Perceraian

25 5 6
                                    

Saat anak seusianya masih sibuk bermain, lain halnya dengan seorang anak gadis berusia 8 tahun ini. Ancika, nama yang tersemat pada anak tersebut. Yang masih bergelut pada sebuah kehancuran, keadaan yang membuatnya dewasa sebelum waktunya. Pemikirannya yang begitu dewasa, mampu membuatnya tahu situasi apa yang tengah terjadi.

Ancika termenung di atas bukit dekat rumahnya, sembari menatap pepohonan yang tertata rapi dan elok dipandang. Ini bukan kampung halamannya, ini tempat dia dan orang tuanya tinggal sementara, tempat yang baru saja ditinggali beberapa waktu, daerah yang cukup terpencil dari kawasan kota, hanya ada beberapa rumah warga dan satu warung yang cukup memadai.

Ancika menghela napas pelan, bangkit dari duduknya lalu meregangkan kedua tangannya, menutup mata dan menghirup udara sebanyak-banyaknya seolah semilir angin ini tidak lagi akan dia rasakan.

Ancika tersenyum tipis namun matanya memancarkan sebuah luka yang begitu dalam. Banyak hal yang membuat kapasitas otaknya penat, menjadikan sakit dihatinya, membuat Ancika dalam ketakutan terbesar, dan tidak ingin semua itu terjadi.

Banyak hal yang harus dia lalui, tentang kehidupannya mendatang, bagaimana atau bahkan akan terjadi apa. Membayangkannya saja cukup membuat hati Ancika bertambah sakit, rasanya sesak sekali.

Seharusnya anak sepertinya masih asik bermain dengan dunianya, tapi Ancika malah bermain dengan sebuah kehancuran pada hidupnya. Takdir terlalu membuatnya dewasa, keadaan selalu membuatnya terluka, Ancika rasa, kehidupannya akan kembali sulit dari sebelumnya.

____

Ancika tengah bermain sendiri di bawah pohon, walaupun pikirannya terus saja bergelut, melayang begitu jauh dan menimbulkan luka pada hatinya, Ancika masih terlalu kecil untuk merasakan ini semua, tapi mengapa takdir malah memberikannya cobaan seperti ini? Sulit untuk dipertanyakan. Gerakan tubuhnya berhenti ketika mendengar suara yang sangat familiar baginya, itu suara orang tuanya, intonasi yang bertambah tinggi, membuatnya bergegas pergi dan melihat apa yang tengah terjadi.

Tatapan matanya begitu pilu, Ancika menatap dua orang yang terlihat sama-sama egois itu, menatap dua pasang mata yang juga tengah menatapnya, apakah mereka juga merasakan luka yang dirasakan Ancika?

Satu pasang mata itu, tengah menatap tajam ke arahnya, mungkin marah karena sudah mengganggu pertengkaran mereka.

"Anak bodoh! Pergi dari sini, mengganggu saja! Dasar anak pembawa sial," bentak sang ayah.

"Anak bodoh itu juga anakmu," protes sang ibu.

"Dia bukan anakku," geram ayahnya.

"Cukup, Ayah, Ibu. Aku tahu itu semua dan tolong jangan perjelas," ucap Ancika kemudian berlalu pergi.

Hatinya terlalu sakit mendengar itu semua, sudah terlalu sering tapi hatinya masih saja tak cukup kebal. Ancika seperti bukan bagian terpenting pada kehidupan mereka. Melelahkan, rasanya anak sekecil Ancika terlalu kuat atas ini semua. Ancika tertawa pelan dengan air mata yang menetes, rasanya seperti disayat ribuan benda tajam, sakit sekali.

"Aku memang bodoh, masih saja begitu yakin mempersatukan mereka yang tak lagi saling mencinta," ucap Ancika pada dirinya.

_______

Ancika tengah berada di ruang tamu namun sayup terdengar suara sang ayah yang tengah berbincang.

"Saya mau pergi ke Sumatera, rasanya sudah cukup saya disini. Untuk urusan anak, masih ada ibunya."

Apa maksud semua ini? Ayahnya akan pergi meninggalkan Ancika dan ibunya?

Ancika berlalu pergi dari ruang tamu, mencari keberadaan ibunya untuk diberitahu. Ancika tak juga menemukan ibunya di sekitaran rumah. Kemana ibunya?

"Ibu ...."

Ancika melihat di batu besar dekat sungai, ada ibunya yang juga tengah menelpon seseorang, siapa?

Ancika mendekati ibunya.

"Ibu, aku lapar. Tapi di rumah tidak ada apapun, boleh masakan untukku?" tanya Ancika.

Ibunya hanya mengangguk sembari mengibas tangan isyarat tanda pergi.

Ancika yang paham pun segera pergi namun telinganya masih saja mampu mendengar perkataan ibunya.

"Aku mau pergi dari sini, aku sudah muak dengan semua ini."

Ancika tertegun, orang tuanya akan pergi dan dia akan ditinggalkan sendiri?

____

Malam ini, suasana ruang makan bertambah sunyi, hanya ada denting sendok yang tengah beradu dengan piring.

Ancika yang telah menyelesaikan makannya, segera bangkit namun ucapan ibunya membuat dia mengurungkan niatnya.

"Ancika, duduk dulu. Ada yang ibu dan ayah ingin bicarakan denganmu," ucap ibunya.

Ancika mengangguk.

Semuanya terdiam, tak ada yang bicara sepatah katapun, Ancika yang penat dengan situasi ini membuka suara.

"Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Ancika.

Mereka berdua menatap Ancika, terlihat dari mata mereka yang sama-sama menatap kasian pada Ancika. Ada apa?

"Ibu dan ayah akan segera bercerai," lirih ibunya.

Ancika terdiam. Mencerna baik-baik apa yang dibicarakan ibunya. Mungkin ini hanya mimpi, batin Ancika.

"Ibu dan ayah sudah tidak lagi bisa bersama, kami memutuskan untuk bercerai dan hidup masing-masing."

"Ancika ...." Panggil sang ayah.

"Lalu aku?" tanya Ancika.

Mereka menatap Ancika kembali. Beradu pandang sebentar.

"Ayah dan Ibu memutuskan untuk menyuruh kamu tinggal bersama bibi mu," gumam sang ayah.

Ancika termangu, tak ada yang berniat membawa dirinya untuk tinggal bersama. Batinnya tertawa keras, menertawakan dirinya sendiri.

"Aku paham, sepertinya tidak ada yang menginginkan Ancika disini. Urus kehidupan kalian masing-masing karena sekarang kalian sudah terlepas dari Ancika," celetuk Ancika.

Rasanya dunia Ancika hancur. Semua benar-benar sudah mampu merobek hati ini, terluka yang teramat dalam tercipta dari orang terdekat.

"Ancika harusnya sudah sadar sejak dulu. Tak ada yang ingin Ancika disini, hanya satu, Ayah dan Ibu, hanya satu yang ingin Ancika pertanyakan," ujar Ancika.

"Apa?" ucap mereka bersamaan.

"Apakah aku anak kandung kalian?" tanya Ancika.

Mereka tertegun, dan itu mampu membuat jantung Ancika berdetak lenih cepat dari kecepatannya.

"Kamu anak kandung kami, Ancika."

"Lantas mengapa kalian tak menganggap aku anak kalian?" tanya Ancika kembali.

Mereka terdiam.

"Ancika memang belum cukup dewasa, Ayah, Ibu. Tapi Ancika tahu apa yang tengah terjadi, rasanya begitu tiba-tiba, Ancika juga dipaksa dewasa sebelum waktunya, Ancika juga lelah dengan semua ini, Ancika juga terluka, kalian tidak sadarkah?" Jelas Ancika.

Ancika pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Memasuki sebuah kamar sederhana yang sudah menjadi saksi luka bagi anak gadis ini.

Perlahan, sungai kecil mengalir dari pipi Ancika. Ancika hanyalah gadis kecil yang masih perlu kehadiran orang tua, tapi rasanya itu sudah tidak mungkin lagi. Ancika harus tegar dengan semua ini, dan harus berusaha karena kehidupan ke depannya akan semakin sulit untuk dilewati. Rasanya sudah terlalu sering hari ini Ancika mendapatkan luka, membuat dirinya juga perlu penanganan khusus pada sistem kerja otaknya. Dia harus bisa istirahat yang cukup, Ancika sudah menjadi anak kecil yang kuat diusianya yang terlampau masih belum siap menjalani kehidupan ini.

Store'l Ancika [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang