Semua bermula dari sini ...

339 32 8
                                    

Hai.

Perkenalkan, nama gue Hilman, calon suami Moria. Satu-satunya laki-laki yang dapat restu dari Bu Tanti, ibu Moria, secara langsung. Mungkin kalian bingung kenapa buku yang judulnya tentang Moria justru ditulis oleh Hilman. Tapi jangan khawatir, karena di sini bukan cuma gue yang bakal berkontribusi di sini. Meski begitu, gue nggak akan memperkenalkan mereka di bagian gue, karena buat gue nggak penting juga nyebutin nama orang lain yang pernah jadi saingan gue buat dapetin Moria. Gue mengumpulkan semua orang untuk menulis hal-hal yang mereka ketahui tentang Moria, sebagai salam perpisahan terakhir, khususnya dari gue buat Moria. Gue punya satu penyesalan, dan gue harap setelah selesainya buku ini ditulis, rasa penyesalan itu bisa terlipur, dan mungkin gue bisa menemukan kekuatan untuk move on.

Gue adalah teman Moria waktu SMP, kami sempat sekelas waktu kelas tujuh dan delapan, tapi kemudian pisah kelas, karena Moria masuk kelas unggulan, sementara gue enggak. Iya, gue emang nggak secerdas Moria, jadi mohon dimaklumi. Kenapa gue masih ingat sama Moria sampai setua ini? Tenang aja, waktu itu gue belum ada rasa apa-apa sama Moria, kok.

Kenangan masa remaja gue sama Moria cenderung samar, karena emang kami hampir jarang ngobrol, kecuali waktu kami sekelompok pas ujian olahraga. Kalian tahu sendiri, kelompok olahraga itu jumlah anggotanya minimal dua orang kalau main badminton, maksimal 12 orang buat 2 tim, kalau main voli. Sepak bola sih 11 orang, tapi biasanya cowok-cowok doang, nggak dicampur cewek-cowok dalam satu tim.

Seperti biasa zaman sekolah dulu, sebagian besar sistem pembagian kelompoknya diurut berdasarkan nomor absensi. Karena jarak nama kami yang cukup jauh—setelah gue ada Himawan, si kembar Indira dan Indra, Kristina, Larasati, tiga orang Muhammad, baru Moria—makanya cuma di pelajaran ini gue bisa sekelompok dengan Moria. Gue masih ingat urutan nama itu karena sampai sekarang kami masih aktif berkomunikasi lewat grup alumni SMP, di mana nama Moria baru beberapa saat belakangan ditambahkan, karena dia menghilang tanpa kontak sama sekali setelah kami sama-sama lulus SMP.

Ada yang bilang kalau Moria sekolah di SMA Katolik, sehingga tidak ada teman satu sekolah kami yang se-SMA dengannya. Ada juga gosip yang mengatakan jika Moria SMA di luar negeri, meski tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Pokoknya, Moria tiba-tiba nggak ada kabar begitu aja. Identitas seperti alamat surel, nomor telepon, serta alamat rumah yang tertera di buku tahunan membawa kami pada jalan buntu, setiap kali kami hendak menghubunginya untuk acara reuni. Kami yang tadinya getol mencari kabar satu anak hilang ini, lama-kelamaan jadi ogah dan eksistensinya jadi terlupakan begitu saja.

Yang paling gue ingat, Moria ini paling nggak jago di pelajaran olahraga. Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa karena orang seperti Moria punya kekurangan juga dengan porsinya sendiri. Catatan nilainya paling rendah di kelompok kami, sampai-sampai Muhammad Sani diam-diam menambahkan dua angka di perhitungan sit-up Moria—dari 19 ke 21, batas minimal perolehan sit-up dalam 1 menit—agar dia tidak terus-menerus remedi, saking kasihannya karena anak itu ngulang-ngulang terus sampai pucat.

Secara penampilan fisik, Moria waktu SMP adalah tipe orang yang bisa kita lewati jika memandang sepintas lalu. Pendiam, berkacamata tebal, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu kurus atau gemuk, dan wajahnya adalah tipe wajah yang bisa kita lupakan dengan mudah. Dan gue bener-bener lupa pernah punya temen seperti Moria, hingga suatu hari dia datang di acara reuni tahunan SMP 1 dengan mengejutkannya.

Itu pertama kalinya Moria menghadiri acara reuni yang sebelumnya rutin diadakan setelah kami lulus SMP. Pertama kalinya juga gue bertemu Moria kembali setelah hampir enam belas tahun kami nggak ketemu.

Dan gue langsung jatuh hati sama Moria dewasa pada pandangan pertama.

Bukan, bukan karena dia terlihat sangat cantik dengan gaun hitam semata kaki dan sepatu hak tinggi. Atau, karena dia sudah nggak lagi pakai kacamata, jadi wajahnya bisa terlihat jelas tanpa terhalang bingkai. Gue bukan cowok murahan yang naksir cewek cuma dari fisiknya aja, tolong digarisbawahi. Gue jatuh hati dari caranya menenangkan bayi Dian yang tidak berhenti menangis hanya dengan pelukan. Gue melihat perempuan kalem dan keibuan yang selama ini gue cari di diri Moria. Dan pada waktu itu, Moria terlihat seperti kembang yang sedang merekah dengan senyumnya yang sangat cantik, sehingga tangan gue langsung gemas ingin memetik kembang itu untuk dibawa pulang. Rasanya pengin gue ajak berumah tangga saat itu juga.

Sebelum kalian mendengar lebih lanjut tentang bagaimana gue mendekati Moria hingga berkesempatan untuk bertemu dengan ibunya, kalian mungkin ingin tahu mengapa Moria bisa datang di acara reuni SMP, dan gue akan menuliskan hasil pembicaraan gue dengan Dian. Dia orang pertama dari sekolah kami yang pertama kali ketemu dengan Moria secara tidak sengaja. Waktu itu Dian sedang belanja kebutuhan bulanan di salah satu supermarket dan papasan sama Moria. Dian juga yang mengundang Moria untuk datang ke acara reuni dengan setengah memaksa, karena anak yang dicari-cari akhirnya ketemu juga, sehingga dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Jika ada orang yang pantas menerima rasa terima kasih gue karena secara tidak langsung telah mempertemukan gue dengan Moria, orang itu adalah Dian.

Jika ada orang yang pantas menerima rasa terima kasih gue karena secara tidak langsung telah mempertemukan gue dengan Moria, orang itu adalah Dian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
In Memoriam √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang