03. Lembaran Ke-3

38 27 2
                                    

DILARANG PLAGIAT/PLAGIARISME CERITA INI!
Jika suatu saat saya menemukan, bukan salah saya untuk mengambil tindakan hukum, dan lain sebagainya.
***

"Dalam bait-bait penghaturan, diriku persembahkan dialog dengan monolog, di dalamnya ku untaikan sajak-sajak manja yang meluluh lantakkan setiap insan manusia, dan tanpa disadari, aku sedang menampar sampai menghancurkan dimensi isi hati, diriku."

• Faradita Azzahra : 04


Sabtu, 30 Juli 2016
Rasa khawatirku timbul. Sudah genap seminggu, batuk kering Eyang Sukma belum mereda, dan malah kian semakin parah, sedangkan obat yang dikonsumsinya sudah hampir habis satu botol, jika kemungkinan obat tidak cocok, diriku rasa masih akan ada efek yang berpengaruh padanya bukan?! Seperti ketika batuk, ada sedikit mereda atau menjeda saja, tapi ini malah tak berefek apa-apa. Anehnya, Eyang semakin lemah, dia benar-benar tidak bisa melakukan kegiatan rapat bersama klien atau rekan kerjanya. Dia hanya bisa terbaring lemah, kadang terduduk lesu, bahkan memasak pun tak bisa seaktif sebelumnya.

Bagaimana diriku tidak khawatir.

Aku terlalu takut kehilangannya. Bahkan aku takut akan kemungkinan buruk yang menimpa diriku kelak, maka dari itu ku usahakan begitu keras untuk mengobatinya dengan terus mem-browsing obat batuk ampuh dari aplikasi gugel, di depan layar kaca laptop, diriku baca setiap komposisi, indikasi dan efek samping dari obat. Ketika sudah menemukan obat yang sekiranya cocok, diriku langsung segera menulis nama obat tersebut, lalu mulai bergegas keluar menuju apotek.

Tanpa butuh waktu lama. Diriku bersiap, turun dari lantai dua menuju halaman depan, mencari keberadaan seseorang, dan saat sudah menemukannya. "Pak Budi," panggilku pada Pria paruh baya yang sedang memainkan pion-pion caturnya.

Dia menoleh. "Iya, Non. Ada apa?" tanyanya.

"Anterin aku ke apotek ya, Pak. Aku mau belikan obat buat Eyang Sukma, sekalian beli bubur di perempatan ya," ujarku.

"Siap, Non. Saya siapin dulu mobilnya." Pak Budi langsung bangkit dari duduknya dan mulai menyalakan mesin mobil, tak lupa mulai mengeluarkan mobil dari halaman depan menuju ke jalan depan rumah.

Diriku berjalan keluar, menutup pagar dengan asal, lalu masuk ke dalam mobil bagian depan tuk menemani Pak Budi. Di dalam mobil, Pak Budi bertanya padaku sembari dirinya mulai menyetir, "Eyang semakin parah batuknya ya, Non?"

Aku mengangguk. "Iya, Pak. Obat kemarin kayaknya kurang ampuh atau gimana ya, sampai-sampai sudah hampir mau habis satu botol, tapi nggak ada reaksi apa-apa. Padahal se gak cocoknya obat, setidaknya bisa meredakan sementara dulu ya? Apa aku yang salah ya, Pak?" tanyaku pada Pak Budi.

"Setahu saya juga begitu, Non. Tapi saya juga nggak tahu pastinya sih," jawab Pak Budi pada tanyaku.

"Emm ... Aku sejujurnya khawatir dengan keadaan Eyang, Pak Budi. Aku udah nggak punya siapa-siapa, cuman Eyang yang paling beharga di hidupku," lesuku dengan kepala menunduk dengan sendu.

Pak Budi menepuk pundakku dengan pelan. "Saya masih ada, Non. Eyang juga baik-baik saja, hanya saja beliau perlu istirahat, melihat dari jadwal di usianya saat ini, saya rasa hanya kecapean saja. Ya saya juga begitu soalnya, jadi jangan terlalu khawatir atas apa yang belum pasti." Aku menatap Pak Budi di samping kananku, mengurai senyum tipis yang menandakan persetujuan atas nasihat singkatnya.

Pak Budi tarik kembali uluran tangan kirinya dari pundak kananku. Lalu, dia mulai kembali bersuara. "Kadang, ketika kita memikirkan sesuatu yang mengkhawatirkan, sesuatu itu akan terjadi di waktu kita lengah atas kekhawatiran tersebut. Jadi jangan terlalu larut atas kekhawatiran, sebab apa yang kita pikirkan, maka Allah sesuaikan dengan prasangka hambanya."

"Doakan saja yang terbaik buat kesembuhan Eyang, besok juga sudah membaik kok, Non," lanjut Pak Budi yang menghentikan mobil di salah satu apotek.

Aku mengangguk. "Makasih banyak nasihatnya, Pak Budi."

"Sama-sama, Non Fara." Pak Budi layangkan senyuman tipisnya.

"Aku turun dulu ya, Pak," lanjutku, tanpa persetujuan Pak Budi, diriku langsung turun dan membelikan obat batuk Eyang sesuai catatan.

Di dalam apotek, diriku serahkan catatan kecil pada salah satu karyawan di sana, dengan sigap karyawan tersebut mengambilkan obat yang dimaksud dalam catatan. Lalu karyawan tersebut kembali datang dengan membawa obat yang dimaksud, dia pun menjelaskan padaku bagaimana cara mengonsumsinya.

"Ini obatnya ya, Kak. Diminumnya tiga kali sehari setelah makan, semoga lekas sembuh. Untuk pembayarannya ada di kasir ya, Kak," jelasnya padaku.

"Terima kasih, Kak." Diriku langsung mengambil obat tersebut, lalu berjalan menuju kasir, membayar dan membawa pulang obat yang tadi ku beli.

Aku segera masuk kembali ke mobil, kali ini kita akan membeli bubur yang tak jauh juga dari sini, hanya ada di perempatan jalan saja. Sesampainya di sana, aku membeli dan kembali ke mobil, kami pun bergegas pulang ke rumah, dan saat kami sampai di rumah, diriku segera menyiapkan semuanya untuk Eyang Sukma.

Dimulai dari menyajikan bubur di dalam mangkuk, lalu meletakkannya di nampan yang sama bersama air putih dan obat yang tadi ku beli. Segera ku bawa menuju kamar Eyang yang memang berada di lantai satu, saat pintu perlahan dibuka, kegelapan kamarnya mulai tersentuh oleh cahaya.

Aku membawa nampan itu dengan perlahan, lalu meletakkan nampan di nakas meja kecil samping tempat tidurnya. Perlahan ku sentuh tubuh Eyang yang nampak anyep. "Eyang," panggilku yang membangunkan Eyang.

Matanya perlahan mulai terbuka. "Fara," balik sapanya dengan suara serak.

"Makan dan minum obat dulu ya, Eyang, biar cepat sembuh," tuturku padanya.

Eyang mengangguki ucapanku, dia mulai bangun dengan posisi duduk. Di momen ini, diriku mulai menyuapi bubur dengan perlahan, memasukkan sedikit demi sedikit bubur hangat agar tercerna dengan baik di dalam lambungnya nanti, setelah bubur di mangkuk habis, diriku mulai menyediakan obat batuk yang ada di sebuah pisin bersama dengan air putih. "Diminum ya, Eyang, semoga lekas sembuh. Fara khawatir banget dengan keadaan Eyang."

Eyang mengangguk dan mengelus rambut teruraiku. "Iya." Lalu dia mulai memasukkan obat dan meminum air putih secara bergantian.

Setelah meminumnya, Eyang pun menyuarakan suaranya. "Kamu jangan terlalu khawatir, Fara. Eyang baik-baik saja, besok juga sembuh kok, yang penting sekarang Fara juga jaga kesehatan, jangan sampai nanti malah kayak Eyang," kelakar kecilnya yang membuatku setengah cemberut.

"Eyang ini ...," tutur manjaku yang seakan protes padanya.

"Bener kan?! Nanti kalau kamu sakit, Eyang juga sakit, jadi kamu jangan sakit ya, Fara. Jaga baik-baik kesehatannya, jangan terlalu capek sampe memikirkan banyak hal loh!" peringat Eyang.

"Iya Eyang ... Fara nggak mikir apa-apa kok," jawabku.

"Tadi kamu bilang khawatir, sedangkan kekhawatiran itu datangnya dari pikiran," balas Eyang.

"Iya deh, iya Fara gak akan terlalu khawatir, tapi masih boleh khawatir dikit kan?!" Aku memperagakan dengan memberikan gerakan secuil yang membuat rongga kecil antara jari telunjuk dan jempol.

"Boleh. Tapi sebaiknya tidak usah khawatir," jawab singkat Eyang.

Aku hanya bisa mengangguk nurut. "Iya Eyang. Sekarang Eyang istirahat ya," lanjutku.

Eyang mengangguk, lalu mulai merebahkan kembali tubuhnya di kasur, sedangkan diriku keluar dari kamar, membawa nampan yang berisi peralatan makan kotor. Diriku keluar, menutup kembali pintu dengan rapat, selanjutnya membawa nampan itu ke tempat cuci, dan segera mencuci peralatan makan itu dengan bersih.


Diary Terakhirku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang