Prolog

19 3 0
                                    

Desis lembut angin malam menelisik sela-sela dedaunan menggelitik telingaku malam itu. Desing partikel rel kereta yang baru saja usai beradu dengan lempengan logam bundar masih terdengar jelas. Gelombang longitudinal abstrak yang seringkali membuat manusia bergidik sebal dan menutup telinga malah terasa nyaman tertangkap membran tipis di ujung lorong gelap milikku.

Purnama malam ini sungguh indah. Sinarnya temaram seolah mempersilakan jutaan bintang di sisinya turut bersinar. Bahkan tak ada selembar pun mega yang menggantung di atas sana. Pendar lampu kota terlihat begitu jelas dari lokasiku ini. Kerlip lampu dari rumah-rumah di lereng perbukitan panjang itu terasa seakan berkedip padaku.

Namaku Attala. Attala Chakra Samudera. Nama indah itu pemberian ibuku. Katanya, agar aku mampu menjadi seorang lelaki yang tangguh dan siap menjadi pusat dunia bagi anak dan istriku suatu hari nanti.

Aku suka malam. Hawa sejuk angin malam sungguh memberi rasa nyaman tersendiri bagiku. Pun begitu ketika sebuah tangan mengusap kepalaku lembut. Jemari lentik itu berusaha merapikan rambut panjangku yang mulai berantakan. Ia meraih ikat rambut hitam miliknya yang semula terpasang di pergelangan tangannya, dan mulai mengikat rambutku telaten.

"Kamu kebiasaan, ya. Rambutmu udah sampai bisa dikucir ini, Ta," katanya.

Dan aku pun hanya tersenyum dan mengiyakan ucapannya tanpa benar-benar menurutinya. Ia yang paham betul bagaimana diriku ini kini hanya mencebikkan bibirnya kesal, dan meniupkan sedikit udara ke dalam pipi bulatnya yang semakin bulat.

Rambutnya panjang kecoklatan. Semakin jelas ketika sinar remang rembulan memantul di permukaannya. Rambut lembutnya diikat dengan gaya ekor kuda, menyisakan sedikit surai tipis di wajahnya. Angin malam ini benar-benar jahil. Ia memainkan mahkota gadisku tanpa rasa bersalah.

"Anginnya jahil," kataku padanya sembari menyibak surai tipis yang menggantung ringan di sisi wajahnya. Kuselipkan helaian panjang itu di daun telinganya yang memerah entah karena malu atau dingin.

Dia Aruna. Perempuan luar biasa yang baru kukenal dekat beberapa bulan lalu, tapi sudah mampu mengikat hatiku hingga aku berani menancapkan komitmen padanya.

Aruna cantik, tapi bukan itu yang membuatku tertarik. Ia gadis sederhana yang tidak pernah berprasangka kepada siapa saja. Bukan karena tidak waspada. Hanya saja, baginya semua yang terjadi di dunia selalu ada alasannya.

Ia tidak pernah menuduh, bahkan kepada manusia yang dengan sengaja berbuat biadab kepadanya. Ia selalu bertanya "Mengapa?" hanya ketika ada dirinya dan yang bersangkutan.

Ia sama sekali bukan tipe wanita yang selalu ingin benar dan dibenarkan. Bukan sosok pengkritik yang anti kritik. Bukan pula tipe egois yang selalu bisa membuat person lain menunduk patuh di hadapannya. Namun begitulah adanya. Ada sekian pasang mata pria yang selalu tertuju padanya, dan menunduk segan ketika bertemu pandang dengan mata coklat gelap yang begitu dalam miliknya.

Kami duduk di sebuah gazebo kecil. Menikmati cahaya kuning bulan penuh yang terpantul indah di permukaan selokan keruh, hasil pembuangan limbah dan sampah tak terarah dari manusia-manusia serakah penghuni kota kecil itu. Ditemani desing lempengan baja kokoh yang sesekali beradu sengit dengan baja lain.

Suara hewan nokturnal mulai bersahutan di sana-sini ketika aliran deras air selokan seolah berusaha mengikis lorong jembatan kecil yang semakin menyempit. Aliran deras itu cepat-cepat melompat dari sisi tinggi selokan menuju sisi rendahnya yang hanya berjarak sepersekian milimeter, dengan selisih nyaris satu meter, mengejar ketertinggalan dan dipicu desakan dari arah belakang.

Kami tidak seberani itu, berdua-duaan sepanjang malam di bawah cahaya remang-remang, dalam keadaan sesunyi ini pula. Hanya mengundang setan calon penghuni jahanam menggoda Kami, dan mengajak Kami mengikuti jalan sesatnya. Masuk neraka dengan tiket VVIP itu namanya.

Sebenarnya malam ini adalah acara malam keakraban bulanan dalam organisasi yang sama-sama Kami ikuti. Hanya saja tugas yang dibebankan kepada Kami berdua telah lama usai, dan terlalu banyak personil mengurusi dapur atau kebersihan tidak akan efektif. Karena itulah Kami memilih menyingkir dan menyepi sejenak menikmati damainya suasana malam di pinggiran kota yang sangat jarang Kami dapatkan.

Aku suka hawa-hawa seperti ini. Ketika hanya ada Aru dan aku dalam radius beberapa meter. Aru ini tipe gadis yang tenang. Bukan tipe gadis cerewet yang vokal di sana-sini. Yah, itu juga salah satu alasan terkuat bagiku memilihnya sebagai sosok penjaga jiwa remajaku yang berapi-api.

Karena aku, Attala, tenang bersamanya.

Dengannya aku punya sejuta gambaran tentang masa depan indah, tenang, dan menyenangkan. Dengannya pula aku mendewasa, berdamai dengan masa lalu kelam, dan menjajaki diriku sendiri lebih dari orang lain.

Dan sekelebat perlahan kenangan memuakkan itu kembali mencuat dari dasar ruang hatiku. Sejatinya luka menganga itu telah kering sejak lama. Dan ketika aku berjumpa dengan gadis menakjubkan di sisiku ini, luka itu baru sembuh dengan sebenar-benarnya.

Aru tidak tau begitu banyak tentang hidupku di waktu itu. Hanya saja, entah bagaimana, Ia selalu mampu membuatku berdamai dengan diriku sendiri. Itulah langkah pertama bagiku untuk menyembuhkan luka sialan di dalam hatiku yang membuatku tak pernah merasakan hidup tenang sepuluh tahun terakhir.

Aku ingat betul bagaimana Ayahku yang semula menjadi sosok panutan yang paling kuagungkan di antara ribuan manusia di sekelilingku, berubah menjadi sosok bajingan tak tahu diri yang bersembunyi di balik frasa "perjalanan bisnis sebentar" namun tak pernah kembali hingga detik ini.

Dulu. Dulu sekali. Hidupku seolah sempurna tanpa cela. Aku lahir di antara keluarga bahagia dengan seorang Ayah paling penyayang dan seorang Ibu paling bijaksana di seluruh dunia. Aku tak akan bercerita banyak tentang Ayah sialan itu. Yang jelas dulu aku sangat menjunjung tinggi apapun yang diajarkannya padaku.

Aku punya seorang adik perempuan manis yang hanya berjarak dua tahun dariku. Namanya Kasyaira Padma Samudera. Cantik, bukan? Dan ya, dia memang seindah namanya. Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam legam, matanya coklat terang, bulat besar, dan menyala. Persis sama seperti ibuku.

Untuk kalian yang penasaran siapa nama perempuan paling berharga seumur hidupku ini, namanya Seruni. Dan asal kalian tau, sifat ibu ku ini sungguh hanya berbeda tipis dari sifat Aruna, Gadis-ku.

Mungkin memang benar adanya jika seorang lelaki cenderung mencari sosok seperti ibunya, dan perempuan cenderung mencari sosok seperti ayahnya. Tapi sungguh, ku harap Asya -panggilan sayang ku pada adikku, tidak mencari lelaki yang sama bajingannya dengan ayahku. Atau aku hanya akan diam dan tiba-tiba menghajarnya hingga tak bernyawa, mungkin. Sangat mungkin jika kelak aku mengetahui kelakuan biadabnya.

Sungguh sangat disayangkan Ibu favoritku itu kini telah pergi dari dunia untuk selamanya. Mungkin kini Dia sedang tersenyum memandangi putranya yang sedang dimabuk asmara dari atas sana. Dalam bentuk kerlip bintang, cahaya rembulan, atau bahkan desir angin malam, entahlah.

Asal kalian tau, ibuku adalah wanita paling beruntung sekaligus paling sial dalam waktu bersamaan!

Jika kalian tanya bagaimana, maka akan kujawab sekarang.

Sebentar. Kurasa aku perlu sejenak jeda untuk membuka ingatan lama yang telah kusimpan serapih dan sedalam mungkin. Memang melelahkan membuka sebuah kotak yang tertutup rapat, dirantai, dan digembok. Terlebih ketika kuncinya hilang entah ke mana. Kurasa aku harus mencari kapak dan memecahnya, mungkin?

Oh, ayolah. Aku hanya bercanda, teman. Tapi sungguh, aku butuh jeda.

ARUTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang