“Suwe ora jamu...
jamu godhong telo,
suwe ora ketemu,
ketemu pisan gawe gelo...”
Cia tersenyum geli sendiri saat mendengar suara Mas Rudi yang sedang mencuci mobil Bapak di luar sambil bersenandung.
Senandung itu mengingatkan Cia pada godaan-godaan sepupunya beberapa hari yang lalu, saat ia hendak menikah.
“Suwe ora jamu,
jamu godhong telo,
suwe ora ketemu....
ketemu pisan langsung tresno...” ledek Anggi sambil bersenandung, membuat wajah Cia langsung merona seketika. Malam itu adalah malam tepat sebelum akad keesokan paginya. Keluarga besar Cia sudah berkumpul pada hari itu, meskipun ada sebagian kecil yang belum turut hadir juga. Para sepupu yang dekat dengan Cia kemudian berkumpul untuk sekadar menggoda sang calon pengantin itu.
“Hah? Artinya apa sih? Tolong translate dong, aduh Anggiiiii aku roaming deh.” Seru Icha, sepupu dari Makassar dengan wajah polos.
Anggi hanya terkekeh tanpa bermaksud menjelaskan. Icha menyenggol-nyenggol lengan Tyas meminta penjelasan.
“Artinya... lama nggak minum jamu, jamu daun ketela, lama nggak ketemu, sekali ketemu langsung cinta.” Jelas Tyas berbaik hati, yang kemudian mendapat sorakan dari Anggi, Dinda, Dilla, Tari, juga Icha yang terlambat berhuuuu ria membuat wajah Cia makin menunduk malu
“Eeeh, ayo dong cerita gimana sih ceritanya, Cia bisa nikah gini? Perasaan nggak pacaran kan, ya? Iya kan, Cia?” ujar Icha masih heboh. Masih belum ada yang mau menjawab pertanyaan Icha yang serupa di grup whatsapp keluarga saat kabar Cia akan menikah. Mereka sepakat hanya akan menjawab pertanyaan Icha jika ia turut hadir dalam pernikahan Cia.
Anggi, Dinda, Dilla, Tyas, dan Tari saling melirik.
“Wah kalau itu sih mari kita serahkan ke pengantinnya...” ujar Dilla usil.
Cia cengar-cengir, sebenarnya ia amat malu, juga deg-degan mengingat besok adalah hari yang bersejarah baginya. Tapi keseruan sepupu-sepupunya sempat menghiburnya, oh meskipun mereka masih membahas itu-itu saja, tentang ‘jodoh Cia’
“Ci... ayo dong... kamu tega amat. Aku udah jauh-jauh dari Makassar ke sini lho...”
“Aaaa kalian ngerjain aku nih. Kalian kan udah tau ceritanya. Masa aku harus ulang... maluuuuuuu,” jawab Cia sambil menutup wajahnya.
“Iiih... kan biar lebih afdhol Cia sayang, lagian kita masih seneng kok denger cerita kamu, iya, nggak?” sahut Tari meminta persetujuan dari sepupu-sepupu yang lain.
“Iya Ci, biarlah bisa dijadiin bahan novel si Anggi tuh,” balas Dinda sambil menjulurkan lidah pada Anggi yang kini mulai suka menulis novel itu.
“Jadi ceritanyaaa....” sambung Tyas melirik Cia.
Cia balik melirik Tyas, tapi ternyata kini semua mata tertuju padanya, termasuk mata Icha yang terlihat begitu penasaran.
Cia kemudian mulai bertutur diselingi wajahnya yang tiba-tiba merona saat yang lain mulai menggodanya di beberapa bagian cerita. Cia dan Abi adalah teman SMP, saling mengenal hanya tak akrab, sebab mereka tak pernah sekelas. Bertahun berpisah, hingga SMA, Kuliah, bahkan memasuki dunia kerja mereka tak pernah bertemu lagi. Cia bahkan sempat lupa bahwa punya teman seangkatan bernama lengkap Habibi Latif Abbasy itu. Hingga kemudian Cia bekerja di sebuah perusahaan garmen di bidang retail busana muslim itu ia bertemu dengan Mbak Hilda, yang ternyata adalah Kakak Abi. Awalnya tak ada pembicaraan serius mengenai perjodohan. Tentu saja Hilda tahu bahwa Cia dan Abi pernah satu SMP dalam suatu pembicaraan. Hingga kemudian tercetuslah ide Hilda untuk mendekatkan Abi dengan Cia. Apalagi keduanya memang sudah berniat menikah tanpa pacaran. Hilda kemudian menjadi perantara keduanya bertaaruf. Hingga saat keduanya saling setuju, mereka sama sekali belum pernah bertemu, hanya melalui email dan bbm, sebab Abi masih bertugas di Surabaya kala itu. Hingga saat Abi kemudian datang ke rumah Cia untuk menyampaikan maksud pada Ayahnya lah Cia kemudian bertemu Abi dewasa, setelah sepuluh tahun lebih wajah Abi menghilang dari ingatan Cia. Hanya berselang satu minggu setelah Abi datang ke rumah, khitbah dilaksanakan dan pernikahan 2 bulan kemudian.