Part 1

34 8 2
                                    

Bandara Sultan Mahmud Badarudin II, 2020.

Aku bediri di hadapan sebuah tembok kaca dengan segala rasa. Aku rapuh seperti daun-daun kering yang jatuh tertiup angin. Melihat manusia-manusia di sekelilingku seperti mengantarkanku pada dimensi waktu untuk bertemu dengan lelaki bernama Dika, lagi.
Aku datang, untuk menyaksikan beberapa pertemuan dan pahitnya perpisahan, untuk menghentikan panggilan rindu yang terus-menerus mengganggu dan untuk menikmati kenangan masalalu yang sudah terkubur seiring berjalannya waktu. Dinginnya senja yang hampir sirna, membuatku makin terlena dan ingin berlama-lama.

Satu lagi, ia datang meremukkan kepingan-kepingan harapanku yang masih tercecer di tempat ini. Aku mengeratkan mantel tebal di tubuhku dan melipat kedua tangan. Tiga orang perempuan berpakaian rapi dengan kopernya berjalan setelah rombongan penumpang keluar. Cantik dan penuh wibawa. Andai saja takdir mengizinkanku untuk menjadi sama seperti mereka dan tidak mengambil Dika dari pelukanku, pasti aku sudah menjadi wanita paling bahagia sekarang.

Aku terhanyut oleh waktu, setelah malam menciptakan sepi barulah aku tersadar. Aku sudah mengunjungi kenangan begitu lama. Aku harus pulang keperaduan yang nyata. Aku berjalan ke barisan mobil yang terparkir ditengah remang malam. Sudah berdiri di hadapanku seorang lelaki sekuat baja,
"Apa sudah selesai?"
Aku menghampirinya dan menghambur pelukan hangat beserta air mata yang mengakui betapa tidak tahu diuntungnya diriku.
"Maafkan aku ... ." Kalimat itu saja yang keluar dari mulutku untuknya yang bersedia menungguku menyapa kenangan begitu lama.

***

Surakarta, 2014.

Semilir angin datang berhembus melewati celah fentilasi rumahku. Hawa panas dari luar ikut masuk bersamaan dengannya. Aku berbaring di rajang sambil memandang langit-langit ruangan, sementara memoriku mengulang kembali pertemuanku dengan lelaki bernama Dika. Dia anak 12 IPA yang dengan berani menemui dan mengajakku nge-date malam ini. Bukan kali pertamanya, ia sudah enam kali mengajakku jalan, tapi aku menolak.
Dika biasa saja, tidak ada yang begitu menarik darinya, itu bagiku. Tetapi bagi kebanyakan anak perempuan di sekolah, Dika adalah idola. Selain ganteng, dia juga pintar. Rieke sahabatku, juga ikut menjodohkanku dengan Dika. Menurut Rieke, perawakan Dika yang tinggi, putih dan gagah cocok untukku yang cantik, imut dan baik. Aku tidak sedang memuji diriku sendiri, tapi itu persis seperti yang Rieke bilang saat ingin meminta bantuan kepadaku.

"Udah kamu terima aja dulu ajakan nge-datenya. Toh nge-date juga bukan berarti jadian, kan?" Rieke membujukku.

"Iya iya, nanti malam dia bakal ke rumah. Aku sih nggak yakin ayah bakal kasih izin. Sore ini ayah pulang." Aku menjawab santai.

"Ah mampus ... mana berani Dika sama ayahmu. Ayahmu juga nggak mungkin kasih izin," jawab Rieke kecewa.

Ayahku adalah seorang perwira dengan dua melati emas di bahunya. Letkol Edi Pramuja ialah ayahku yang dua tahun lagi akan pensiun dari dunia militer. Teman lelakiku banyak yang enggan datang ke rumah setelah kuberi alamat lengkap. Selain ngeri dengan lingkungan perumahan militer, mereka juga ciut ketika melihat perawakan ayahku yang mantap. Belum apa-apa mereka sudah menganggap ayahku galak.

Dewi Ratnasari, seorang guru PNS di sebuah sekolah negeri kota Solo. Dia adalah ibuku yang paling aku cintai, sangat lembut dan penyayang. Ia menyukai kesederhanaan dan dunia sastra. Iya kini sedang aktif di dunia kepenulisan, sudah melahirkan beberapa buku dengan genre yang berbeda-beda. Ibu akan pensiun di tahun yang sama dengan ayah. Kemungkinan ia akan melanjutkan karier di dunia kepenulisan setelah ini.

Aku adalah bungsu dari tiga bersaudara. Mewarisi tubuh dan ayah dan wajah ibu, kami sering disebut "trio Suraki (Surakarta-Turki)". Semua mirip dengan hidung mancung, sorot mata tajam dan garis wajah yang sama. Perbedaan di alis, rambut serta bibir.

Pertama bernama Arini Presmawari, seorang bidan bersuamikan seorang dokter. Ia sudah memiliki dua orang anak yang lucu dan menyebalkan, tapi aku sayang. Mbak Arini sudah memiliki rumah sendiri di Boyolali.

Kedua bernama Ginta Syawalika. Mbak Gin, begitu aku memanggilnya. Ia menikah dengan seorang prajurit dua tahun yang lalu setelah mendapat gelar sarjana hukum. Motivasinya menikah dengan Mas Suryo -suaminya- karena ayah dan ibu. "Menikah dengan prajurit negara itu anugerah," katanya. Ia tinggal di rumah milik ayah dan ibu di Palembang. Ia tak sanggup tinggal dengan mertua, sedang suami tengah menjalankan tugas di Lebanon sejak usai resepsi pernikahan. Rencananya Mbak Gin akan pindah ke Kalimantan bulan depan, sehubung dengan pindah tugas suaminya.

Terakhir adalah aku, Sandrina Puandini. Siswi kelas sebelas di salah satu sekolah negeri kota Solo. Aku masih belum memutuskan ingin menjadi apa atau siapa. Yang pasti tidak seperti Mbak Arini ataupun Mbak Gin. Ya walaupun ibu selalu mendesakku untuk segera memikirkan masa depan, aku masih enggan. Mbak Gin menilai perawakanku yang tinggi cocok untuk menjadi polwan, sedang Mbak Arin menyuruhku jadi pengusaha dan model, tidak lain karena aku juga cantik, hehe percaya diriku memanglah di atas rata-rata.

Keluargaku asli Sumatera Selatan tepatnya Palembang. Sejak ayah pindah tugas atas tuntutan jabatannya, akhirnya kami pindah dan menetap di Surakarta sejak sepuluh tahun lalu. Tepatnya saat aku berusia 6 tahun. Ayah punya rencana untuk kembali ke Sumatera setelah ia pensiun dari pekerjaannya, tak lama setelah aku lulus SMA.

"Nana nanti ikut ke Palembang saja, menemani masa pensiun Ayah dan Ibu, kuliah di sana, ya," pinta Ayah.

"Nanti Ayah kenalkan dengan Artha, anak dari sahabat lama Ayah di Palembang. Setidaknya dia akan jadi temanmu di sana. Kalaupun mau lebih dari sekedar berteman Ayah akan senang sekali. Dulu kami punya rencana menjodohkan kalian." Ayah memandangku dengan mantap.

"Nana belum punya pacar, kan?" tanya Ayah kemudian.

"Ayah apaan sih, dulu aja Mbak Arin sama Mbak Gin ngga dibolehin pacaran pas sekolah. Ini Nana malah disuruh genit-genit," gerutuku manja.

"Ayah khawatir, takut tidak bisa melaksanakan ijab kobul dengan suamimu mengingat umur Ayah. Maka dari itu Ayah ingin memberikan yang terbaik buatmu."

"Ayah, please ... ." Aku memeluk Ayah dengan erat.

"Nana ... ." Ibu memanggilku dengan lembut.

"Dalem ...," jawabku.

"Sepertinya ada temenmu di depan. Coba kamu lihat dulu, Sayang."

"Oh iya, Bu." Aku beranjak dari sisi ayah dan ke depan pintu, sementara batinku sudah tidak karuan. Pasti Dika yang datang menagih janji malam ini.

Aku membuka pintu dan langsung gemetar ketika melihat Dika dengan berani berdiri di depan pintu rumahku.

"Aku ndak di suruh masuk tah?" tanya Dika setelah beberapa waktu menunggu reaksiku yang hanya terdiam.

"Oh iya silakan masuk," jawabku dengan terpaksa.

Hello Captain! How Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang