Kabar Miring

13 3 7
                                    

       Kabar miring kembali berembus. Ragi menjadi sorotan murid-murid di sekolah, tak ubahnya seorang selebritis.

      Maklum, Ragi anak seorang pengusaha terpandang di kotanya. Bima Aditama Wijaya.

      Ada yang percaya, ada yang tidak. Namun, kebanyakan dari mereka masih menerka-nerka. Bahkan, rela menjadi detektif dadakan guna mencari sebuah kebenaran.

       Di saat kedua sahabatnya, Brian dan Vino, sibuk mencari siapa biang kerok penyebar fitnah tersebut, Ragi masih terlihat santai dan tak mau ambil pusing.

      "Pasti lo 'kan yang nyebarin fitnah itu? Ngaku!" Brian melabrak Geni di kelasnya bersama Vino.

      "Heh, jangan asal tuduh! Mana mungkin gue tega memfitnah cowok yang gue suka." Geni membela diri. Tak terima.

       "Halah ... nggak usah pura-pura! Kita tahu lo itu sakit hati gara-gara ditolak si Ragi 'kan?" Vino ikut mengintrogasi.

      "Mana buktinya kalo emang gue yang nyebar fitnah?" Geni membusungkan dada sambil berkacak pinggang.

      Brian dan Vino saling melempar senyum miring.

      "Mana ada maling mau ngaku!" ucap Brian sembari menyilangkan tangan di dada.

      "Ter-se-rah! Sana pergi lo berdua!" usir Geni setengah mendorong dada kedua remaja tersebut sampai keluar kelas.

****

       Di kelas satu lantai dasar. Oryza Sativa, gadis lugu rambut ikat satu itu berulang kali memutar bola mata.

      Konsentrasinya menggores ujung pensil di atas kertas polos menjadi terganggu, akibat ulah kedua temannya yang terus bergosip.

       "Bicara tanpa bukti itu nanti jatuhnya fitnah!" Ory mengingatkan.

       "Tapi ini bukan fitnah, Ry ... semua orang di sekolah ini udah tahu," timpal Elly sangat percaya diri.

      "Betul, betul, betul ... gue aja masih nggak nyangka, cowok seganteng dan setajir Kak Ragi ternyata seorang--" Lisa bergidik ngeri membayangkan yang tidak-tidak.

      Ory menepuk dahi sambil menggeleng.

      "Ry, lo inget 'kan kejadian waktu di kantin beberapa hari lalu?" Lisa menepuk bahu Ory yang duduk di sebelahnya.

      Ory menoleh malas. Tangan kirinya digunakan menumpu dagu.

      "Itu salah satu bukti kalo si Kak Ragi emang nggak suka cewek!" Lisa makin bersemangat membenarkan gosip miring tersebut.

      Ory mengembuskan napas kasar. Gadis lugu berbadan mungil itu sebenarnya tak mau peduli. Toh, baginya tidak penting mengurusi kehidupan orang lain.

      Bel pulang berbunyi. Murid-murid SMA Negeri Harapan Bangsa keluar dari kelas masing-masing.

      "Ry, kita duluan, ya ...." Elly dan Lisa pamitan.

       Keduanya memang selalu pulang bersama karena rumahnya bersebelahan.

      "Ok!" Ory yang masih beberes mengacungkan jempol.

       Kelas-kelas mulai sepi ditinggal para penghuninya. Ory keluar dari kelas. Tas gendong hitam yang kebesaran menggantung di punggung.

       Ory berjalan melewati lorong menuju parkiran. Langkah kakinya terlihat ringan, air muka cerah tanpa beban.

      "Hey, Ry ...."

      "Hey ...." Ory melambai dan tersenyum menjawab sapaan beberapa temannya.

      Parkiran tampak lengang menyisakan beberapa motor. Ory terus berjalan sambil bersenandung. Rambut hitamnya yang diikat satu berkilau disiram sinar matahari, bergerak mengikuti ayunan kaki.

      "Huuh, panas banget hari ini ...." Ory mengusap leher. Melihat ke atas, dengan memposisikan tangan miring di dahi.

      Di sebelah motor meticnya, sebuah motor jenis sport warna merah terlihat begitu menyilaukan.

      Ory melirik sekilas. Tak peduli.

      Namun, saat dirinya tengah mengencangkan tali helm. Tiba-tiba seseorang yang akhir-akhir ini santer diperbincangkan datang mengejutkannya.

       Ragi duduk di motornya. Memainkan ponsel.

      Ory menelan ludah, pura-pura mencari sesuatu di dalam tas.

      Ternyata benar, pesona lelaki di sampingnya tak bisa diabaikan. Pantas saja banyak siswi di sekolahnya tergila-gila.

       Dalam hati Ory meracau sendiri. Rasa-rasanya tidak mungkin kalau Ragi seorang penyuka sesama jenis.

       "Halo, Nek ... iya, Ragi segera pulang."

      Ory membulatkan mata, mulut terkatup rapat. Suara lelaki di sampingnya yang serak-serak basah, membuat bulu-bulu halusnya berdiri.

      Gadis itu menggeleng cepat. Berusaha menolak pesona Ragi yang nyaris meruntuhkan komitmennya.

      Sementara Ragi sudah berlalu bersama motor sport-nya. Ory baru tersadar dan segera menyalakan mesin motor.

SEBUAH TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang