4

26 0 0
                                    

Minggu pagi adalah waktu yang tepat untuk memanjakan diri. Bersepeda di taman adalah tujuanku pagi ini. Jam menunjukkan pukul 06.05, Aku bergegas keluar kamar, lantai bawah masih sepi.

Biasanya rutinitas pasca subuhan di weekend ataupun hari libur, kembali ke kamar masing-masing-bersiap untuk menghuni pulau kapuk (lagi) atau  olahraga. Hanya di waktu seperti sekarang kami sarapan 'terlambat'. Syukurnya gen keluargaku ini termasuk tipe yang tidak bisa makan berat cukup setangkup, duatangkup roti atau jajanan pasar ditemani teh atau kopi.

Tapi sepertinya hari ini Papah Mamah memilih bersantai di kamar. Abang juga nggak kelihatan batang hidungnya.

Kuarahkan kakiku menuju kamar utama di rumah ini. Ku ketuk pelan pintu kamar tersebut.

"Mah, Pah, Adek sepedaan di taman dulu ya" sahutku

"Iya dek, Hati-hati ya dek" pesan mama mengingatkan

"Oke, Mah. Assalamu'alaikum Mah, Pah"

"Wa'alaikumussalam" ujar mereka

--
Baru saja aku selesai menutup pagar. Hpku menangis memanggil-manggil ku untuk diperhatikan.

Kujawab panggilannya.

"Assalamu'alaikum, dek" sapanya

"Wa'alaikumsalam, iya?" Menggantungkan tanda tanya diujung suaraku.

"Hari ini bisa temani mas dinner?"

"Maaf, aku nggak bisa, besok aku ada kelas pagi" jawabku datar

"Oh begitu, kalau siang ini bagaimana?"

"Aku quality time sama keluarga" tekanku

"Mas boleh nggak join? Mas ke rumah kamu boleh?"

Really? Emang dia segabut itu sampai harus berkunjung (lagi) setelah tadi malam sudah berkunjung.

Kejadian tadi malam. Masih jelas tergambar di memory ku.
Aku tak tahu mengapa setelah kembali dari membuat teh untuknya, di meja makan hanya dirinya

Abang sudah tidak keliatan wujudnya. Sisa kami berdua. How come?. Papah dan Abang tidak mungkin selonggar begini padaku.

"Ini tehnya"

"Makasih dek"

Ku ambil piringnya, menuangkan satu centong nasi kepiringnya.
Aku terkejut menyadari apa yang sedang ku lakukan. Melayaninya yang bukan siapa-siapa. Aku mengutuki kebiasaanku yang tidak pada tempatnya ini. Ck!

Mukaku merah. Retinaku menangkap ekpresi yang tidak bisa kubaca, tatapannya tajam mengarah padaku. Aku berdehem

"Hmm, nasinya.. hmmm nasinya cukup segini?" Tanya ku terbata-bata gugup tanpa menatapnya

Sadar, Vada, wake up. Jangan permalukan dirimu sendiri.

"Iya, makasih ya" jawabnya

Segera kuletakkan piring di depannya. Biarkan dia memilih lauknya sendiri.

Jika sebelumnya suasana meja makan terasa hangat.
Sekarang aku menyesal telah menawarkan makan, suasana meja makan hampir mengalahkan suasana kuburan di tengah malam. Sunyi dan mencekam. Aku memang lebay. Ini akward banget, sunggu aku butuh kasurku.

Dan seperti itulah malam mingguku berakhir. Papah mamah dan Abang mendadak hadir saat Gael sadar diri untuk pamit pulang.

Ku tahan nadaku tetap datar "Boleh, kalau papah mengizinkan  silahkan saja"

"Baik, nanti mas telpon bapak" gigihnya

"Iya. Sudah kan?" Suaraku terburu-buru sengaja menunjukkan kalau aku sedang sibuk

"Oh iya, mau sepedaan ya dek?"tanyanya

Eh. Gimana? Kok.. kok dia tau?

"Iya" jawabku singkat

"Hati-hati ya dek"

"Baik. Aku tutup ya, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam" ku akhiri panggilannya tepat setelah salam itu berakhir.

--
Taman masih sepi, jari-jariku tidak habis saat ku pakai berhitung orang-orang yang tertangkap mataku.

Ku hirup udara dalam-dalam. Segarnya.

Kemewahan ini sangat nikmat.

Saat aku akan berbelok. Aku melihatnya. Bukan.. bukan Gael. Apes banget hidupku kalau dia lagi. Lama-lama aku bosan.

Aku terpaku.

Sedang lari dengan atasan berwarna putih dipadukan celana pendek tortilla dan sepatu olahraga putih yang mengukuhkan eksistensinya. MasyaAllah, cakep.

Dia tetanggaku, hanya dua rumah yang memisahkan jarak rumah kami. Kami sedekat itu. Mas Radhika.

Aku memujanya.

Diam-diam.

No TitleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang