prologue

158 63 20
                                    

Benda pipih dengan bentuk panjang dan dua garis merah bergerak diatas telapak tangan yang terlihat bergetar dan berkeringat. Perempuan yang sedari tadi memegang benda itu, merosotkan tubuhnya. Membungkam mulutnya dengan telapak tangannya saat Testpack ia pegang menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan perkiraannya yang sebelumnya.

Ia sudah benar-benar positif hamil akibat dari perlakuan sang kekasih kepadanya. Ia menangis, tidak mengerti hal apa yang bisa ia lakukan setelah menerima kenyataan ini. Air matanya mengalir deras di pipi, perutnya ia pegang dengan ketidak percayaan yang pasti. Ia tidak ingin ini terjadi padanya dengan cepat, semua yang ia kejar saat ini belum benar-benar usai. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi orangtuanya mendengar fakta bahwa anak sulungnya telah hamil.

Dengan badan yang agak sempoyongan ia berusaha keras untuk bangkit, dengan tangannya yang menggenggam Testpack itu. Ia berjalan cepat menuju kamarnya, dan kini ia menghubungi nomor sang kekasih dengan berbicara keadaannya saat ini.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area." Itulah suara yang kerap kali perempuan itu dengar saat ia menempelkan ponselnya ditelinga dengan menghubungi sang kekasih saat ini, Ia menggigit bibirnya tanda kesal sekaligus kesakitan atas semua ini, tidak ada kabar dari sang kekasih untuk saat ini. Sudah ada lima belas panggilan namun tidak ada jawaban sama sekali, ia dengan mata sembab nya duduk diatas ranjang sembari mengacak-acak rambutnya dengan jiwa yang terlanjur menyesal ini, dikarenakan dia tidak begitu tahu jika perbuatan dengan kekasihnya ini dapat menimbulkan hal yang membuatnya semakin uring-uringan. Ia bingung, berfikir apakah sang pacar akan bertanggung-jawab dengan kehamilannya ini atau tidak. Hingga sekali lagi ia menangis dengan sejadi-jadinya di atas ranjang dengan memikirkan itu semua.

...

"Aku ingin berbicara serius denganmu."

Hingga akhirnya perempuan itu bisa bertemu dengan sang kekasih, duduk di bangku taman yang dihadapan mereka sudah terpatri oleh bunga-bunga yang sebentar lagi agaknya akan bermekaran, dan di tambah lagi dengan angin yang melewati mereka berdua dengan santai. Namun, perempuan itu hanya bisa menunduk sembari menggenggam tangannya.

Kini sang kekasih beralih padanya sembari dengan tersenyum kecil, "Berbicara apa?"

Dengan perasaan cemas dan juga mata yang kemerahan, dengan berani ia mengangkat kepalanya, sirat matanya ia tidak ingin di tinggalkan oleh sang kekasih dengan kabarnya saat ini.

"Tapi kau janji setelah mendengar ini kau tidak boleh meninggalkan ku, ya?" Perempuan itu mengigit bibirnya setelah berucap.

"Iya aku berjanji" Ucap Sang pria.

Ia terlihat menghembus nafasnya pelan, "Aku hamil"

Sang kekasih yang mendengar itu lantas terkejut bersamaan dengan jantungnya seketika berdetak kencang, tidak tahu harus mengekpresikan apapun dengan kabar ini. Ia benar-benar belum siap dengan kehadiran dari rahim pacarnya walaupun ia yang sudah menanamnya terlebih dahulu. Matanya pun berpindah pada perut yang sudah di tutupi oleh kemeja putih itu, ia memejamkan matanya.

"Ku harap ini tidak benar-benar," Ujar sang kekasih dengan tidak percaya. Walaupun hati demi kian sudah mengingat bagaimana mereka melakukannya beberapa waktu lalu.

Mata perempuan itu menatap sang kekasih dengan perasaan kecewa, "Kau menganggap aku berbohong dengan semua ini? Kita melakukannya, bagaimana kau tidak ingat!"

Air mata perempuan itu benar-benar tidak bisa dibendung lagi, air mata yang berusaha ia tahan sudah tumpah dibawah matanya mengalir tanpa bersalah dipipinya.

"Tidak-"

Perempuan itu memperlihatkan Testpack dihadapan kekasihnya, benda yang menjadi saksi atas semua ini. Dan itu telah menandakan garis biru dua. Sang kekasih mengambilnya, menatap benda yang ia pegang dengan jantungnya yang tidak berhenti untuk normal atas kabar ini. Ia juga mengenggam Tespack itu dengan hal yang mungkin tidak bisa dijelaskan secara rinci.

"Kau tidak akan meninggalkanku 'kan?" Perempuan itu bertanya.

"Dan sudah seperti ini, aku tidak akan meninggalkan mu."

Sang kekasih membawa perempuan itu kedalam pelukannya. Pemandangan dua pasangan yang tengah hancur derai atas kabar yang tidak mereka inginkan dalam waktu seperti ini. Dan ini sudah terjadi. Dengan si Pria yang menanam dan pastinya ia juga akan bertanggung-jawab atas semua ini.

"Kau tidak perlu risau. Aku akan berbicara dengan orang tua mu dan juga orang tua ku. Dan kita akan menikah nantinya."

...

Waktu tidak bisa diubah, dan detiknya juga menjadi sangat berharga. Namun janji ataupun ucapan yang diusulkan oleh sang kekasih nyatanya semakin membuatnya tersiksa saat ini. Kehamilannya telah besar dan diperkirakan sudah tiga bulan lamanya. Ia menyesal dengan semua ini, ataupun percaya pada omongan pria yang menjadi cintanya dalam dua tahun ini. Janjinya akan berbicara dengan orang tua dan secepat mungkin akan menikahinya, dirinya justru dipaksa menelan telak semua ini. Ia belum bisa menerima kehamilannya saat ini dan juga bingung apa yang harus ia lakukan. Orang tuanya mungkin mendapatkan kabar ini pastinya tidak akan menanggapi ia sebagai anaknya.

Percobaan dengan menggugurkan kandungan sudah ia lakukan, namun ia harus kembali kepada kenyataan dimana ia akan menjadi seorang pembunuh pada janinnya sendiri. Dan juga ia tidak bisa melakukan itu, tiga hari menangis bahkan sampai saat ini. Meringkuk dibawah kasur tanpa memperdulikan kuliahnya yang sudah menunggunya berbulan-bulan itu.

Perempuan itu nampak duduk disamping jendela kaca yang besar, menampilkan kota-kota di bawah sana. Ia dengan wajah kacaunya hanya bisa merenung kapan sang kekasih bisa kembali pada janjinya dan mempertanggung jawabkan semua ini. Ia kemudian meneteskan air matanya kembali, dan berfikir itu semua tidaklah mungkin terjadi. Ia menunduk, mengelus perutnya yang terlihat sedikit buncit itu, tak disangka air matanya kembali jatuh dan membasahi mata kakinya.

"Apakah aku harus membesarkan anak ini?" Ia berucap demikian dengan nada bergetar bersamaan dengan air matanya yang mengalir keluar.

Ia menghentikan aksi dengan mengelus perutnya, meringkuk dan menenggelamkan wajahnya pada tekukkan lutut itu. Menangis dengan sangat menyedihkan dimalam hari ini. Ia kembali mengangkat kepalanya, "Dasar pria bajingan! Aku akan membuatmu menyesal dengan anak ini lahir."

To be continue

THE LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang