Pertimbangan

6 2 2
                                    

Ancika benar-benar menjadi anak yang pendiam. Tanpa ada satu patah katapun terucap dari mulutnya semenjak kejadian malam itu. Saat dimana Ancika menyuarakan semuanya, mengenai perpisahan orang tuanya, tentang hidupnya setelah ini.

Kurang hancur apa kehidupannya? Berhenti sekolah, meninggalkan kampung halaman beserta teman-temannya, meninggalkan keasikan bermain, dan sekarang apa harus seorang anak manis seperti Ancika harus juga merasakan kehidupan tanpa kasih sayang orang tua?

Suara decitan pintu terdengar namun tak juga membuat Ancika menoleh, dirinya tengah asik bergelut dengan pikirannya.

"Ancika ...." Panggil ibunya.

Ancika menoleh, mengangkat satu alisnya seolah bertanya, ada apa?

Ibunya menghela napas, Ancika cukup berubah beberapa hari ini, ibunya mendekat ke Ancika. Duduk bersampingan lalu tangannya tergerak membelai rambut panjang Ancika.

"Ada alasan dibalik perpisahan ibu dan ayah, tapi untuk sekarang kamu masih terlalu kecil untuk tahu ini semua," jelas ibunya.

Ancika menatap ibunya, mata itu juga tersirat sebuah luka, tapi apa mereka juga tidak melihat luka yang dirasakan Ancika?

"Aku tahu, Ibu. Aku memang terlalu kecil untuk tahu itu semua, lalu kenapa masa kecilku kalian buat seperti ini?" Tungkas Ancika.

Ibunya terdiam, Ancika cukup lihai dalam berbicara. Faktanya, Ancika mampu membungkam ucapan ibunya.

"Ibu dan ayah akan mempertimbangkan tentang perceraian ini, demi kamu," ucap sang ibu.

Ancika dibuat terkejut dengan ucapan ibunya, apakah semua itu benar?

Ancika tersenyum lebar, semoga mereka tidak benar-benar akan berpisah.

"Terima kasih, Bu."

Ancika memeluk erat tubuh ibunya, rasanya sangat nyaman. Ancika tidak ingin kehilangan pelukan hangat yang terus dia dapatkan saat dia memeluk ibunya.

Ancika juga tidak ingin kehilangan pahlawan seperti ayahnya. Bagaimanapun mereka berdua tetap yang terbaik untuk Ancika.

"Tidurlah, kamu perlu istirahat yang cukup," ujar ibunya.

Ancika mengangguk, lalu berbaring. Senyumnya kali ini terlihat begitu bahagia.

Ibunya menatap Ancika penuh iba, seharusnya Ancika tidak harus terlibat dalam semua masalah ini, andaikan saja.

____

Saat suara decitan pintu itu sudah tak lagi terdengar, Ancika membuka matanya. Senyum yang dia tampilkan itu adalah senyum kepalsuan. Ancika sadar, ucapan itu hanyalah sebuah kata penenang untuk dirinya. Orang tuanya tetap saja akan berpisah.

Ancika duduk menghadap jendela kamarnya, menatap bintang dan bulan yang cahayanya cukup terang sehingga membuat bayangan untuk pohon-pohon.

Ancika terlalu larut pada pikirannya, masih saja tentang orang tua serta kehidupannya. Ancika cukup dibilang trauma, saat mendengar pertengkaran, badannya gemetar serta jantung yang berdetak sangat kencang, dengan pikiran yang berubah menjadi sebuah ketakutan luar biasa. Hanya dia yang tahu, bagaimana Ancika bisa menghadapi ini semua? Hidupnya terlalu sulit. Hanya sebentar kebahagiaan dia dapatkan, setelahnya kehancuran ini hadir.

Ancika tak sadar, waktu sudah menunjukkan larut malam. Dia harus tidur sekarang.

Tiada henti, doa terus saja terucap untuk kehidupannya. Ancika berharap kehidupannya kelak tak akan kelam seperti sekarang.

_____

Pagi ini, keadaan rumah sudah cukup sepi, ayahnya pergi bekerja sedangkan ibunya pergi ke warung.

Tak ada tanda-tanda kepulangan mereka, sampai siang Ancika terus menunggu mereka berdua. Dengan sejuta pikiran buruk yang hadir, apakah Ancika ditinggalkan sendirian?

Ancika tertawa pelan, kadang otaknya juga bisa menjadi anak-anak, ya, seperti sekarang, Ancika sudah ditipu dua orang yang dia sayangi. Ancika ditinggalkan sendirian.

Rongga udaranya sepertinya sulit menerima pasokan oksigen, sesak sekali rasanya, menimbulkan luka pada dinding hatinya.

Ancika menangis, memukul dadanya hanya untuk menghalau rasa sakit yang luar biasa. Ancika terlalu kecil untuk bisa ini semua, Tuhan.

Hari sudah menjelang sore, masih juga tak ada tanda kehadiran kedua orang tuanya, Ancika saja yang terlalu berharap lebih.

Namun, suara deru motor di depan rumahnya membuat Ancika segera berlari keluar, dia tersenyum tipis, orang tuanya sudah pulang tapi tatapan mereka sulit diartikan.

"Ibu, kalian dari mana saja?" tanya Ancika.

Ibunya hanya diam saja, tak menyahut ataupun memberi isyarat pada Ancika. Ibunya berlalu pergi tanpa sepatah katapun, melewati Ancika yang tengah kebingungan atas situasi ini.

Ancika menghampiri sang ayah yang tengah memarkirkan motornya.

"Ayah, ada apa dengan ibu?" tanya Ancika.

"Ayah, kalian dari mana saja?" sambung Ancika.

"Ayah, Ancika tengah bert --"

"Diam Ancika!" Potong sang ayah dengan intonasi yang begitu tinggi.

Ancika tertegun, apakah pertanyaannya salah? Sepertinya ini pertanyaan wajar, ada apa dengan mereka berdua?

Ancika menunduk, tubuhnya ketakutan. Bayangan ayahnya pergi berlalu tanpa suara membuat Ancika takut akan mereka berdua.

Ancika menatap kepergian ayahnya, tatapan Ancika begitu pilu, lagi dan lagi hatinya kembali sakit, Ancika menutup mata dengan mengatur napas agar tetap beraturan. Dia tidak boleh lemah, Ancika ingat ini hanyalah awal dari kehidupannya bukan akhir.

Apakah pertimbangan tadi malam dibatalkan? Mereka tetap akan berpisah atau kembali bersama? Entahlah, pikiran Ancika terlalu berkecamuk.

_____

Satu keluarga yang tengah dilanda kehancuran itu tengah duduk rapi untuk bersantap makan malam. Masih tetap sunyi, suasana yang dulunya riang tak lagi dirasakan pada keluarga itu.

Ancika menatap makanan yang tersedia, tidak ada lagi makanan kesukaannya yang tersedia pada meja makan ini. Menatap kedua orang tuanya yang tengah asik menyuap nasi ke mulut mereka, biasanya saat makan malam, selalu diselingi dengan canda tawa, atau hanya sekedar percakapan  yang mampu membuat tertawa, sekarang itu semua hanya jadi kenangan untuk Ancika.

Setelah selesai, Ancika hanya duduk tanpa suara, sepertinya akan ada yang dibicarakan orang tuanya.

"Bagaimana ayah, ibu?" tanya Ancika.

Orang tua Ancika menoleh padanya, seolah paham, mereka mengangguk.

Ibu Ancika mengeluarkan sebuah kertas lalu menyodorkan kepada Ancika.

Ancika mengambil kertas tersebut lalu membacanya. Ancika terhenyak kemudian menatap kedua orang tuanya. Dia bisa membaca dan dia tahu apa maksud pada kertas itu.

"Perceraian?" tanya Ancika.

"Kami resmi berpisah," lirih ibunya.

Bak bom atom yang meledak, seluruh tubuh Ancika seperti patung, bahkan udara yang tadinya banyak seakan pergi tanpa permisi, tak memberikan Ancika oksigen yang cukup.

"Ini yang kalian pertimbangkan? Demi Ancika? Hahaha, Ancika sudah menduga, ayah, ibu. Kalimat penenang yang kalian berikan itu bukan penawar yang baik untuk Ancika, Ancika tahu itu semua. Pergilah, Ancika tidak lagi ingin kalian berdua," jelas Ancika.

Air matanya begitu deras mengalir, matanya tersirat sebuah luka yang begitu dalam, hatinya benar-benar hancur berkeping, hidupnya semakin berantakan pada masa kecilnya.

Orang tuanya hanya mampu menunduk tanpa suara, mereka diam mendengarkan perkataan Ancika yang begitu terluka. Anak sekecil Ancika harus merasakan penderitaan karena mereka, merasakan kehancuran akibat mereka berdua.

"Ancika, maafkan ayah dan ibu," ujar ayahnya.

Ancika berlalu pergi, dia perlu waktu untuk ini semua.

Store'l Ancika [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang