Sudah beberapa hari ini, Riku selalu main bareng gue dan temen-temen. Sebagai satu-satunya cowok, gue paham betapa dilemanya si Riku. Jika ingin bergabung dengan sesama cowok, dia harus melintasi gedung antar jurusan yang sebesar stadion olaharaga menuju jurusan tetangga.
Juli pun berinisiatif menawarkan tiap kesempatan untuk menarik Riku dalam setiap kegiatan kami. Kalau yang ini gue juga paham banget. Cewek lebay bin alay ini punya cita-cita pacaran di masa sekolah. Sekarang adalah kesempatan terakhirnya, makanya Juli pendekatan abis-abisan untuk mencuri perhatian Riku.
Percuma kalau gue memperingati si Juli. Akibat ketiban cinta yang jatuh tiba-tiba, dia gak bakal percaya jika gue bilang Riku itu fuckboy.
Gue yakin banget Juli gak pedJuli walau misal akhirnya dia harus dikhianati setelah mereka jadian beneran. Baginya, yang penting sejarah masa SMA-nya punya satu kata paling indah. Pacaran.
Gak waras emang, nih, si Juli!
Lihat aja, sekarang Juli gak kelar-kelar menceritakan pertemuan romantisnya dengan Riku di halaman sekolah kemarin. Bahagianya udah kayak perempuan abis dilamar, diberi emas berlian, diajak keliling dunia, dan dijanjiin hidup bersama seumur hidup.
Parah banget kehaluan si Juli. Riku jelas tidak menampakkan ketertarikan yang sama seperti dirinya. Tapi, apalah daya. Gue sebagai sohib cuma mampu mendengarkan dan mendukung segala kehaluannya yang kecil kemungkinan untuk jadi kenyataan.
"Ya, yaa, ya. Lo udah menceritakan kisah itu hampir seminggu penuh, Li! Budeg gue dengernya," sergah Resya sambil lalu. Dia daritadi bolak-balik menuju dapur. Entah sedang melakukan eksperimen apa.
"Udah, lo masak aja sana. Lo gak bakal tau gimana rasanya diromantisin sama Riku. Aahhh ... dia itu tampan banget. Manis, ramah pula. Gue makin cinta," desah Juli dramatis.
"Lo gak punya kualifikasi jadi pacarnya Riku, Li," kekeh Tian yang dibalas dengan lemparan kaos kaki buluk dari Juli.
"Waduh. Bom dari mana, nih?" Tian menutup hidung saat kaos kaki Juli mendarat di wajahnya.
Juli tertawa puas. "Itu pembalasan dari gue. Seenaknya ngomong kalau gue jelek."
Tian memberengut, duduk tegak menghadap Juli. "Duh, kelewat bucin lo. Gue bukan bilang lo jelek. Tapi si Riku yang gak punya perasaan apa-apa sama lo. Emang dia orangnya gitu, baik ke semua orang. Jadi, lo gak usah berharap aneh-aneh."
"Gak mungkin. Gue ngerasain sendiri kalau sikap Riku ke gue berbeda, cara pandangnya, perhatiannya. Gue yakin dia juga kepincut sama pembawaan gue yang asik dan nyambung sama dia," jawab Juli bersikeras.
"Itu lo yang kelewat baper sama dia, Juli! Duh, gue nih dalam posisi netral. Bisa ngeliat kalau sikap dan tingkah laku Riku sama ke semua orang. Kecuali—"
"Ah, udah deh. Gue yakin, suatu saat Riku akan menyadari perasaan gue dan perasaannya sendiri yang tertarik sama gue. Iya, kan, Di?" tukas Juli mencari pembelaan.
"Iya." Gue yang lagi sibuk memilah buku di rak Resya hanya menjawab kata yang ingin di dengar Juli. Pikiran gue melayang ke kejadian tempo hari di halte bus. Jelas banget si Riku memang jenis pria fucekboy.
Tian menatap bergantian ke arah gue dan Juli, lalu menghela napas dan kembali tenggelam dalam tontonannya di ponsel. "Asal kalau kecewa jangan mewek, ya."
"Tenang. Kalau lo kecewa, gue siap jadi partner gibah lo, Li," sambung gue nyengir.
"Gak bakal. Lo mah tukang kompor, gak cocok jadi partner gibah."
"Bisa, kali. Kita bakal gibahin, terus merancang pembunuhan balas dendam."
"Ye, dasar kompor lo. Hahahaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
A THREAD OF LOVE [PROSES TERBIT]
JugendliteraturIni bukan pondok pesantren. Apalagi asrama putri. Melainkan sebuah SMK dengan 90% dari total populasinya dihuni kaum pemakai rok. Jangan mengharapkan kisah cinta yang manis di sini. Karena hidup 3 tahun di SMK berarti romusa. Namun, tiba-tiba makhl...