Diary 2

62 10 3
                                    

Pagi ini Dimas dibuat kesal dengan Gilang dan juga si Bagas. Niat awal dia bangun pagi - pagi sekali sebenarnya karena dia mau berangkat ke sekolah sendirian.

Tapi ternyata Martabak berkehendak lain. Subuh - subuh setelah Dimas selesai mandi, dia dikejutkan dengan Gilang yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sembari menampilkan senyum mesumnya.

Dimas yang masih setengah sadar memukul kepala Gilang dengan gayung lovenya. Demi martabak yang dicocol sambel Mamanya, dia nggak bermaksud menganiaya Gilang. Dia pikir Gilang ini setan, soalnya subuh - subuh di rumah dia itu masih gelap, lampu rumah nggak boleh dinyalain. Kata Papanya biar hemat. Tampang Gilang yang hanya terlihat mata dan giginya saja membuat Dimas kaget setengah modar.

Dan karena ini juga dia dimarahi Mama dan Papanya dengan alasan yang berbeda.

Kalau Mamanya memarahi dia karena dia memukul kepala si Gilang sampai yang dia pukul terlihat setengah linglung.

Nah kalau Papanya memarahi dia karena Dimas kurang keras memukul kepala si Gilang. Harusnya sampai pecah sekalian..

Gayungnya. Kalau kepalanya ya jangan sampe, bukan takut dilaporin polisi, Papanya takut kalo sampe ngeluarin duit.

Setelah kejadian itu, sekarang Dimas malah menjadi rebutan antara Gilang dan Bagas.

"Gue yang anter," Bagas menarik tangan Dimas.

Gilang tak mau kalah, dia kembali menarik tangan Dimas untuk lebih mendekat ke arahnya, "Gue aja."

"Gue abangnya!" ujar Bagas dengan lantang.

"Gue temen sekolahnya!" Gilang tidak mau kalah lagi.

"Gue Mamanya," sahut Sasa yang sedari tadi menyimak.

"Gue Papanya," si Bapak ikut - ikutan.

"SAYA TEH AKANG BUBUR. BUBURNYA DIBELI TEH!" ini si Akang Bubur ngikut aja.

Dimas yang dari tadi sudah jengah segera meloloskan diri dari ke dua laki - laki bodoh ini.

"Gue. Berangkat. Sendiri," final Dimas. Dia dengan geram memukul kepala Bagas dan Gilang bergantian.

Bagas mencekal tangan adiknya, "No."

"Bodo amat," balas Dimas.

"Gue bilang nggak ya nggak. Bahaya berangkat sendiri," lanjut Bagas.

Dimas menatapnya jijik, "Nggak salah ngomong gitu ke gue?"

"Bagian mananya yang salah? Gue cuma khawatir. Nggak ada yang tau kedepannya," si Bagas masih kukuh.

"Kalo di tengah jalan tiba - tiba ada martabak yang disusun buat nuntun lo ke tempat jebakannya terus lo digangbang? Keperawanan lo jadi taruhannya loh ini," cerocos Bagas.

Kuahnya muncrat kemana - mana, bahkan si Bapak dengan wajah kalemnya udah payungan mesra bareng istrinya.

"Lo pikir gue tikus? Keperawanan mata lo, gue nggak sebodoh lo anjing!" dengus Dimas.

"Nggak. Kali ini gue sependapat sama Bang Bagas, lo nggak boleh berangkat sendirian. Bahaya, banyak buaya diluar sana. Lebih aman kalo lo berangkat sama gue," potong Gilang.

"Lo orang luar mending diem, gue lagi ngomong sama abang gue," dingin Dimas.

Gilang kena mental breakfast seketika, kata 'orang luar' terus menerus menggema di pikirannya.

Gilang yang udah bete mendekati Bapak kalem yang asik ngopi sambil payungan.

"Sakit? Nih obat buat kamu," si Bapak ngasi pisau ke arah Gilang.

Dimas' DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang