Hari lain yang terasa begitu melelahkan bagi nya, surai hitam itu nyaris menutupi sebagian besar netra hitam pekat dan kosong nya, tak berniat sedikit pun untuk memotong surai yang terlampau panjang, membiarkan wajah penuh derita itu bersembunyi dibalik nya.
Bahkan Yeonjun sempat berpikir untuk membiarkan rambut nya terus memanjang agar ia dapat menyembunyikan wajah nya secara utuh—setidak nya itu lah niat awal Yeonjun sebelum manejer di tempat ia bekerja memerintah kan untuk memotong nya. Akan tetapi, itu jauh lebih baik daripada diri nya dipecat.
Melangkahkan kaki jenjang tanpa arah itu, sorot iris Yeonjun menatap jalan setapak trotoar rungkah yang hampir setiap hari dilihat oleh nya, baik saat ia pergi ke tempat kerja maupun saat pulang, yang semakin lama semakin parah kerusakan nya. Persis seperti diri nya.
Jutaan bintang di langit malam itu seolah menyaksikan seorang pria berusia seperempat abad yang tengah menunggui ajal menjemput nya—jiwa yang siap untuk meninggalkan dunia penuh kesedihan ini. Yeonjun tidak mencoba, namun semakin hari semakin ia menjadi sengsara.
Langkah kaki nya berhenti tepat di hadapan bangunan penuh oleh ratusan orang yang memiliki gangguan kesehatan baik secara fisik, maupun jiwa. Tak terhitung jari berapa kali Yeonjun sudah menginjakan kaki nya di tempat itu. Helaan nafas berat keluar melalui bilah bibir nya. Aroma khas yang di keluarkan saat Yeonjun melangkah masuk ke dalam menyengat saluran pernapasan nya.
Kursi roda, pasien, serta perawat berlalu lalang menyusuri koridor, terdengar tangisan bayi yang begitu nyaring, ditambah suara bersin dan batuk dari berbagai penjuru arah. Jujur saja, jika bukan karna Soobin yang menyuruh nya datang ke sini tiap akhir pekan, Yeonjun sudah sangat enggan untuk hanya menginjakkan kaki nya di tempat ini.
Setelah mengambil nomor antrian, Yeonjun duduk tepat di bagian terpojok ruangan, menunggu giliran nya untuk dipanggil. Tempat yang disebut rumah sakit, malam itu bisa di bilang cukup ramai, padahal jarum jam pendek hampir menunjukan pukul 8 malam.
Meskipun begitu, keriuhan di tempat itu membuat Yeonjun semakin diselimuti kesendirian. Isi kepala nya kosong, membuat ia menggenggam erat tangan nya sendiri. Sedikit menyesali keputusan karena sudah datang kemari, penyesalan itu terulang setiap saat Yeonjun datang ke tempat ini, ia terus mengulangi nya lagi dan lagi.
Atensi Yeonjun teralih, seseorang duduk tepat di samping nya, terlihat seperti seorang pria berusia setengah abad, namun kemudian ia tak memperdulikan keberadan pria itu, "Nak, apakah kau pernah mendengar sebuah kisah berjudul 'Elang Laut yang Hilang'?" namun pria paruh baya itu seolah tidak membiarkan Yeonjun mengabaikan keberadaan nya—berbicara secara spontan kepada Yeonjun.
"Uhh..tidak?" balas nya, jujur saja Yeonjun paling membenci saat orang lain mengajak nya untuk bicara, apa lagi orang asing yang tak ia kenal. Yeonjun tak pandai berbasa basi.
"Ada mitos yang mengatakan, jika kau ingin menjadi seorang pelaut, jangan lah sekali sekali kau membunuh seekor elang laut, karena kau akan tersesat di lautan tak berujung untuk selama nya." aneh, Yeonjun tak pernah mendengar mitos semacam itu, "Namun suatu saat seorang pelaut yang sedang berlayar mengarungi lautan—ia tersesat di tengah lautan yang luas tanpa tujuan yang pasti. Ia menemukan seekor elang laut yang sekarat di sebuah pulau. Tak ada seorang pun yang bisa tahu jika elang laut itu masih hidup ataupun tidak, namun pelaut itu memiliki secercah keyakinan, elang laut itu masih hidup."
Yeonjun mendengarkan kisah aneh yang diceritakan pria itu dengan cukup sungguh. "Ia berhenti sejenak untuk memastikan nya. Brnar saja, elang laut itu masih hidup. Ternyata elang laut itu hanya kewalahan karena tidak dapat mencapai daratan tempat nya berasal. Pelaut itu menyelamatkan nyawa elang laut yang hampir mati itu tanpa ragu, kemudian melanjutkan perjalanan. Tidak sampai beberapa jam setelah nya, ia menemukan daratan." cerita yang cukup singkat itu mampu membuat Yeonjun memutar otak nya.
"Tapi kenapa anda menceritakan kisah ini kepada saya?" dahi Yeonjun mengernyit, ia dibuat bingung, mengapa cerita semacam ini di sampaikan pria itu kepada nya.
Pria paruh baya itu mengembangkan senyuman tipis pada wajah nya yang dipenuhi keriput, "Saya merasa anda membutuhkan nya."
"Antrian nomor 7." suara seorang wanita yang melengking keluar dari pengeras suara menggema di ruangan itu, semua orang dapat mendengar nya, begitu pula dengan Yeonjun, itu nomor milik nya.
"Saya duluan." ia beranjak dari tempat duduk itu, kemudian membungkukan tubuh nya singkat kepada sang pria tua paruh baya yang beberapa saat lalu berbincang kecil bersama nya.
"Semoga beruntung."
Nomor antrian ber angka 7 yang digenggam nya ia serahkan kepada seorang wanita administrasi, kemudian wanita itu menyebutkan nama lengkap Yeonjun yang terdaftar, dan janji temu yang harus dilakukan dengan seorang psikiater bernama 'Kim Namjoon', nama yang hampir tiap pekan Yeonjun dengar.
Konfirmasi itu berlangsung selama beberapa menit, tidak memakan waktu yang terlalu lama.
"Anda bisa langsung menuju ke ruangan terapi di lorong kanan." ujar wanita itu seraya lengan nya dengan sopan mengisyaratkan arah yang harus dilalui nya.
"Baik, terima kasih." melangkahkan kedua kaki nya menuju ruangan yang sudah Yeonjun hafal sejak saat ia pergi ke tempat itu untuk pertama kali nya. Lengan nya menggenggam gagang pintu kemudian memutar nya. Membuka nya perlahan, menampilkan sesosok pria dengan proporsi tubuh jangkung mengenakan jas putih dan kacamata berbentuk kotak.
"Masuklah." intonasi suara yang pelan namun terdengar jelas. Halus. Itu kata yang lebih tepat. pria yang di sebut dengan nama Kim Namjoon itu mengembangkan senyuman.
Mendengar diri nya dipersilahkan, Yeonjun melangkahkan kaki nya masuk tanpa ragu ke dalam ruangan. Terdapat dua buah sofa berwarna abu abu beserta meja di ruangan itu, dengan aksen ruangan yang diberi warna biru muda.
"Silahkan duduk, Yeonjun. Buat diri anda senyaman mungkin berada di sini." pria itu memanggil nama nya. Yeonjun segera mendudukan diri di atas sofa empuk yang disediakan, mencoba sebisa mungkin untuk membuat diri nya sendiri merasa nyaman, meskipun kenyataan nya ia sangat ingin pergi dari tempat itu secepat nya.
"Kita bertemu lagi ya?" senyuman belum lepas dari wajah tampan nya, memperlihatkan lesung pipi yang muncul ke permukaan pipi tirus itu.
"Ya, hai lagi, dok," ujar Yeonjun, raut wajah nya tak memberikan ekspresi apa pun, bahkan cenderung dingin.
"Sudah saya bilang untuk memanggil saya kakak saja, kita sudah sering melihat wajah satu sama lain, bukan?" Namjoon nampak nya mencoba untuk membuat Yeonjun merasa nyaman berbincang dengan nya.
"Tidak perlu, itu terdengar sedikit aneh. Di tambah lagi dokter bukan kakak saya, akan canggung jika saya memanggil dokter seperti itu," ucapan itu di balas anggukan paham oleh pria berkacamata di hadapan nya.
"Baiklah jika begitu mau anda. Kalau begitu, bisakah anda menceritakan hal janggal yang anda alami belakangan ini?"
[2] Lost Albatross : [Selesai]
tbc — ©aonorae
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me Before I Lost || YeonGyu
FanfictionThe moon dances with me in ways the sun will never know. Yeonjun - Switch Beomgyu - Switch [BXB/MXM] [R T-M] [YeonGyu Area] [IND] ©aonorae