Awal

6 2 0
                                    

Ancika menatap rumah yang cukup mewah dengan halaman yang luas, disini Ancika akan tinggal sekarang. Rumah bibinya.

Ancika akan memulai hidupnya disini, entah kehidupan yang menyenangkan atau bahkan menyedihkan. Ancika harus siap dengan risiko perjalanan yang sudah dia sanggupi untuk hidup.

Di rumah ini, ada bibi serta suaminya, dan satu orang putra yang berusia 6 tahun, berbeda tipis dengan usia Ancika.

Ancika juga kini kembali bersekolah, dengan jenjang bangku sekolah dasar kelas 2, dan anak bibinya di kelas 1.

Ancika kini tengah bersiap untuk hari pertamanya sekolah, dengan seragam yang sudah diberikan ayahnya dan peralatan sekolah yang dibelikan ibunya.

Ancika menatap pantulan dirinya di kaca, disana ada bayangannya yang juga tengah menatapnya, dia harus bisa memulai hidup lebih baik disini, walaupun tanpa dukungan serta kasih sayang orang tua.

_____

Ancika berdiam diri di salah satu bangku yang entah milik siapa, karena di kelas hanya ada Ancika, tidak ada yang lain.

Satu persatu anak datang dan menatap Ancika dengan tatapan bingung. Mungkin karena Ancika anak baru di sekolah.

Pemilik bangkunya belum juga tiba, mungkin bangku ini kosong, batin Ancika.

Seorang siswa laki-laki datang menghampiri Ancika, dan menatap Ancika dengan teliti kemudian tersenyum lebar dengan gigi depan yang ompong.

"Hai, kamu murid baru, ya?" tanya anak itu.

Ancika hanya mengangguk, mungkin cukup sebagai respon, menurut Ancika.

"Ini bangku aku, disebelah aku itu bangku kosong, kamu bisa duduk disana."

Ancika menatap bangku kosong disebelahnya, lalu bangkit dan berjalan ke bangku itu, kembali menatap siswa laki-laki itu.

"Terima kasih," ucap Ancika.

Siswa tadi mengangguk.

Bunyi lonceng terdengar, tanda bahwa pelajaran akan segera dimulai. Seorang wanita muda dengan pakaian yang rapi dan sepertinya itu guru yang mengajar di kelas Ancika.

"Yang bernama Ancika, maju, dan perkenalkan nama mu."

Ancika maju tepat di depan papan tulis, menghadap ke seluruh ruangan kelas dan menatap siswa-siswi yang juga tengah menatapnya.

"Ancika, dari sekolah dasar Pelangi Kasih." Sembari membungkuk.

Ancika kembali duduk setelah diperbolehkan gurunya. Semua yang ada disini terlihat baik, mereka semua menerima Ancika namun entahlah jika nanti mereka tahu bagaimana kehidupan Ancika sebelumnya.

______

Lonceng pulang dipukul dengan lantang.

Ancika pulang berjalan kaki, karena lokasi sekolah yang cukup dekat, namun tidak dengan anak bibinya yang di antar jemput. Ancika tidak boleh mengeluh, inilah kehidupannya.

Setelah sampai rumah, Ancika langsung bergegas ke kamarnya untuk istirahat. Namun, saat suara yang memanggilnya membuat Ancika menggagalkan rencananya.

"Ancika, bisa belikan bibi garam di warung?" tanya bibinya.

Ancika mengangguk, mungkin setelah ini baru dia beristirahat.

Cuaca cukup panas, mampu membakar kulit putih Ancika yang tengah pergi ke warung, warung itu berada pada belokan yang lumayan jauh dari rumah bibinya.

Ancika harus bisa menjalani ini. Ancika pasti kuat.

Sesudah sampai rumah, Ancika memberikan garam tersebut kepada bibinya dan bergegas masuk kamar, tubuhnya sudah benar-benar kelelahan. Ancika ingin segera beristirahat.

"Ancika," panggil bibi Ancika.

Ancika memberhentikan langkah kakinya dan menoleh menatap bibinya.

"Tolong cuci piring sebentar, kamu boleh istirahat nanti."

Ancika menghela napas, kemudian mengangguk dan pergi menuju wastafel dapur. Kepalanya sudah sangat pusing, dia juga belum makan, uang jajan yang diberikan bibinya sudah habis untuk membeli sarapan.

Tanpa sadar, Ancika memecahkan satu piring dan suara pecahan itu terdengar oleh bibinya, terlihat bibinya yang berjalan cepat ke arahnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Kamu cape, Ancika?" tanya bibinya.

Ancika mengangguk pelan dengan kepala menunduk.

"Bersihin pecahan ini dulu ya, kamu bisa istirahat, biar bibi yang lanjutkan cuci piringnya," jelas bibi Ancika.

Ancika segera membersihkan pecahan kaca itu, dan kemudian berlalu pergi setelah semuanya selesai.

Merebahkan tubuhnya pada kasur kecil dan tipis, cukup membuat nyaman Ancika.

Ancika menatap langit kamarnya, ternyata kehidupannya menjadi berantakan karena ini. Bagaimana orang tuanya sekarang? Apakah sudah lebih baik setelah mereka berpisah? Air mata Ancika menetes membasahi pipinya, rasanya benar-benar melelahkan. Ancika tidak akan sanggup jika terus begini, tapi dia berusaha untuk dirinya sendiri agar nantinya bisa hidup lebih baik, tidak masalah jika sekarang dia hidup menderita.

Ini baru awalan Ancika, bukan akhir dari kehidupanmu, masih banyak perjalanan sulit yang akan dilewati, semangat!! batin Ancika memberi semangat.

Ancika terlelap tidur, malaikat pun pasti tak tega melihat anak sekecil Ancika sudah diberi ujian yang begitu berat. Jika saja takdir bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ancika, mungkin sekarang tidur Ancika penuh dengan senyum manis yang sangat bahagia, bukan wajah lelah yang terpatri pada wajahnya.

Ancika, nama yang cantik dan indah, namun tidak dengan kehidupannya yang penuh dengan sandiwara orang terdekat ataupun sebuah penderitaan yang menghampiri gadis tersebut.

Semoga nantinya hidup Ancika menjadi lebih baik, bukan bertambah kelam.

______

Ancika terbangun saat mendengar suara bibinya yang membangunkannya. Ternyata sudah sore, pantas saja.

Bibinya menyuruhnya untuk makan. Iya, setidaknya Ancika tidak mati kelaparan di rumah bibinya. Ancika masih di rawat dengan baik, menurut orang lain.

Dengan lauk seadanya, Ancika makan dengan lahap. Dia bersyukur karena masih bisa makan seperti sekarang. Bibinya baik dengannya. Mungkin juga perlakuannya untuk melatih Ancika agar bisa kebal pada kehidupan yang kejam ini.

Selesai makan, Ancika bergegas untuk membantu bibinya dalam membereskan rumah. Ancika harus sadar diri, dia tidak boleh manja, Ancika tinggal bersama orang lain, walaupun itu saudara ibunya.

Ancika tidaklah banyak bicara, dia juga lebih sering berdiam diri di kamar. Membiarkan imajinasi merangkai dipikirannya ataupun hanya sekedar memikirkan orang tuanya.

Mungkin jika orang lain tahu tentang kehidupan Ancika, banyak orang akan mengacungkan jempol mereka untuk sekedar memuji kehebatan Ancika yang mampu bertahan selama ini.

Ancika hanya mampu mengenang semua itu dalam ingatannya, menyimpan rapi pada perpustakaan memori otaknya. Membiarkannya untuk terus ingat semuanya tanpa harus dilupakan. Tentang kehancuran hidupnya, seberapa berantakan hari-hari yang terus dia jalani, dan luka yang begitu dalam tergores.

Kadang pun, Ancika juga bisa menyerah dengan keadaan, bagaimana bisa anak sekecil Ancika kuat atas semua ini? Tidak mungkin bukan? Kapasitas otaknya yang masih menyuruhnya untuk bermain bukan menjadi dewasa. Membuat pikiran yang sulit untuk ditebak, bahkan luka yang masih saja Ancika buka dengan mengingat itu semua. Entah sampai kapan pula kehidupan seperti ini Ancika lalui, Ancika hanya mampu membuat imajinasi tentang kehidupannya, walaupun semua ekspetasi tak bisa menjadi sebuah realita, setidaknya jiwa Ancika sudah dibuat senang dengan semua ekspetasi itu. Disebut apa Ancika?

Store'l Ancika [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang