Final Decision

470 53 2
                                    

Tak ada kehidupan yang sempurna, di setiap kehidupan manusia pasti memiliki berbagai macam cobaan, bisa jadi ringan atau berat. Manusia juga membutuhkan bantuan orang lain dalam menghadapi itu. Namun bagaimana jika orang lain juga tidak bisa membantu?

Jihyo pun juga tidak mengetahui bagaimana cara memperbaikinya.

Orang-orang melihat Jihyo sebagai orang yang pekerja keras, baik, dan ceria. Namun, tak banyak yang mengetahui dibalik wajahnya yang terlihat tidak apa-apa, ternyata menyimpan luka dan kesedihan.

Angin berhembus menerpa wajah. Sejuk, sangat khas dengan angin sore menjelang malam. Duduk di atas batu, di tempat yang tinggi. Ia bisa melihat dengan jelas indahnya matahari yang sebentar lagi akan tenggelam dan akan digantikan oleh bulan. Siapa saja yang melihat, hatinya pasti akan terasa tenang dan damai. Tapi tidak untuk Jihyo, hatinya mati rasa.

Ingin ia marah, tetapi tidak ada yang bisa ia salahkan. Ingin ia menangis, tetapi itu juga tidak mungkin karena air mata sudah habis ia keluarkan. Bahkan ia sekarang sudah lupa bagaimana caranya untuk tersenyum.

Selama ini Jihyo selalu menampilkan senyum terbaiknya di hadapan fans dan bersikap normal agar keluarga tak khawatir. Tapi, mereka tidak tahu semua tekanan yang selalu Jihyo hadapi dan sekarang, Jihyo sudah tak tahan lagi. Sesak di dalam dadanya sudah mencapai puncaknya.

Jihyo bangun dari duduknya, melangkahkan kakinya kedepan dengan wajah basah bekas air mata. Ia terhenti ketika ia bisa melihat pinggirannya, sangat tinggi, hanya beberapa meter darinya berdiri. Otak dan hatinya terus berargumen, apakah harus melanjutkan atau berhenti saja. Jihyo sedang menghadapi pilihan terberat sekaligus tergila di dalam hidupnya.

Mengakhiri hidup.

Ini pilihan yang benar bukan? Banyak orang yang tidak suka dengannya, untuk apa ia terus bertahan.

Jihyo menemukan tempat ini satu minggu lalu, atau lebih tepatnya ia merencanakan ini semua sejak minggu lalu. Gedung mangkrak berlantai 7 yang hanya jadi kerangkanya saja, ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Saat ini Jihyo berada di lantai tertinggi yang mungkin dulu direncanakan akan menjadi rooftop.

Jihyo masih tidak yakin akan pilihannya, takut dan gelisah menyelimuti dirinya. Ia tahu resiko yang akan terjadi, meninggalkan keluarga tercinta dan teman-teman.

Dua tahun yang sangat melelahkan dan menyakitkan. Yang ia kira akan baik-baik saja, ia sama sekali tidak menyangka jika ini terjadi pada dirinya. Rasa dibenci, rasa dihina, rasa direndahkan oleh orang lain, Jihyo sudah bosan dan muak merasakan itu semua. Ingat betul di dalam kepalanya kalau ia sama sekali tidak pernah melakukan hal yang tidak baik. Jihyo tidak tahu apa-apa, Jihyo hanya ingin menggapai impiannya.

Suatu hari, terbesit didalam pikirannya, mengapa ia tidak pergi saja selamanya semenjak kehadirannya tidak diterima? Pemikiran itu berubah menjadi rencana dan rencana itu sedang terjadi sekarang, melompat dari gedung lantai 7.

Bisa saja ia melakukannya dengan yang lebih mudah seperti gantung diri, atau lompat saja dari apartemennya, itu akan lebih efektif karena apartemennya lebih tinggi 3 lantai dari ia berada.

Ia memilih tempat ini karena sepi dan tidak akan menarik perhatian orang lain, berbeda jika di apartemennya. Toh banyak orang tidak menyukai dirinya, siapa yang akan peduli? Lebih baik ia hilang saja dan tak ada yang tahu kemana perginya. Jika beruntung, mereka mungkin akan menemukannya.

Setelah lama berdiri, akhirnya ia bergerak. Jihyo melangkahkan kakinya lagi, langkahnya terasa sangat berat. Kaki terhenti saat tak ada jarak lagi dengan pinggiran lantai gedung itu. Otak sudah mengalahkan hati walau sebenarnya, ia masih ingin bertahan. Ia sudah menentukan akhir dari semua ini.

Opposite | JeonghyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang