07. Lembaran Ke-7

35 22 6
                                    

DILARANG PLAGIAT/PLAGIARISME CERITA INI!
Jika suatu saat saya menemukan, bukan salah saya untuk mengambil tindakan hukum, dan lain sebagainya.
***

“Bumi yang dipijak, langit yang ditatap, aku sembahkan sebuah lantunan gumaman yang menggemakan, memberi sinyal-sinyal yang meluluh lantakkan, perasaan utuh menjadi kepingan.”

• Faradita Azzahra : 08


Diam seribu bahasa, enggan tuk bersuara. Aku di sini masih terdiam menatap pintu ruang pemeriksaan, menanti dokter yang keluar dengan kabar yang menenangkan, tetapi sudah hampir setengah jam, mereka yang di dalam tak kunjung keluar. Hatiku mulai gelisah, menerka apa yang terjadi di dalam, membayangkan betapa berusahanya mereka menjaga kondisi Eyangku, jujur saja hatiku berada di ambang kepasrahan serta ketakutan setengah mati. Memang aku berharap baik-baik saja, tetapi bagaimana jika Tuhan berkata sebaliknya, itu yang ku takutkan, takut jika Tuhan memiliki jawaban berbeda denganku.

Gelisah dan gundah gulana, tapi hanya bisa dipendam dalam ruang pikiran saja. Aku dengan pikirannya sendiri, Fira dengan teleponnya yang memberitahukan Mama dan Baba, sedangkan Pak Budi sibuk mengurus dokumen registrasi Eyang. Kita punya peran masing-masing yang tak bisa digantikan satu sama lainnya, ada porsi yang aku tak bisa melalukannya, contohnya seperti Fira. Membayangkannya saja rasanya tak bisa, apalagi melakukannya.

“Iya Ma. Eyang saat ini sedang di rumah sakit, aku sama Fara dan Pak Budi lagi nunggu hasil pemeriksaan dokter, kalian bisa ke sini nggak?” tanya Fira pada Mama yang terdengar oleh indra pendengaranku.

Lalu entah apa jawaban dari Mama di seberang sana, sehingga Fira pun membalasnya. “Ya udah, Ma. Nanti ke sini ya, segera pokoknya, aku nggak mau Mama sama Baba kelewatan momen ini. Please kali ini aja, aku mohon.”

“Oke Ma, see you.” Fira pun mematikan panggilan dan layar ponselnya. Dia kembali menatap ke arahku, lalu menepuk bahu kanan sekali, aku menoleh menatapnya.

“Mama sama Baba nanti ke sini, Far. Nggak apa-apa, kan?” tanya Fira padaku, tanpa menjawab dengan sebuah kata-kata, aku memberi anggukan kecil.

“Aku tahu ini waktu yang nggak pas banget, tapi ini cara biar kalian ketemu, udah lama banget kalian se asing itu, aku ngerasa kita jadi banyak jaraknya,” ujar Fira yang tiba-tiba.

Aku tersenyum tipis nan hangat. “Nggak apa-apa, Fir. Mereka butuh waktu, karena kita memang sudah asing sejak awal, jadi adaptasi itu butuh memakan banyak waktu, so kamu gak perlu ngerasa bersalah atau gak enak gitu. Aku biarin mereka ke sini, bukan untukku, tapi untuk Eyang,” balasku pada ucapan Fira.

“Iya, Far. Aku tahu, makasih ya.” Fira mengucapkan terima kasih yang aku angguki. Setelahnya kami saling terdiam kembali, menatap lurus pintu yang belum terbuka sejak setengah jam lalu.

Beberapa menit menunggu, Pak Budi datang dengan sejumlah berkas kertas di tangannya. Tak berselang lama, Mama dan Baba pun datang, mereka langsung memeluk Fira yang sejak tadi memang sudah melihat kedatangannya. Aku? Diriku terdiam di tempat, tak ada pergerakan apa-apa dan tak pula bercengkerama dengan mereka. Diriku teramat berjarak dan memang se asing itu dengan kedua orang yang berlabel orang tua kandungku, karena itu aku memilih untuk diam saja di tempat, dibandingkan harus seolah akrab padahal tak diinginkan juga.

Pak Budi mendekat ke arah mereka bertiga, lalu bercengkerama sebentar, dan setelahnya kembali duduk di samping kiriku. Tanpa ada angin, tiba-tiba saja Pak Budi membaca pikiranku. “Jangan dilihat terus, Non. Ada saya dan Eyang di sini, Non Fara masih punya kita berdua kok,” ujar Pak Budi dengan suara lirih.

Diary Terakhirku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang