Akibat Perceraian

15 4 4
                                    

"Istri tak tahu diri ... pengkhianat!"

Dua tamparan mendarat di pipi mulus Sofia, wanita yang sudah memberinya seorang putra bernama Vigna Ragiata.

Bukannya menyesal atau memohon maaf. Sofia dengan pongah bangkit dan berlalu ke kamar, meninggalkan Bima yang menggeram menahan amarah.

Bima berteriak frustasi. Hatinya amat terluka. Sofia, wanita yang sudah sebelas tahun membersamainya tega berkhianat.

Selang beberapa menit, Sofia keluar dari kamar membawa sebuah koper. Ragi yang saat itu baru berusia 9 tahun hanya mengintip takut di balik pintu kamarnya.

"Aku sudah mengajukan gugatan cerai!" ucap Sofia sebelum berlalu meninggalkan rumah dan sejuta kenangannya.

Ragi duduk memeluk lutut di balik pintu kamar. Bocah kelas 3 SD itu tak pernah membayangkan, jika Sofia memilih meninggalkan ia dan Bima, bersama laki-laki asing yang tempo hari dilihatnya.

Ragi meringis sambil menutup kedua telinga. Teriakan Bima di ruang tamu menggema menembus dinding kamar, disusul bunyi pecahan benda menghentak lantai.

Pasca percerian kedua orang tuanya, Ragi memilih tinggal bersama nenek dan pamannya yang kebetulan rumahnya hanya terpisah dua atap.

Bukan tanpa alasan, Ragi merasa amat kesepian dan kerap dihantui mimpi buruk. Terlebih sikap Bima berubah drastis. Lelaki itu menjadi jarang ada di rumah dan seolah tak lagi peduli pada putra tunggalnya.

Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu merengkuh dan mendekap Ragi yang tengah terguncang jiwanya.

"Kamu harus kuat, Nak ...," lirih Mariana kala itu sambil mendekap erat Ragi, cucunya.

Enam bulan berlalu. Bima membujuk Ragi untuk kembali tinggal bersamanya. Lelaki itu merasa amat menyesal karena sudah mengabaikan kewajibannya sebagai seorang ayah.

"Maafkan Papah ...." Bima memeluk erat putranya yang bergeming. Dan berjanji tidak akan mengabaikannya lagi.

Selang dua tahun setelah keadaan mulai membaik. Bima membawa dan mengenalkan Mely, kekasihnya, kepada Ragi dan Mariana, ibunya.

Kehadiran Mely rupanya memberi banyak warna dalam kehidupan Bima dan Ragi. Sebagai ibu, Mariana ikut bahagia saat Bima punya itikad baik untuk segera menikahi wanita tersebut.

"Kalau kamu dan Ragi bahagia, Ibu juga pasti bahagia," ujar Mariana kala itu sembari mengusap kepala Bima. Memberi restu.

Namun, kebahagiaan Bima dan keluarganya tak berlangsung lama. Hanya berselang satu tahun, kedok Mely yang sebenarnya terkuak.

"Pergi kamu dari rumah ini!" teriak Bima sambil melempar keluar koper pakaian milik Mely.

"Maafkan aku, Mas ... maafkan aku!" Mely mengiba bersimpuh memeluk kaki Bima.

"Aarrgg!" Tak ada maaf. Bima menyentak kakinya dari lilitan tangan Mely.

Sementara itu, lelaki asing yang sudah menodai ranjang pernikahannya tak berkutik dengan luka lebam di sekujur tubuh dan wajah.

Mariana yang saat itu menjadi saksi hanya bisa memeluk erat Ragi sambil terisak.

Di satu sisi, wanita paruh baya itu merasa lega karena kebusukan Mely secepat itu terkuak. Namun, di sisi lain Mariana menjadi sangat khawatir akan psikis Ragi di masa mendatang.

Bagaimana tidak? Cucunya yang masih terlalu muda, harus mengalami tekanan hebat secara berturut-turut.

"Awas kalau berani mengadu. Saya tidak akan segan-segan menghabisi kamu dan si nenek tua itu!" ancam Mely kala itu, saat Ragi tak sengaja mempergokinya tengah bersetubuh dengan lelaki lain di kamar Bima.

Bukan sekali dua kali Ragi mendapati lelaki itu dibawa masuk ke rumah saat Bima di luar kota. Hanya saja, ancaman Mely serta perlakuan kasarnya membuat Ragi takut untuk mengadu pada Bima atau Mariana.

Beruntung, salah satu ART-nya diam-diam melaporkan perbuatan Mely selama Bima tak ada di rumah.

SEBUAH TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang