10. Kenangan Buruk

7.4K 1.5K 548
                                    

Malam ini, Lisa dan Cana, menginap di rumah Alam. Sebenarnya, ini ketidaksengajaan. Cana seharusnya menginap di rumah sakit seperti biasa, namun setelah pertemuan dengan para detektif, ia kelelahan. Berniat hendak melepas penat dengan merebahkan tubuh di sofa ruang tamu, ia malah kebablasan dan terbangun di pukul 12 malam. Tubuhnya sudah dilapisi selimut.

Cana pergi ke laboratorium Alam yang terletak di basement. Di sana, Lisa, Mbok Inu, dan Alam duduk bersampingan, sama-sama menatap layar komputer. Lisa menatap komputer sendiri, Mbok Inu juga menatap komputernya sendiri, sementara Alam memperhatikan Mbok Inu sambil berdiskusi. Di atas kasur yang berhiaskan banyak kabel, juga terdapat sebuah gulungan cetak biru yang Cana duga adalah desain alat yang Alam kerjakan.

Tidak ada yang menyadari kehadiran Cana hingga Cana benar-benar berdiri di samping Alam.

"Eh? Tuan Putri udah bangun? Tidur lagi, gih, masih malem ini." Alam melirik jam dinding. "Masih tengah malem."

"Kok nggak bangunin gue? Harusnya gue jagain Bang Nata."

"Lo kecapekan banget, gue nggak tega bangunin. Baru kali ini gue ngelihat lo tidur lelap dan anteng banget. Tenang, ada Sam kok di sana. Gue juga udah nelpon Bang Nata. Kata Bang Nata, lo nggak usah dibangunin karena dia tahu lo capek banget." Alam berdiri dari tempat duduknya. "Mau minum sesuatu yang hangat biar bisa tidur lagi? Biar gue bikinin." Alam tersenyum.

"Nggak usah. Gue mau di sini aja."

"Jangan, Can, lo istirahat aja," kata Lisa. "Ntar gue temenin. Bentar lagi gue beres," tambahnya.

"Nah, tuh, ditemenin Lisa. Lo tidur di kamar gue aja bareng Lisa? Atau mau di kamar bokap gue? Kamarnya cukup luas buat kalian berdua."

"Nggak enak. Di sofa aja cukup," kata Cana.

"Jangan, badan lo sakit-sakit ntar. Sempit juga. Nggak enak tidurnya. Tadi gue mau ngangkat lo ke kamar gue tapi kan nggak sopan, makanya jadi gue biarin di sofa." Alam menarik tangan Cana keluar dari laboratorium. "Di kamar gue aja nggak apa-apa. Tapi, jangan buka lemari, ya. Bahaya. Malu gue kalau harta karun gue kelihatan hahahhahahaha."

"Ngapain juga gue buka lemari lo." Cana menggeleng. "Gue nungguin Lisa sampai dia beres."

"Yaudah, gue temenin aja. Minum kopi bareng gue? Gue penat banget soalnya."

Cana mengangguk setuju.

Alam masih memegang tangan Cana sampai mereka berdua berada di dapur.

"Gue aja yang bikin," kata Cana. "Lo capek, kan?"

Wajah Alam yang kelelahan dengan kantung mata yang menghitam berubah jadi bersemangat dan semringah. "Wah mau bangetlah!"

Cana membuat kopi instan dan teh hangat sambil bercerita. "Gue nggak ada mimpi apa-apa tadi."

"Iya, gue juga feeling kalau tadi lo nggak bermimpi, soalnya muka lo keliatan damai banget. Cantik banget. Rasanya mau lama-lama lihatin, tapi gue ada kerjaan yang harus diberesin."

Cana sudah meletakkan kopi di depan Alam, lalu dia duduk di seberang Alam dengan secangkir teh hangat.

"Soal donor mata, gue udah minta tolong Om Yovi dan Om Yovi nyerah, peraturan rumah sakit ketat banget. Jadi, gue berpikiran untuk minta tolong Lisa. Itulah sebabnya kenapa sekarang dia belum tidur."

"Sorry kalau ngerepotin, ya." Cana menunduk dan memandangi kepulan uap yang berenang di atas permukaan air tehnya. "Tapi... entah kenapa... sekarang gue lebih menerima mata gue. Terutama ketika tahu kalau gue adalah keluarga Alexa dan Ana. Mungkin, mata siapa pun yang gue gunakan saat ini, nggak punya pengaruh terhadap kemampuan gue. Bisa jadi, kemampuan ini memang sudah ada. Bukan karena donor mata." Cana menyeruput pelan-pelan air tehnya. Kehangatan air teh itu mampu membuatnya tenang di saat gundah menguasai malam sunyi seperti ini.

Alexandra's MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang