Vigna Ragiata, atau lebih akrab disapa Ragi itu merupakan siswa kelas dua sebuah SMA Negeri favorit di Ibukota.
Ragi sendiri adalah anak seorang pengusaha sukses di kotanya. Selain itu, visual yang menarik bak seorang aktor kenamaan negeri gingseng membuat ia digilai kaum hawa.
Sayang, Ragi yang tampan itu terlalu dingin terhadap wanita, sehingga mendapat julukan 'kulkas berjalan'.
Bukan tanpa alasan, trauma yang dialaminya di masa lalu, membuat ia takut bahkan pantang walau sekedar bersentuhan dengan lawan jenis.
Maka tak heran, jika banyak kabar miring beredar tentangnya. Meski begitu, Ragi tak mau ambil pusing dan tetap bersikap tak acuh.
"Morning, Ragi ...."
Eugenia Aquea atau Geni, murid kelas sebelah, menunggu dan menyapa Ragi di depan pintu kelasnya seperti biasa.
Gadis pemilik body aduhai itu mengedip centil sambil memainkan ujung rambutnya yang tergerai kepirangan.
Sayang, Ragi tetap tak peduli meski gadis itu terlihat lebih cantik dan menor dibanding hari-hari lalu.
Ragi berlalu begitu saja menuju kelasnya, tanpa sedikit pun merilirik gadis yang berdiri eksotis memeluk tiang pintu. Mencari perhatian.
"Emang enak dicuekin?" ejek dua orang siswa yang kebetulan lewat. Menertawakan.
Geni mendengkus kesal. Kaki menghentak lantai. Sia-sia usahanya dandan berjam-jam, Ragi tetap tak peduli.
Saat jam pelajaran berlangsung, Ragi yang duduk di bangku depan tampak serius mengikuti materi yang disampaikan gurunya.
Siswa tersebut hanya sesekali terlihat menggerakkan kepala ke kiri dan kanan. Selebihnya, tetap fokus.
Bel istirahat berbunyi. Lorong-lorong kelas yang semula sepi, mulai dilibas keramaian siswa-siswi.
Geni dengan sabar menunggu Ragi lewat di pintu kelas. Gadis cantik yang populer seantero sekolah itu tak mau menyerah.
"Percuma, si Ragi nggak bakal tertarik sama lo ...." Alpinia Galanga, atau Alpin tak bosan mengingatkan gadis yang lama disukainya.
Dengan gaya cool-nya, Alpin berdiri di samping Geni sambil menggendong kedua tangan.
Geni mendelik jutek. Acuh tak acuh. Gadis itu sibuk menata rambut agar terlihat lebih cantik.
Alpin tersenyum kecut. Berjalan ke tembok beton pembatas balkon. Sesaat, remaja berpostur tinggi itu diam menatap keramaian di bawah sana.
"Hay Ragi ...." Geni mencegat Ragi dengan tingkah centilnya.
Ragi yang berjalan sendiri hanya mendengkus pelan seraya membuang wajah. Bosan. Hampir setiap hari Geni mengganggunya.
"Kok, sendiri?" tanya Geni. Celingukan mencari dua teman Ragi yang biasa membersamainya.
Ragi hanya bergeming. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celana kiri dan kanan.
"G*y mana suka sama cewek!"
Ragi dan Geni sontak menoleh Alpin yang bersandar pada tembok beton pembatas balkon.
"Heh, lo jangan asal bicara!" Geni tak terima.
Alpin dan Ragi saling menatap.
Malas berdebat. Ragi memilih pergi dan mengacuhkan Geni yang terus mengikutinya.
"Gi, pelan-pelan!" Geni terus mengekor, berusaha menyejajari langkah Ragi yang cepat.
Ragi terus bergerak melewati lorong kelas lantai dasar menuju kantin.
Sepanjang berjalan, banyak pasang mata kaum hawa mencuri pandang sambil berbisik-bisik.
"Si Geni kecentilan banget!"
"Iya, bener ... sok kecantikan pula."
Geni yang menyadari hal itu, membalas sinis sambil mengibaskan rambut. "Apa liat-liat? Ngiri sama kecantikan gue, hah!"
"Dih, amit-amit ... PD-nya nggak ketulungan."
Ragi yang diikuti Geni sudah sampai di kantin.
"Bro, di sini!" Siswa berambut kriting mengacungkan tangan di salah satu meja.
Ragi membalas mengacungkan jempol. Geni terus mengikuti sambil memutar ujung rambut, dengan langkah berlenggok-lenggok.
Bruk!
Langkah Ragi tersentak, saat tak sengaja bertubrukan dengan seorang siswi yang membawa semangkuk bakso.
"Ya ampun ... ma-maaf, Kak!" Siswi tersebut segera menaruh mangkuk baksonya di sembarang meja, dan mencabut tissue.
Ragi mengangkat kedua tangan dan mundur satu langkah, saat siswi tersebut berusaha membersihkan noda di seragamnya.
"Ya ampun! Kalo jalan itu pake mata!" cecar Geni. Mengundang perhatian banyak pasang mata.
"I-iya, ma-maaf, kak ...." Gadis rambut diikat satu itu membungkuk. Meminta maaf.
"Maaf, maaf ... bilang aja lo mau caper!" Geni menyelonong. Menyenggol kasar bahu si gadis, menyusul Ragi yang berlalu begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBUAH TRAUMA
Teen FictionPeristiwa traumatis memang tidak selalu meninggalkan luka fisik. Namun, seringkali meninggalkan luka psikis dan emosional. Seperti yang dialami Vigna Ragiata, remaja berparas tampan yang digilai kaum hawa itu miliki sebuah trauma. Tak ada yang tahu...