Choi Ara, gadis muda biasa yang lahir dari keluarga sederhana yang tinggal di desa terpencil.
Ara nekad merantau seorang diri ke kota seoul demi menempuh pendidikan dengan harapan ia bisa memperbaiki nasib keluarganya dan mengangkat derajat keluarganya.
Ara tidak suka merepotkan orang lain. Jika memang masih bisa dia lakukan maka pantang hukumnya Ara meminta tolong pada orang lain. Bahkan terkadang ia cenderung memaksakan keadaan dan menanggung semua hal seorang diri.
"ia bun, ara udah bayar uang kuliah kok. Bunda tenang aja."
"...."
"ga usah bunda. ara masih ada uang buat makan. Uangnya buat adek aja"
"..."
"iya, nanti ara usahain pulang ya bun"
"..."
"iya. Bunda juga jangan lupa jaga kesehatan. Obatnya jangan sampe lupa diminum ya bun."
".."
"ara juga sayang bunda."
ara menutup sambungan telepon setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Gadis dengan rambut tergerai setengah itu lalu menyimpan ponselnya didalam saku kemeja ketika seseorang menghampiri meja kasir
"Pembayaran untuk meja nomor 13 ya"
Ya, ara bekerja part time di irregular cafe milik seniornya dikampus.
Ya setidaknya gajinya cukup dan lumayan untuk meringankan kehidupannya di seoul.
"Lah? ra? kok masih disini? bukannya shift lo udah abis ya?"
"Eh? iya sih kak. Gue gantiin sih joy. Soalnya dia katanya rada telat soalnya ada ujian praktek dulu di kampus"
Johnny sebagai pemilik cafe itu mengangguk paham.
"by the way honor udah gue transfer ya. Sorry banget telat. Lo tau sendiri kan keadaan cafe lagi kaya gimana akhir-akhir ini?"
"Ihh.. apaan sih? Justru gue makasih karna lo mau nampung gue as your staff"
"azeek, udah bilingual aja lo"
"Hehehe.."
Tring
"hay hay hay..... "
sebuah suara ceria menggelegar dipenjuru cafe. Seorang gadis dengan rambut dibiarkan tergerai masuk dengan ceria didalam cafe.
"weitzz roman-romannya ada yang baru abis gajian nih?" ucap joy menyenggol lengan luna
ara menyengir kuda menanggapi joy.
"Gue cabut ya kalau gitu. Byee.."
ara lalu melepas apronnya dan meninggalkan cafe milik johny siang itu.
***
Ara berjalan meninggalkan kelasnya setelah perkuliahan dibubarkan. Lalu tak lama ketika ara berjalan, seseorang menepuk pundaknya.
"eh ra, lo ikut kan makrab di busan minggu depan?"
"hah? oh, euh.. gimana ya?" ara menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sebenarnya. Hanya saja, gadis itu bingung apakah ia akan ikut atau tidak.
Pasalnya, kebutuhannya untuk bulan ini masih banyak, sementara uang ditabungannya juga sangat pas-pasan. Jika ia ikut makrab, maka dana yang ia miliki mungkin akan semakin menipis.