Asmaraloka bagian pertama, di bawah pohon randu, ada Nakula.

974 104 16
                                    

Tepat 90 cm di samping pohon randu, setiap jam 9 pagi, aku termenung. Nakula ada di sana, kelopak matanya sedang menutup, rambutnya bersahutan dengan sang bayu.

Banyak sekali pemandangan yang pernah kulihat, mulai dari pegunungan, pantai, atau bahkan hamparan sabana tetapi Nakula memiliki intensitas yang tinggi dalam hal sempurna.

Tidak ada yang tahu, aku memuja Nakula semenjak kakiku menginjak bumi Jogjakarta. Nakula dan senyum hangatnya menyapa, saat itu juga hatiku terpana.

Di bawah pohon randu, selama 15 menit aku hanya menatapnya. Setiap hari, terhitung kini sudah masuk hari ke 360. Tepat setahun, semenjak aku tidak sengaja menemukan tempat ini. Dan Nakula tentunya.

Nakula biasa tidur di jam istirahat pertama, dia akan bangun 3 detik sebelum bel istirahat berbunyi. Maka aku, harus menunduk tepat 4 detik sebelum bel berbunyi agar Nakula tidak melihatku.

Namun kali ini, aku terlambat.

Entah karena jam tanganku yang kehabisan baterai atau karena aku yang kurang berkonsetrasi dalam menghitung.

Siang ini, Nakula melihatku...

Aku mundur perlahan kebelakang saat Nakula mendekatiku. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya tentang perilakuku yang tak sopan. Buku komunikasiku tertinggal di kelas, aku tidak mempersiapkan untuk ini.

Bagaimana bila Nakula bertanya padaku, aku harus memberitahu namaku agar Nakula tahu. Si tunarungu ini mencintainya semenjak satu tahun lalu.

"Kenapa disitu?"

Nakula sepertinya berbicara padaku, Maaf Nakulaaaaa, aku tidak bisa mengerti maksudmu.

Sejenak Nakula menatapku, ia terlihat menelisik diriku yang kini mematung. Tak lama tangannya bergerak, merangkai kata kata yang hanya bisa dilihat.

'Kamu sekarang paham aku ngomong apa?'

Aku membuka mataku lebar lebar, Nakula ternyata bisa mengerti bahasaku. Aku kemudian tersenyum lebar, 'bisa, Nakula.'

Nakula tersenyum dan menggandengku keluar dari tempat persembunyian yang memang terlihat sangat berantakan.

Ia mengajakku duduk, di bawah pohon randu. Tempat Nakula biasa tertidur.

'Anak Bakti 2?'

Aku mengangguk,

'Nakula ngga masuk kelas, sekarang udah bel lho'

Nakula terkekeh lalu menggeleng, tangannya kembali bergerak. Berkomunikasi denganku, yang kini masih bersemu.

'Jam kosong, gurunya kan baru rapat di sekolahmu.'

Aku membuka mulut membentuk huruf O tanda mengerti walau aku tak tahu apakah suaraku yang keluar benar berkata demikian.

Sekolahku dan sekolah Nakula memang berhimpit, kami sama sama ada di jenjang SMA. Namun aku, aku lebih istimewa.

'Nakula, nama aku Delilah'

Aku mencoba menjabat tangan dengan Nakula. Tangan Nakula bergerak, menjabat tanganku yang saat ini bergetar hebat.

Ia kembali menggerakkan tangannya, meski perlahan, aku tetap bisa memahami apa maksud Nakula,

'Aku tahu, kamu sering lihat aku dari sana kan?'

Nakula lalu terkekeh melihat reaksiku yang terkejut. Bagaimana Nakula bisa tahu!?

Memalukan, Delilah!

Tangan Nakula kembali bergerak, ia memperlihatkan kata kata yang membuatku tersenyum lebar. Mungkin, hari ini adalah hari paling bahagiaku menjadi seorang tunarungu.

'Besok jangan ngintip lagi, duduk bareng aku disini. Mau kan, Delilah?'

Nakula menaikan alisnya menunggu jawabanku. Tentu saja aku mau, siapa yang akan menolak tawaran emas ini?

Di dalam kesunyian suara siang itu, aku dan Nakula sudah bercerita banyak hal. Keramaian yang Nakula ciptakan di hatiku hanya mampu kuungkapkan dalam senyum simpul.

'Jadi kamu belajar bahasa isyarat berapa lama?'

Aku memandang Nakula yang kini menunduk malu, ia tidak lagi bercerita banyak hal seperti tadi. Apa pertanyaanku ini salah?

Aku bermaksud untuk meminta maaf saat tanganku bergerak, mencoba merangkai kata. Namun, Nakula menahanku.

'Satu tahun yang lalu, setelah aku tahu kamu'

Tangannya baru saja memberitahu kabar yang sukar untuk dicerna.

Ternyata Nakula juga mengingatku.

-Delilah, tunarungu yang mencintai Nakula.






Tbc.
Melody.

Asmaraloka | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang