🌼c h a p t e r 1🌼

0 0 0
                                    

Jordana Alexandra, Ale, gadis 20 tahun itu terduduk sejenak usai rangkaian acara pemakaman Ibunya selesai. Para tamu sudah kembali ke kediaman masing-masing, namun Ale masih diam menatap salib yang tertancap di tanah bertuliskan nama Frederika Adolf. Sekelebat memori tentang Sang Ibu tak berhenti berputar di kepalanya dari hari pertama Sang Ibu menghembuskan napas terakhir. Ale sudah tak menangis, namun semua orang tahu gadis itu sangat terpukul dan kehilangan tujuan hidupnya.

Perlahan, Ale melangkah menuju mobilnya. Gadis itu tahu ia tak harus meratap sampai pagi, terlebih masih ada banyak hal yang harus ia kerjakan. Hidup memang seperti itu, selalu ada pahit dan manis yang terjadi dan semua tetap berjalan tidak peduli seberat apa penderitaanmu.

***

Mentari Coffee
"Le, kok kerja?" Tanya Gading melihat Ale datang dengan apronnya.

"Kan hari ini aku kerja, Ding," jawab Ale tak kalah bingung.

"Iya, maksudku kamu gak butuh waktu sendiri dulu gitu?" Tanya Gading hati-hati.

"Kalau aku berduka terus gak akan bikin Mama hidup lagi. Jadi yaudah lah, Ding," jawab Ale lempeng, lalu buru-buru meletakkan barang-barangnya dan siap membantu Gading melayani pelanggan.

Kedai kopi Mentari tempat Ale bekerja bisa dibilang top three kedai kopi di kota. Selalu menjadi pilihan semua kalangan untuk disambangi karena arsitektur kedai kopi itu dibuat dengan effort lebih, juga menu-menu yang tak kalah autentik. Penghasilannya pun lumayan bagi anak seumuran Ale yang sedang banyak maunya namun kepentok uang.

Kebetulan Ale mendapatkan shift sampai kedai tutup, sehingga gadis itu juga menyempatkan untuk membersihkan kedai kopi mulai dari meja pelanggan sampai pantry. Baru saja gadis itu ingin mengunci pintu kedai, terlihat Andhika sang pemilik kedai kopi datang dengan beberapa lelaki dewasa seumurannya membuat Ale mengurungkan niat dan justru membukakan pintu.

"Loh, Ale ngapain kerja hari ini?" Tanya Andhika sambil membuang asap rokok ke arah berlawanan agar tak mengenai Ale.

"Bosan kalau di rumah, Mas," jawab Ale seadanya sambil terkekeh.

"Nih, kenalin. Ben sama Leo," Ale tersenyum, mengulurkan tangan dan menjabat tangan dua lelaki di hadapannya tak lupa mengenalkan namanya.

"Le, pulang aja. Mas kayaknya lama di sini, lagian udah harusnya tutup juga. Mas bisa handle kok," perintah Andhika yang langsung ditolak Ale.

"Nggak papa mas, aku di sini aja sampai mas beres. Lagian, aku sendirian di rumah. Biar badan aku capek aja, terus nanti pulang langsung tidur nggak mikir apa-apa lagi." Ucap Ale, lalu berlari kecil ke area bar. "Minumnya mau apa mas?"

***

Ale akhirnya melepas apron, waktu menunjukkan pukul satu pagi dan ketiga lelaki dewasa itu baru saja menyelesaikan obrolan seriusnya. Memastikan semua hal sudah bersih dan rapi, Ale berjalan ke arah bosnya itu untuk pamit pulang. Bos yang lebih seperti kakak sendiri untuk semua karyawannya.

"Mas, aku pulang dulu ya," pamitnya, yang langsung dicegah Andhika. "Naik apa?" Tanya lelaki berparas londo itu.

"Gojek lah mas, apa lagi," jawab Ale sambil terkekeh.

"Rumahmu masih di pertigaan Jalan Ijen, kan?" Tanya Andhika, dijawab anggukan oleh Ale.

"Pulang sama Leo aja, searah. Sana buruan!" Maupun Ale atau teman bosnya itu tidak ada yang sempat menolak karena Andhika yang buru-buru mendorong keduanya ke arah mobil. Sungguh mencengangkan bagi Ale yang tak kenal sama sekali.

"Naik aja, gak papa," ucap lelaki yang mengenalkan dirinya Leo itu usai mendapati Ale yang sungkan. Ale hanya mengangguk tanpa suara, perlahan memasuki mobil SUV Toyota Land Cruiser itu dengan hati-hati.

"Pertigaan Jalan Ijen mananya?" Tanya Leo sambil memasang sabuk pengaman.

"Persis di sebelah rumah belanda, mas," jawab Ale, membuat Leo melenarkan matanya sedikit.

"Oh, rumah belanda yang itu?!" Ale terkekeh, "iya mas, tahu ya?"

"Berarti tiap hari aku lewat rumahmu," gumam lelaki itu yang masih bisa didengar oleh Ale.

"Kamu udah makan belum?" Tanya Leo, disambut gelengan Ale.

"Makan dulu ya? Aku laper banget seharian kerja tau-tau dibawa Dika ngopi, bentar lagi meledak jantungku," ajaknya. "Di ayam penyet sambel ijo Indra aja, kan deket," tambah Leo lagi meyakinkan Ale.

Ale, gadis itu hanya bisa mengangguk menurut. Toh, lelaki itu sudah baik mengantarnya dan ia juga percaya Andhika tak sembarang menyerahkannya pada lelaki.

Ayam penyet sambel ijo Indra, sebuah warung tenda yang tak pernah sepi. Terletak di perumahannya sehingga Ale tenang tempat makan tak jauh dari rumah.

***

"Nggak makan berapa lama, Le?" Goda Leo melihat lahapnya Ale makan. Gadis itu terkekeh, "dua belas jam ada kali,"

"Kamu sibuk ngapain aja?" Tanya Leo, membuka obrolan sembari kedua insan itu menikmati makanannya.

"Nggak ada sih. Aku cuma kerja di Mentari sekarang," jawab Ale.

"Kamu nggak kuliah?" Tanya Leo perlahan, takut-takut Ale tersinggung.

"Aku lagi terminal, tapi kayaknya nggak lanjut lagi,"

"Terus rencananya kamu mau ngapain?" Tanya Leo.

"Yah, tetap kerja di Mentari sambil nyoba peruntungan yang lain," jawab Ale perlahan karena sesungguhnya ia juga ragu.

"Kamu tau Muda Group gak?" Tanya Leo, membuat Ale langsung mendongak.

"Tau. Perusahaan yang produksi wine di Indonesia, kan?"

"Aku kerja di situ, kebetulan direktur utama lagi butuh personal assistant. Mau nggak? Biar aku rekomendasiin," tawar Leo seketika, membuat Ale menganga tanpa sadar.

Love in The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang