Hilman dan Rehan

90 8 1
                                    

Ponsel gue berhenti bergetar untuk kesekian kalinya saat gue baru menyelesaikan satu pekerjaan. Peneleponnya Rehan, mungkin dia hendak menagih janji, karena sepertinya gue lupa untuk memberikan akses ke folder dokumen Moria kemarin. Gue buru-buru beranjak dari ruangan menuju pantry untuk menyeduh sekantong teh melati sambil menelepon balik Rehan.

"Halo, Han, sori gue baru cek hape, masih di kantor ini," sapa gue waktu Rehan mengangkat teleponnya.

"Iya, nggak apa-apa, saya juga masih di kampus habis kuliah sore. Saya bisa arsipkan luring dulu sebelum disetor ke kamu, kok."

Waktu gue mencetuskan ide untuk menulis buku tentang Moria, Rehan satu-satunya orang yang tidak banyak berkomentar. Yang dia tanyakan hanya sebatas teknik; bentuk narasi, apa saja yang bisa ditulis dan kapan deadline-nya. Caranya menyikapi persoalan memang khas seorang akademisi banget, dan mungkin dia juga berpikiran jika menulis tentang Moria akan membuatnya lebih cepat melupakan keberadaan gadis itu. Dibanding Noel—karena kami memang terkendala soal bahasa, sebab bahasa Inggris-nya tidak terlalu bagus, sedangkan antara gue dan Rehan tidak ada yang menguasai Bahasa Korea seperti Moria—Rehan lebih kooperatif.

Teh gue sudah siap. Gue buka sebotol madu yang tinggal separuh—ini pasti kelakuan anak-anak kantor, yang suka pakai barang orang tanpa izin dulu, makanya madu yang baru gue pakai dua sendok aja jadi sisa segini—dan memasukkan satu sendok penuh. Moria bilang minum teh lebih enak dengan madu alih-alih gula, tetapi gue tidak tahu apakah teh melati biasa di pasaran akan enak diminum dengan madu juga.

"Saya cuma tinggal menulis semua yang saya ketahui tentang Moria, kan?" Rehan ulang pertanyaannya waktu pertama kali mendengar ide gue.

"Iya, apapun. Termasuk interaksi antara orang terdekat lo sama Moria, kalau ada. Gue cuma ingin melihat apa yang membentuk Moria dan mungkin jika kita beruntung, kita bisa cari tahu alasan mengapa Moria seperti ini."

"Oke. Kalau gitu, kamu kirim saja tautan akses ke foldernya lewat grup obrolan."

Gue mengakhiri panggilan telepon dengan Rehan, lalu mencicipi teh gue. Lumayan, meski tidak seenak buatan Moria. Tetapi mulai sekarang gue harus belajar membuat teh sendiri, karena Moria mungkin saat ini sedang menyeduh teh untuk orang lain.

 Tetapi mulai sekarang gue harus belajar membuat teh sendiri, karena Moria mungkin saat ini sedang menyeduh teh untuk orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
In Memoriam √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang