Ruangan Putih - Siti Nurhayati Nisfatullaili

17 1 0
                                    

╔═════ೋೋ═════╗
Ruangan Putih
╚═════ೋೋ═════╝





╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
HAPPY READING
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝
≪━─━─━─⊰᯽⊱┈──╌❊╌──┈⊰᯽⊱─━─━─━≫

Suara pintu berderit tertangkap di pendengaranku.

Uh, tempat ini benar-benar ... putih dan kosong. Dari langit-langit hingga yang aku pijak, semua monoton berwarna putih. Hanya ada satu ranjang di pojok ruangan di seberang pintu. Seprei putih di ranjang itu pun berdebu—maksudku, sangat-sangat berdebu. Sudah lama 'Ruangan Putih' ini tidak dimasuki, apalagi dibersihkan semenjak rumor-rumor yang mengalir di desa ini.

Ruangan Putih ini sebenarnya hanya sebuah rumah kecil di tengah-tengah desa yang hanya memiliki satu ruangan—bahkan aku tidak sanggup untuk menyebutnya 'rumah'. Jendela-jendela di sekeliling Ruangan Putih ini juga hanya terbuat dari kertas putih. Aneh memang.

Setiap malam, terdengar suara gaduh di ruangan 4×4 meter ini. Entah itu suara benda yang dibanting—atau terbanting—suara dentuman, sabetan pedang dan suara lain yang berpotensi menyebabkan kegaduhan. Namun setiap pagi, para warga—bernyali tinggi—yang mengintip ke dalam Ruangan Putih ini, tidak menemukan apa pun. Ruangan ini kosong.

Karena suara gaduh yang terdengar menggelegar di malam sunyi itulah yang menyebabkan para warga resah. Pikir mereka, ada makhluk yang bergentayangan di dalam sini setiap malam dan itulah alasanku—ah, maksudku, alasan kami berada di desa ini.

Kami, para pengusir makhluk dipanggil untuk melakukan pengusiran. Dan aku ... DITUMBALKAN KAKAKKU SENDIRI UNTUK TIDUR DI RUANGAN INI MALAM INI!

Uh, aku benar-benar akan menebasnya dengan pedang kalau sampai terjadi apa-apa padaku malam ini. Hanya karena aku tidak banyak membantu dalam mencari informasi, seenak jidat dia menumbalkan aku.

Aku melangkah dengan berat ke arah ranjang. Mengibaskan seprei berharap debu-debu itu hilang karena angin. Aku duduk sebentar sebelum berbaring di atas ranjang menghadap tembok putih di sebelah kiri ku. Mengambil sebuah cermin kecil dari saku, aku hanya bisa memainkan cermin itu untuk menunggu.

Apalagi yang bisa aku lakukan? Kak Arash hanya memberiku cermin ini, dia bahkan tidak membiarkanku membawa pedangku. Saat aku bertanya aku harus apa, dia hanya menjawab, "Masuklah, berbaring, awasi, dan tidurlah."

Oh, aku benar-benar ingin menebasnya.

Tiga jam, empat jam berlalu. Ini sudah memasuki sekitar pukul 11 malam. Mataku sudah memberat tatkala aku sudah bosan memandangi wajah tampanku dengan cermin. Baru saja aku hendak memejamkan mata, aku mendengar suara kedebuk dari samping. Mataku membulat seiring iris mataku mengecil karena kaget.

Aku memberanikan diri untuk berbalik melalui celah pundak. Menatap takut-takut untuk menelisik seluruh ruangan. Masih sama ... kosong dan putih. Apa itu?! Oh, ternyata hanya kursi. Diam-diam aku menghela napas lega karena sudah termakan pikiran negatif ku sendiri. Oh, berapa umurku? Sudah 16 tahun dan aku masih kagetan. Aku berbalik kembali menghadap tembok sambil terkekeh kecil.

Tunggu ....

Tubuhku kembali menegang saat aku baru menyadari sesuatu.

Saat aku masuk ... ruangan ini kosong! Benar-benar kosong dan hanya ada satu ranjang yang aku tempati ini! LALU DARIMANA ASAL KURSI ITU?! OH! Aku merasa gila sekarang. Jadi seperti ini rasanya menjadi gila? Batinku semakin menjerit saat suara gaduh mulai terdengar di belakangku.

Ujian Kelulusan Member BWG Angkatan 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang