Setelah perjalanan pertama dengan Dika, aku jadi terbiasa dengan kehadiraannya. Sebab setelah itu ia selalu datang, membantu pekerjaan dan menghiburku. Walaupun sebenarnya tidak mudah bagiku untuk menerima kedatangan Dika, tapi seiring berjalannya waktu rasa nyaman mulai merayuku untuk memberi hati pada Dika.
Ayah dan ibu sudah lumayan dekat dengan Dika. Ia sering mengantarku pulang sekolah dan beberapa kali pernah menjemputku juga untuk pergi bersama.
Hari terus berlalu, perasaan terus bertumbuh. Aku dan Dika, dua sejoli yang sederhana menjelma sebagai udara bagi setiap kami. Dika selalu ingin mengajakku terbang. Membuaiku dengan impian dan harapan yang besar.
Aku, gadis yang hanya menjalani hidup dengan seadanya saja, kini bersama Dika aku jadi berani berekspetasi tinggi. Membuat mimpi mimpi yang gila dan menaruh harap-harap yang tinggi.
"Sandrina, aku tidak ingin mendahului takdir. Tapi, aku sangat yakin kalau kamu adalah jodohku," ucap Dika dengan serius.
"Kenapa bisa seyakin itu?"
"Aku tau Tuhan tidak akan mengecewakan manusia baik sepertiku." Ia tersenyum manis.
"Itu dari sisimu dan Tuhan saja, bagaimana jika aku tidak mau berjodoh denganmu?" tanyaku menggodanya.
"Apa? Ndak kedengeran." Ia menaikkan kaca helm dan mengurangi kecepatan motornya.
"Bagaimana jika aku tidak mau berjodoh denganmu ... ," teriakku.
"Apa ...?" Ia balas dengan teriakan pula.
"Aku ndak mau jodoh sama kamu, Dika ... ." Aku berteriak kencang melawan angin di jalan yang sepi.
Tiba-tiba motor berhenti, "Ayo bilang lagi," pintanya membuatku bingung.
"Ndakmau," jawabku.
"Bener kan berarti, Tuhan itu mau kita berjodoh. Makanya bikin aku gabisa denger omonganmu hehe."
Motor kembali melaju, aku hanya tersenyum tipis. Lagi-lagi ia membuatku terbang, sampai aku terlupa sebentar lagi kelulusan Dika akan tiba dan itu artinya ia akan meninggalkanku, ia akan terbang sendiri menuju impiannya. Sedang aku masih belum memiliki mimpi apapun selain hidup bersama dengannya, itupun belum pernah kuakui padanya.
Dika mengajakku ke suatu tempat sore ini. Aku tahu, mungkin ia akan menyampaikan pesan-pesan sebelum perpisahan. Aku ingin jujur, aku tidak menyukai ini.
“Kita mau ke mana, Dik?” tanyaku.
“Bandara,” jawabnya.
“Hah?” Aku mendekatkan kepalaku ke mulutnya, suara-suara di jalan sangat berisik, ditambah dengan helm jadi makin tidak meyakinkan apa yang aku dengar, benarkah bandara, tapi kenapa? Apakah Dika akan langsung segera pergi ke tempat yang jauh dan meninggalkanku? Ah... Dika memang kejam.
“Ke mana, Dik?” tanyaku sekali lagi.
“Bandara, Na,” jawabnya lagi.
“Kamu mau pergi kah? Secepat ini, Dik?”
“Sudah, kamu diem aja. Jangan banyak bicara.”
Bandara Adi Soemarmo, Solo. Motor berhenti dari kejauhan, Dika menatapku tanpa bicara.
“Apa, Dik? Ayo katakan!” Aku sudah menyiapkan mentalku menerima perpisahan dengannya.
“Besok kelulusan.”
“Iya aku tau,” jawabku cepat.
“Ayo ikut aku.” Dika mengenggam tanganku dan mengajakku masuk ke dalam bandara. Perasaanku sungguh campur aduk saat ini.
Ia mengajakku duduk di kursi besi yang menghadap ke luar.
"Aku suka tempat ini," ucapnya tanpa menatapku.
"Aku tidak suka!" Aku mempertegas kalimatku agar ia tahu aku tidak menginginkan perpisahan, bahkan kitapun belum memulai apapun untuk berpisah.
“Kamu ingin jadi apa?” tanya Dika setelah terdiam beberapa saat.
“Istrimu,” jawabku singkat sembari menoleh ke arahnya yang masih tidak memandangku.
“Aku serius, Na. Sebentar lagi kita akan meninggalkan SMA. Kita akan menghadapi kehidupan yang sebenarnya.” Ia balas menatapku.
“Aku ndak tau, Dik.”
“Apa kamu suka tempat ini?” Dika kembali menatap ke depan, aku juga menatap pesawat terparkir di hadapan kami.
“Tidak. Ini tempat perpisahan semua orang, menyedihkan,” jawabku.
“Tidak semuanya. Ada juga yang datang untuk sebuah pertemuan. Aku suka ke sini sebelumnya, tapi biasanya hanya lihat dari luar. Aku suka lihat pesawat take off ataupun landing. Membahagiakan buatku.”
“Kenapa?”
“Pilot. Aku ingin jadi pilot, Na. Aku ingin mengajakmu terbang.” Dika tersenyum manja.
“Aku juga ingin menghadirkan pertemuan dan ingin menyaksikan setiap perpisahan,” sambungnya.
“Kalau begitu biarkan aku jadi pramugari,” balasku dengan cepat.
Aku berdiri, merapikan rambutku yang panjang. Lalu berlenggak lenggok seperti pramugari di hadapan Dika.
“Cocok, kan? Aku tinggi, cantik, dan menarik, kan?”
“Iya cocok, tapi kamu serius mau jadi pramugari?” tanya Dika.
“Iya dong, jadi pramugari ndak begitu buruk.” Aku kembali duduk di sampingnya.
“Aku akan menunggumu. Tahun depan kita sekolah penerbangan bareng, ya. Aku akan usahakan biaya sekolahku dulu tahun ini.”
“Kamu tunggu aku ya, Dik. Janji?” Aku menyodorkan jari kelingkingku di hadapan Dika, ia membalasnya.
“Janji. Aku sayang kamu, Na.” Aku membalasnya dengan senyuman manis.
Senja di bandara, menyaksikan banyak pertemuan dan perpisahan, membuat janji dan memulai mimpi, bersama.
***
Setelah mengantar pulang, Dika pamit dan meninggalkan rumahku. Aku segera mandi dan membantu ibu menyiapkan makan malam. Setelah itu menunggu ayah pulang untuk makan bersama.
Tak lama menunggu, ayah pulang dengan wajah lesu. Sepertinya ada sesuatu terjadi. Ibu mengajaknya segera makan.
“Yah, Nana sudah tau mau jadi apa sekarang.” Aku dengan semangat.
“Emangnya mau jadi apa?” Ayah menjawab dengan semangat.
“Pramugari.” Sontak ibu tersedak dan ayah kehilangan senyumnya. Aku yang menyaksikan juga mengakhiri senyum semangatku.
“Ada apa, Yah?” tanyaku.
“Kenapa harus pramugari? Apa yang kamu lihat? Jadi pramugari bukan hal yang baik, Na.” Aku terdiam, aku tidak mungkin menjawab ‘sebab ingin terus bersama Dika’.
“Nana suka, Yah.” Aku menjawab singkat.
“Pikirkan lagi, Na. Pramugari terlalu beresiko. Ayah juga ingin kamu jadi guru saja seperti ibumu. Menabung amal dan pekerjaan mulia.”
Aku tidak membalasnya dengan apapun. Masih ada satu tahun untuk aku memikirkan ini lagi. Aku tidak boleh tergesa-gesa, apalagi ini hanya karena Dika. Aku juga harus menyembunyikan respon orang tuaku ini dari Dika. Aku tidak mungkin mengingkari janji secepat ini juga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Captain! How Are You?
RomancePertemuan dan perpisahan tidak akan pernah hilang sepanjang berjalannya waktu. Bandara Adi Soemarmo dan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II ialah ruang rindu yang dibangun oleh banyaknya pertemuan dan perpisahan, juga kisah beserta impian kita yang...