00. Prologue - Surat Terbuka

152 56 34
                                    

DILARANG PLAGIAT/PLAGIARISME CERITA INI!
Jika suatu saat saya menemukan, bukan salah saya untuk mengambil tindakan hukum, dan lain sebagainya.
***

“Jika mulut ini terlalu kelu untuk mengatakan isi hati, maka biarkanlah tangan mewakilinya. Dan jika tak ada telinga yang bersuka rela mendengarkan, masih ada diary yang menyaksikan jerit tulis tanganmu. Biarkanlah lembaran menemani setiap keluh dan tangisan, karena dunia terlalu sibuk dengan urusannya, hingga melupakan manusia kesepian yang selalu ditepikan.”

• Faradita Azzahra : 01


Di dalam kesepian, aku terduduk dalam ruang hampa yang tak tersentuh oleh cahaya, sembari memeluk dan menutupi luka akibat perbedaan yang kentara. Aku sudah sejak dulu sendirian, bahkan ada atau tanpa Eyang Sukma, diriku masih saja sendirian, menutupi sedih, dan luka yang sudah tercipta sejak kecil.

Luka yang tidak seharusnya dibebankan pada anak usia lima tahun. Namun mengapa itu bisa terjadi?

Aku perkenalkan diri ini, namaku Faradita Azzahra, gadis kelahiran 1999, asal kota Bandung. Diriku lahir tidak sendirian, karena aku memiliki saudari kembar yang bernama Firadita Azzuhra, namanya cantik, fisiknya pun jauh lebih cantik dan manis dibandingkan aku. Tak ada yang berbeda, hanya saja Tuhan lebih mempercayakan Fira untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari fisiknya, terutama kesehatan dan paras cantiknya. Sedangkan aku jauh dari kata itu, meski begitu ... Tuhan jauh lebih mempercayakan aku dengan penyakit yang diriku emban. Mungkin Tuhan sayang, tapi caranya yang berbeda, sama seperti Mama dan Baba yang memberikan dua alur cerita berbeda pada di antara kita.

Fira yang selalu dianggap, sedangkan aku tidak.

Fira yang selalu disayang, sedangkan aku dibuang.

Fira yang selalu dibanggakan, sedangkan aku dinistakan.

Mungkin itu cara Mama dan Baba menyempurnakan kasih sayangnya, aku yang harus didewasakan, dan Fira yang dimanjakan. Karena mereka tahu, aku jauh lebih kuat menerima sebagai anak pertama yang lahir ke dunia, sedangkan Fira anak kedua yang lahir sejam selang setelahku.

Jika kalian bertanya tentang keberadaanku saat ini, aku akan menjawab dengan lugas bahwa aku tinggal bersama Eyang Sukma. Dia adalah seseorang yang pernah merawat Babaku sewaktu kecil, karena dirinya tak memiliki anak dan sanak saudara lagi, bahkan setelah Baba besar, dia adalah orang yang bersuka cita atas hadirnya kami ke dunia. Dia adalah sosok nenek bagiku, dibandingkan nenekku yang kandung. Baiknya dia tak dapat diriku balas satu per satu, tetapi diriku sangat bersyukur menjadi salah satu anak balita yang dirawat olehnya hingga sampai saat ini.

Usiaku sudah mau menginjak 17 tahun, 2016.

Sebentar lagi aku akan memasuki fase yang semakin dewasa lagi, pintaku hanya satu, Eyang harus berada di sisiku, aku ingin membalasnya meski itu tidak akan membayar semua yang dia berikan padaku.

Em ... Mungkin dari kalian berpikir bagaimana dengan kedua orang tuaku? Apa yang mereka lakukan untukku?

Sejujurnya aku bingung ingin menjelaskannya seperti apa, tapi sederhananya hak asuhku sudah berada di Eyang Sukma sejak usiaku lima tahun, karena ... Aku tidak tahu alasan spesifiknya, mungkin malu memiliki anak sepertiku atau positif thinkingnya mereka tak dapat membiayai, tapi mustahil sih untuk berpikiran sepositif itu, sebab orang tuaku dari keluarga yang sangat mampu. Jadi aku tidak tahu apa alasannya, mungkin itu yang terbaik bagi mereka.

Lantas siapa yang membiayaiku?
Aku dibiayai oleh Eyang Sukma, beliau dari orang yang sangat mampu juga, jadi uang miliknya disisihkan untuk membiayai sekolahku, dan semua biaya sekolah sudah dia lunaskan hingga diriku lulus, bersyukur aku memilikinya.

Dan ini mungkin akan jadi pertanyaan yang paling kalian nanti, bagaimana hubunganku dengan Fira. Lalu apakah diriku pernah menanyakan hal seputar mengapa diriku dibedakan?

Pasti kalian penasaran dengan itu.
Aku dengan Fira memiliki hubungan yang cukup baik. Kami berdua satu sekolahan, meski berbeda kelas, selain itu Fira masih bisa berhubungan denganku melalui telepon atau bermain setiap hari Minggu. Kadang dia bersuka rela menginap demi bertemu denganku, tetapi sering kalinya dia dilarang menemuiku bahkan tak boleh menginap, tetapi semua itu bisa diusahakan kok melalui perantara kami yaitu Eyang Sukma, dia adalah pahlawan yang luar biasa untukku dan Fira.

Baiklah, sekarang kita membahas masalah diriku kembali. Pertanyaan kalian ini, sejujurnya sudah pernah diriku tanyakan pada Eyang Sukma. Dulu sewaktu diriku masih kecil, aku sering bertanya, “Eyang mengapa aku tinggal di sini, mengapa tidak dengan Baba, Mama, dan Fira?”

Namun, Eyang Sukma selalu menjawab dengan jawaban yang sama, “Kamu itu spesial, makanya Eyang yang jaga.” Tak luput di akhir kalimatnya dia tersenyum dan selalu mengelus rambutku yang terurai.

Sejak saat itu, aku tidak mau bertanya lagi. Karena pertanyaan yang diriku lontarkan, selalu dijawab dengan jawaban yang sama. Maka dari itu, aku berhenti bertanya dan tak mau mencetakkan luka kesedihan pada orang yang paling diriku sayang. Tak apa aku dibedakan, ini cara Tuhan memberikan alur yang berbeda melalui insannya, dan ini juga cara mendewasakan anak yang seperti diriku.

Aku tidak apa-apa, ini sudah cukup. Asal Eyang Sukma berada denganku, selalu.

Diary Terakhirku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang