"Ah sial, dia berani sekali," batinku sambil membuntutinya.
“Assalamualaikum ... .” Dika sembari berjalan masuk dengan percaya dirinya.
“Waalaikumussalam,” jawab ayah dengan wajah datar. Tak lama setelahnya menyerngitkan kening, Dika meraih kemudian mencium punggung tangan ayah.
Aku tak sanggup melihat wajah ayah kemudian beralih ke dapur untuk menyiapkan minum. Belum sampai ke dapur ibu sudah menghadangku dengan pertanyaan,
“Siapa? Pacarmu?” tanya Ibu.
“Ehh ... engga bukan, kok,” jawabku yang sudah sangat malu dan ingin segera menghilang.
“Terus?” Ibu menunduk dan memandangku yang tertunduk malu dari bawah.
“Dia teman sekolah Nana, Bu.”
“Emm ... yowis sana buatkan minum.” Ibu memberikan senyum olokan padaku.
Setelah agak lama aku dengan gemetar keluar dari dapur dan menuju ruang tamu.
“Silakan.” Aku meletakkan dua gelas air dan sepiring cemilan dihadapan Ayah dan Dika. Kemudian hendak beranjak melarikan diri.
“Jadi benar Dika ini kakak kelasmu? Dan kamu punya janji makan malam dengannya malam ini?” tanya Ayah padaku.
“Ehh- tapi kalau ndak di izinkan juga ndak apa kok, Yah,” jawabku takut.
“Apa ndak bisa makan di rumah masing-masing toh?” tanya ayah.
Seketika Dika terlihat kikuk. "Apa Om masih keberatan mengizinkan Sandrina pergi?" Dika membalas dengan pertanyaan.
Ayah menatap Dika dengan tajam, ia mengamati pergerakan Dika dari ujung ramput hingga ujung kaki.
"Kamu beruntung, sebab saya juga pernah muda.""Jadi maksudnya ini gimana, Om?"
"Alah gitu aja ngga ngerti. Saya tau kamu naksir anak saya dan mau mendekatinya, kan?"
"Iya, Om. Sekalian kalau diizinkan saya mau melamar jadi pacarnya," jawab Dika dengan cepat.
"Yo wis, berangkat sana," jawab ayah.
“Dan kamu, ingat yang tadi kita sepakati. Tepati janji.” Pandangan Ayah mengarah ke aku dan Dika bergantian, kemudian ia meninggalkan kami.
Setelah beberapa gerakan kaku dariku dan Dika terhadap Ayah dan Ibu akhirnya kami pergi meninggalkan rumah.
***
Dika mengajakku makan di sebuah kafe sederhana, sepertinya di desain khusus untuk anak muda seperti kami. Tamu yang datangpun rata-rata usia pelajar dan mahasiswa.
Aku hanya beberapa kali beradu tatap dengan Dika kemudian senyam-senyum yang basi. Dika beberapa kali memancingku bicara dengan pembicaraan humor yang receh. Aku tau obrolan ini lucu, tapi untuk pertemuan pertama masih sangat canggung, alhasil aku lebih banyak diam.
“Kamu grogi toh?” tanya Dika menghentikan seruputan keduaku.
Aku menatap wajahnya tanpa bicara.“Yo wis lanjutin dulu makannya.” Aku tidak ada niat membalas kalimatnya dan melanjutkan makan.
Sedikit kaku namun menyenangkan, kesan pertama untuk seorang Dika. Dia selalu bisa mencairkan suasana dan membuatku rileks. Sejauh ini aku nyaman bersamanya. Tidak terlalu jauh sih, masih di Surakarta. Tongkrongan yang lumayan dekat, sekitar 20 menit dari rumahku.
Selesai makan, Dika sesekali melihat jam di tangannya dan sedikit gelisah,
“Kenapa?” tanyaku.
“Sebentar lagi aku harus mengembalikanmu ke ayahmu. Perjanjiannya jam 9 sudah pulang ke rumah. Tapi aku masih betah, piye yo.”
“Ya udah pulang yok. Ayahku sangat tidak menyukai orang yang ingkar janji.” Aku beranjak, itu memaksa Dika untuk beranjak pula dari tempat duduknya.
Setelah membayar makanan, Dika kembali dengan membawa dua bungkus makanan,
“Ini bisa buat rayu ayahmu ndak?” Dika nyengir memamerkan giginya yang putih dan rapat.
"Kalo cuma segitu ya kurang ampuh rayuanmu, Mas." Aku tertawa kecil.
Setelah meletakkan makanan di motor, Dika memasangkan helmnya untukku. Ia menatapku begitu dalam hingga waktu terasa membeku bersamaku dan Dika yang beradu pandang. Semua diam dan membisu, hingga detak jantungku dan Dika yang tengah beradu dan terdengar begitu kuat. Ah... perasaan apa ini?
Sepanjang perjalanan Dika selalu memujiku. Aku tetap pada kodratku sebagai perempuan yang menyukai pujian. Dika membuatku melayang malam ini. Jujur saja, ini kali pertamanya aku berani keluar berdua dengan lelaki atas izin ayah dan ibu. Dika juga orang pertama yang tidak menyerah dengan penolakan-penolakan dariku. Tapi aku tidak begitu menaruh prasangka bahwa Dika akan menjadi cinta pertamaku, sebab aku sendiri masih enggan membuka hati untuk siapapun.
Motor berhenti tepat di depan rumahku. Dika langsung mengecek jam tangannya.
“Masih ada sepuluh menit. Nanti deh jangan masuk dulu, biar lima menit aja aku balikin kamu, jadi ngobrol sama ayahmu cuma tiga menitan aja.” Dika dengan senyumnya.
“Udah ayo, ayah juga ndak akan betah lama-lama bicara sama kamu,” ajakku.
Sebelum aku mengetuk pintu, ayah sudah membukanya. Benar saja dugaanku, ayah pasti sudah menungguku dan mengintip lewat jendela. Sama persis saat Mbak Gin dan Mas Suryo pacaran dulu.
“Ini Dika bawakan makanan kesukaan Om.”
“Darimana kamu tahu saya suka ini?” tanya ayah.
“Nana yang bilang, Om,” jawab Dika.
“Oh jadi selama di luar kalian ngomongin saya?”
“Eh- ndak, Om.”
“Terus?”
Dika terdiam, kemudian setelah beberapa gerakan dan beberapa tarikan napas akhirnya, “Dika pamit pulang ya, Om. Sudah malam.”
“Oh bagus, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Silakan.”
Dika pulang, entahlah bagaimana perasaanya setelah dipermainkan oleh ayah. Ayah tertawa kecil saat Dika sudah jauh dari pandangannya. Ayah memang selalu seperti itu. Ia suka mempermainkan pacar anaknya, ya walaupun Dika sebenarnya sama sekali bukan pacarku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Captain! How Are You?
RomancePertemuan dan perpisahan tidak akan pernah hilang sepanjang berjalannya waktu. Bandara Adi Soemarmo dan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II ialah ruang rindu yang dibangun oleh banyaknya pertemuan dan perpisahan, juga kisah beserta impian kita yang...