they are so precious

5 2 0
                                    

Mereka bukanlah pelangi, namun mereka adalah senja, yang pergi tapi akan kembali.

Pertengkaran hebat dirumah Acha masih saja terjadi, bantingan disana-sini, teriakan memenuhi seisi rumah, bahkan sesekali gadis itu mendengar suara isakan.

Acha sangat yakin, itu pasti suara isakan ibunya, namun apalah daya, Acha sudah lelah dengan semuanya.

Gadis itu berjalan keluar kamar, Acha mendekati ayahnya yang terduduk di sofa, terlihat pria itu tampak lelah.

"Pa, anter Acha sekolah," panggilnya, pria itu menatap tajam kepada Acha.

Pria itu melirik Acha dari atas hingga bawah, Acha meneguk ludahnya kasar.

"Jalan kaki aja, ni uang saku." pria itu memberikannya selembar uang kertas senilai dua puluh ribu.

"T-tapi, kan papa juga gak kerja," ucap Acha, Acha sangat ingin bisa seperti temen-temennya yang selalu diantar jemput oleh orang tuanya.

"Kamu pikir papa gak capek apa?" Pria itu berjalan meninggalkan Acha seorang diri diruang tamu.

Acha menghembuskan nafasnya gusar, selalu saja seperti ini, ayahnya adalah ayahnya tidak akan pernah bisa seperti ayah orang lain.

Ia selalu berdoa, namun mungkin saja Tuhan hanya ingin mengujinya lagi.

Semakin hari self harm nya tidak bisa ia kendalikan, sudah sangat banyak bekas luka ditangannya.

Acha tidak bisa seperti ini, gadis itu bukanlah gadis lemah, Acha kuat. Acha tidak boleh cengeng lagi

"No! Acha anaknya gak cengeng," monolognya, Acha tersenyum miris. Gadis itu berlalu meninggalkan rumah yang tidak pernah membuatnya nyaman itu.

*****

Acha pergi ke sekolah menggunakan angkutan umum, sudah biasa baginya, diperlukan seperti itu oleh ayahnya, Acha bahkan merasa bahwa dirinya seperti sudah tidak dianggap oleh orang tuanya.

Tapi mau bagaimana lagi? orang tuanya sudah terlanjur kecewa dengannya, Acha bukan anak yang pintar dan berbakat, Acha bahkan tidak memiliki bakat apapun didirinya.

Acha tidak seperti anak tetangganya yang selalu dibanding-bandingkan oleh ayahnya dengannya.

Sakit? Sangat sakit, itulah yang dirasakan oleh Acha, ditambah lagi anak tetangganya itu sangat aktif dibidang apapun membuat Acha begitu iri dengannya.

Acha tersadar dari lamunannya, gadis itu segera turun dari angkot, kemudian membayar ongkosnya.

"Loh? Acha gak diantar papa?" Dia adalah gadis yang selalu dibanding-bandingkan oleh orang tuanya dengannya.

"Gak," jawab Acha dingin dan berlalu dari hadapan gadis itu.

"Eh Acha tunggu!" Gadis itu menahan tangan Acha agar gadis itu tidak pergi.

"Lepasin tangan gua!" Acha menghentakkan tangannya hingga membuat cengkraman ditangannya lepas.

"Maaf Cha. aku nama aku Fancy, aku tetangga kamu," jelas Fancy memperkenalkan diri.

"Trus? Gua ada nanya? Engga kan?" Acha berlalu begitu saja dari hadapan Fancy.

Acha tidak menyukai Fancy sejak awal mengenal gadis itu, orang tuanya sangat ingin Acha bergaul dengan Fancy, namun Acha tidak menginginkan itu.

Fancy mengejar Acha yang berjalan cepat dihadapannya, dibandingkan dengan Fancy, Acha bahkan tidak ada apa-apanya.

"Gua harus gimana biar lo gak salah paham lagi sama gua Cha," lirih Fancy. Gadis itu menyerah untuk mengejar Acha.

Mustahil baginya mengejar Acha yang sudah terlalu jauh darinya.

*****
"Agh! Sial," tangan Acha kembali mengeluarkan darah hingga membuat sweaternya mendadak basah.

Cengkraman Fancy yang begitu kuat membuat luka Acha kembali berdarah, Acha bergegas menuju toilet untuk mencuci tangannya yang sudah dilumuri darah.

"Shit!" Umpatnya, untungnya Acha ada membawa sweater didalam tasnya untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan.

Ini sangat perih, namun tidak bagi seorang yang penderita self harm dan self injury, mereka sudah tidak merasakan sakit lagi.

Bahkan sakit yang ia rasakan tidak membuat kecanduannya untuk menyakiti diri sendiri hilang, ia bagitu tenang jika melihat darah segar mengalir tangan kirinya.

"Mau sampai kapan gua kaya gini?,"

TBC

Yok bisa yok kita sama sama pejuang self injury ☺️

Ig:chaptr794

i'm fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang