Part 1 Perkenalan

19 5 8
                                    

Part 1 Perkenalan

Bel sekolah pun berbunyi, tampak seorang gadis muda berpakaian seragam putih abu-abu dengan tas yang ditaruh di bahu keluar dari kelas. Dia berjalan pelan sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setelah dia melirik arlojinya tersebut, seketika saja dia melangkahkan kakinya cepat hingga sampai di pintu gerbang. Sesampainya, ia dengan cepat menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan memperhatikan sesuatu ke arah jalan raya. Kemudian dia mengembus napas berat, menyilangkan ke dua tangannya dibarengi garis bibirnya yang melengkung ke bawah.

"Aduh, papa mana sih, kan, aku udah pesan sebelum berangkat tadi, jangan sampai telat, aku bisa terlambat ini. Kalau tau gini mending tadi aku bawa HP aja, kan bisa telpon mama minta jemput," gerutunya.

Sudah sepuluh menit gadis muda itu berdiri di pintu gerbang. Teman-temannya sudah banyak yang pulang. Salah satu temannya yang juga sekelas menegur dan menawari gadis itu tumpangan, akan tetapi dia menolak dan tetap bertahan menunggu sang papa tiba yang sampai detik ini pun masih belum tampak lagi wujudnya.

Gadis muda itu pun terus menggerutu sembari kepalanya tetap menoleh ke kiri dan ke kanan. Namun, tiba-tiba saja ada suara seseorang yang menegurnya dari arah belakang.

"Kamu, Raina Kalani, kan?"

Sontak kepala gadis muda yang dipanggil Raina itu pun menoleh.

"Eh, iya, Pak,” jawab gadis muda yang bernama Raina itu, dibarengi garis bibirnya melengkung sedikit ke atas. Dua buah ceruk yang agak dalam merekah di ke dua pipinya. Menambah indah sebuah senyuman yang ia miliki.

Ia begitu kenal siapa sosok yang telah menegurnya itu. Dialah Kafin Faresta. Seorang guru baru yang mengajar di pelajaran olah raga. Hampir seluruh siswi di sekolah ini mengidolakannya, termasuk para guru perempuan yang masih lajang. Bagaimana tidak, parasnya yang begitu tampan, tubuhnya tegap dan tinggi, jika ia tersenyum nampak gigi putihnya berjajar rapi dan lagi sikapnya yang sopan santun kepada siapa pun.

Sebetulnya, Raina juga mengidolakannya. Ia tak fanatik akan kesempurnaan yang dimiliki oleh guru baru itu, akan tetapi itu hanya sebentar, saat guru baru itu datang ke sekolah dan memperkenalkan diri pas apel upacara. Seterusnya sikap Raina biasa saja, terlebih lagi siswi-siswi di sekolah ini selalu menebar pesona jika Pak Kafin lewat di hadapan mereka ketika masuk ke kelas. Berhubung  Pak Kafin ditugaskan pak kepala sekolah untuk mengajar di kelas sepuluh, Raina pun tak terlalu mengenalnya.

"Perkenalkan, saya Kafin Faresta,” ucapnya, sambil mengulurkan tangan.

“Saya, Raina Kalani, Pak. Saya sudah kenal Bapak kok. Bapak guru baru yang mengajar olah raga di kelas sepuluh kan,” cerocos Raina.

“Eh, iya,” jawab Kafin dibarengi sunggingan senyumnya yang siapa pun melihatnya akan meleleh.

“Oh, iya, Bapak kok, kenal saya,” selidik Raina.

“Siapa sih yang enggak kenal sama siswi berprestasi seperti kamu.”

Raina hanya menanggapi pujian guru olah raga itu dengan santai.

“Oh iya, Kenapa belum pulang lagi?" timpal Kafin lagi.

"Lagi nunggu Papa nih, Pak. Sampai sekarang belum jemput," jawab Raina dengan bibir yang menjulur sedikit ke arah depan.

"Oh, mungkin saja Papamu lagi sibuk. Apa kamu sudah telpon?"

"Aku enggak bawa HP sih, Pak. Aturannyakan enggak boleh bawa HP ke sekolah.”

"Boleh, kok. Asalkan jangan sampai ketahuan sama kepala sekolah.”

“Besok saya bawa deh, entar kalau ketahuan, Pak Kafin yang tanggung jawab, ya,” ujar Raina santai.

Kafin pun tertawa kecil mendengar omongan Raina. Mereka berdua terus saja mengobrol hingga tak terasa, sinar sang surya perlahan condong sedikit ke barat.

“Ya, ampun, Papa, kok belum nongol lagi, ya, mau jalan kaki, sungguh mustahil," gumam Raina lirih. Namun, terdengar oleh Kafin.

“Ya sudah, bareng saya saja,” celetuk Kafin.

“Enggak usah, Pak. Saya nunggu Papa jemput saja.”

“Kalau Papamu enggak jemput, apa kamu mau terusan di sini. Bentar lagi malam loh, sekolah sepi kalau lagi malam.”

Raina terdiam, tak ada lagi kata-kata yang bisa ia lontarkan selain mengikuti ajakan guru olah raga itu. Raina sebenarnya enggan jika menumpang dengan orang lain walau sekalipun ia telah mengenalnya. Sebab, ia selalu teringat pesan ke dua orang tuanya agar tidak merepotkan dan menjadi beban orang lain, selain papa dan mamanya. Takutnya kita sendiri yang banyak berhutang budi hingga sedikit pun tak mampu untuk membalasnya dan menjadi beban di akhirat. Raina pun mengembus napas berat.

“Iya, Pak. Saya ikut saja, tetapi antar sampai rumah, ya.”

“Iya, dong, pasti.”

“Tapi mana motor Bapak, apa kita jalan kaki bareng?”

“Kalau kamu enggak keberatan. Yah, enggak dong. Saya pesan gocar kok. Tenang saja." Kafin meraih gawainya dan dengan cepat dua jempolnya menari-nari di atas layar.

Beberapa menit kemudian, sebuah mini bus bewarna merah maron tiba tepat di hadapan Kafin yang tengah berdiri.
"Yuk, Raina,” ajak Kafin.

“Kamu bisa telpon Papamu dulu pakai ponsel saya, takutnya kalau Papamu tiba-tiba jemput nyatanya kamu enggak ada entar dikiranya kamu ada yang nyulik lagi."

Kafin menyodorkan gawainya pada Raina. Dengan berat hati, Raina meraihnya lalu kemudian mereka berdua sama-sama masuk ke dalam mobil mini bus itu. Rencananya Raina akan menelpon sang Papa di dalam mobil saja. Namun, baru saja Raina hendak menutup pintu mobil, tiba-tiba saja ada suara seorang pria yang menegurnya. Raina tak mengenal pemilik suara itu, yang pastinya bukan suara sang papa. Seketika saja ia menoleh ke sumber suara untuk melihat siapa sang pemiliknya. Tiba-tiba saja Raina mengkerutkan dahinya dan bergumam dalam hati. Siapa yang menyuruhnya untuk menjemputku? Apa papa? Atau mungkin mama?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HUJAN BULAN DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang