Sayup-sayup suara azan pertama merambat dari corong-corong pengeras suara masjid menembus udara dingin yang menyelimuti sebuah rumah di tengah hutan. Di depan halaman bangunan tua beraksitektur kolonial itu tampak terbujur 8 mayat dengan posisi mengenaskan. Masing-masing mengenakan pakaian serba hitam dengan tubuh kekar yang sudah kaku dan mulai membusuk.
8 jam sebelum itu…
“Hei, coba pikirkan ini!” bisiknya kepada gadis cantik yang sedang bersamanya di bukit itu, sembari tangannya menunjuk ke langit. “Bintang… termasuk salah satu nama surat yang ada dalam Al-Qur’an. Kamu tahu kan, di dalam surat itu Allah bersumpah dengannya?” ujar pemuda itu semangat. “Pastilah bintang memiliki keutamaan, sehingga Allah bersumpah dengan menyebut Demi Bintang,” tutur sang pemuda disusul angin dingin sepoi-sepoi membelai rambutnya yang ikal. “Bahkan Nabi Ibrahim sempat menganggap bintang sebagai Tuhan,” Lanjut pemuda itu sembari meraih sesuatu di dalam sakunya sebelum ia melanjutkan, “Tapi ada yang lebih menarik.. benarkah bintang merupakan alat melempar setan?” tanya pemuda itu tepat saat di langit terlihat jelas sebuah bintang jatuh.
Sepasang mata sahabat perempuannya yang teduh terpana melihat pemandangan yang langka itu. Sang pemuda belum sempat menyadari hal itu, namun ia sudah melanjutkan pemikirannya, “Tapi menurutku, kebanyakan kita mengenal bintang hanya sebagi benda langit yang bercahaya yang hanya dimanfaatkan sebagai penunjuk arah. Padahal, seperti yang pernah kubaca dalam ensiklopedi, ada 70 sekstiliun atau 7×10 pangkat 22 bintang di semesta ini, “ungkapnya sambil menghela nafas. “Pernahkah kamu memikirkan hal itu?” seru sang pemuda. “Itu pun baru perkiraan saja. Sementara jumlah yang sesungguhnya… hanya Allah yang Maha Mengetahui,” tutupnya dengan tangan teatrikal terbuka lebar ke langit dan senyum puas seakan ia baru saja berkeliling angkasa.
Di bawah keindahan gemerlap langit berbintang, diwarnai kecantikan wajah gadis yang sama sekali belum menunjukkan ekspresi apa pun itu, akhirnya menyadarkan sang pemuda betapa wajah sahabatnya begitu indah―mengalahkan indahnya pemandangan langit malam itu. Namun ia tersadar untuk segera mengajukan satu pertanyaan serius.
“Sekarang, jika ada satu saja bintang yang menghilang dari sekian banyaknya bintang yang ada, apakah menjadi masalah bagimu, Astrid?” Sembari memberikan gadis itu sebuah benda yang sejak tadi ia genggam.
Seketika gadis itu menoleh kepadanya. Ada keanehan, karena sebenarnya sejak tadi Astrid Prisilia Alisha juga menanyakan hal yang sama dalam pikirannya. Siapakah yang akan merasa kehilangan jika ada satu bintang yang hilang?
…Itulah kenangan Rio tiga tahun lalu pada acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru di tepi Danau Telaga Dewi puncak Gunung Singgalang.
Kini, berkali-kali dalam hatinya menanyakan hal serupa. Sebagaimana berkali-kali dia menahan maki atas pria misterius itu. Pria tegap yang tak pernah mau mengabulkan permintaannya sekadar untuk memberikan alat tulis.
Oh, biarlah hancur tubuh ini kalian pukuli, aku masih sanggup menahannya. Tapi aku sudah tidak tahan lagi ingin menulis.
“Pak…”
Hampir-hampir Rio merengek minta diberikan alat tulis. Namun pria misterius itu hanya meninggalkan suara langkah kaki yang semakin menjauh.
Sembari tersandar lemas, ia perhatikan lagi baju yang melekat di badannya. Bentuk dan aromanya membuat ia merasa sudah terlalu lama berada di sini.
Tapi mengapa para pengecut sial itu belum melakukan apa-apa terhadapku? Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Jangankan memukul, bahkan mereka belum berbicara sepatah kata pun padaku.
Mungkinkah mereka hendak menyiksaku dengan sunyi? Membiarkanku mati kesepian di kamar busuk ini?
Tapi, apa salahku sehingga mereka mengunciku di kamar pengap seperti ini? Apakah ini karena aksiku waktu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang, Intan & Mutiara
Science FictionKarena kita semua tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Banyak hal yang berjalan tidak sesuai harapan. Juga tidak semua orang mampu berjuang mewujudkan impian. Kebanyakan kita hanya mampu menerima hal-hal yang membuat nyaman. Padahal ketika kaki m...