Rehan

11 0 0
                                    

Sekotak rokok di meja saya begitu menggoda, menarik perhatian untuk barang sejenak berhenti dari kesibukan menilai tugas mahasiswa dan menikmatinya meski sebatang saja. Tetapi kemudian, bayangan akan jemari lentik Moria muncul, menangkup benda tersebut, menggesernya semakin menjauh, lalu menggantikan dengan sebatang permen loli rasa stroberi.

Sudut-sudut mata Moria tertarik membentuk bulan separuh, rambutnya jatuh membingkai wajah bulat tersebut dalam gelombang ikal yang halus. Saya julurkan tangan untuk menyentuhnya, tetapi bayangan tersebut hilang secepat kedatangannya. Saya sadari saya masih berada di ruangan dosen, menenggelamkan diri dalam pekerjaan agar rasa sakit akibat kehilangan Moria tidak terlalu menghantui.

Saya mengembuskan napas berat, sebelah tangan sibuk merogoh kantong kemeja untuk mencari permen loli terakhir yang saya punya. Sepertinya saya butuh istirahat sejenak. 

Di antara semua orang yang merasa paling memiliki Moria, saya mungkin seseorang yang paling lama menghabiskan waktu dengannya. Saya tidak menghitung jumlah waktu yang diperlukan oleh Noel dalam menyelesaikan satu surat atau satu lagu untuk Moria ketika mereka terpisah jarak, tetapi dalam waktu hampir dua tahun belakangan ini, saya bertemu dengan Moria minimal seminggu sekali. 

Seorang rekan sesama dosen, Frederika atau Rika, yang pertama kali memperkenalkan kami. Atau tidak secara langsung memperkenalkan kami, karena dia jelas-jelas tampak keberatan saat menyadari saya beberapa kali mencuri pandang ke arah adik online kesayangannya.

Pertama kali kami bertemu, ketika rekan-rekan dosen yang sepantaran memutuskan untuk nonton bareng Avengers Infinity War, yang konon dikatakan akan menjadi bagian pertama dari film penutup seri ini dan kami tidak ingin ketinggalan hype-nya. Lima menit menjelang pintu teater dibuka, seorang kolega mengabari jika dia batal ikut karena anaknya demam tinggi dan tidak ada yang bisa merawat di rumah karena mertuanya sedang menghadiri pengajian rutin yang diadakan di rumah tetangga. Rika lantas menawarkan satu tiket sisa tersebut untuk diberikan pada temannya. Kebetulan mereka punya acara sendiri setelah film selesai, dan ketika dia menelepon teman tersebut, secara kebetulan posisinya sekarang ada di Sephira, toko kosmetik waralaba yang berada tepat satu lantai di bawah bioskop. 

Inilah pertama kali saya bertemu dengan Moria. Dia berpelukan erat dengan Rika seperti lama tidak bertemu, lalu Rika memperkenalkan Moria pada kami semua. Saya menyadari jejak-jejak swatch lipstik dan entah produk apa saja di punggung tangan Moria saat kami berjabat tangan, sebelum Rika menawarkan tisu basah dari dalam tasnya untuk membersihkan tangan Moria. Waktu itu dia memakai gaun selutut warna pastel lengan panjang. Penampilannya terlihat begitu kontras dengan si tomboy Rika. Keberadaan satu kantong kertas yang saya yakin berisi produk kosmetik yang ia jinjing, menjadi pertanda jika dia baru selesai belanja. Saya hampir yakin kalau isi kantong belanjaan tersebut lebih mahal dari jumlah uang tunai di dompet saya pada saat itu.

Moria lebih banyak bicara dengan Rika, tentu saja karena hanya dia seorang yang ia kenal di antara gerombolan ini, sepanjang pertemuan pertama kami. Sesekali ia tampak merapikan blazer Rika yang kusut, menyeka wajah Rika dengan tisu lalu menepuk-nepuk dengan spons bedak dari dalam tas selempangnya, serta menunjukkan isi belanjaannya sambil terkikik geli ketika Rika mengomel karena ia membeli banyak produk yang tidak dibutuhkan. 

“Jadi, kalian awal kenalnya lewat mana?” Tanya Leo, rekan kami ketika kami selesai menonton film dan kami memutuskan untuk sekalian makan malam bersama karena sudah lewat jam delapan malam setelah filmnya selesai. 

“Media sosial,” jawab Rika cepat.

“Instantgram, Facebroke, Twe …”

“IG.” Moria dan Rika menjawab bersamaan setelah sebelumnya saling melempar pandangan. 

In Memoriam √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang