dan kebahagiaan) berbekal ribuan asa yang terkumpul.