"Aku capek."
Kalimat ambigu memulai percakapan malam itu.
25 menit yang lalu, Damian menelepon kekasihnya untuk bertemu di taman dekat kampus mereka. Penerima telepon yang ditinggal bingung hanya bisa menerima tawaran terpaksa itu karena sambungan diputuskan satu pihak.
Sesampainya di taman, Cella melihat si pria yang sedang duduk di ayunan—salah satu tempat favorit mereka ketika ingin bercerita. Dari masalah besar sampai sekedar bertukar berita, semua dilakukan di ayunan kecil itu.
Belum sempat dirinya mendaratkan tubuhnya ke atas ayunan kesayangannya, sang pria sudah membuka pembicaraan. Suatu hal yang tidak lumrah dalam buku Cella.
"Ada apa? Sini cerita. Capek nugas?" hal pertama yang keluar dari benak si gadis disuarakan olehnya, membuat sang lawan bicara terdiam. Ia menundukkan kepalanya, ragu untuk menjawab sesuatu yang akan terumbar pada waktunya.
"Bukan," jawabnya sembari si gadis menyamankan diri dipelukan ayunan. Sang pendengar menunggu kelanjutan dari jawaban singkat itu, namun nihil.
"Terus? Apa dong?" pancingnya. Helaan nafas pasrah terdengar jelas. Lagi-lagi sang pendengar tetap setia menunggu jawaban dari sang pembicara.
"Kita."
"Hah?"
"Aku capek sama kita, Marcella."
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Damian memanggil Cella dengan nama depannya. Tentu hal ini membuat si gadis cemas, ditambah dengan kata sebelumnya,
kita."Maksudnya kita? Kebiasaan deh, ngomong setengah-setengah," celetuk Cella sambil tertawa canggung, mecoba mempersiapkan dirinya terhadap jawaban yang akan diutarakan pria itu.
Sunyi menyelubungi taman. Remang lampu jalan turut menemani mereka yang masih setia di bawah rembulan. Seperti halnya taman, yang mengajak bertemu juga terdiam seribu bahasa.
Jika boleh jujur, Cella memiliki beberapa tebakan akan apa yang ingin dibicarakan oleh kekasihnya itu. Tapi sesuatu dalam dirinya menolak percaya akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja disampaikan. Sebelum pikiran kelabu itu merasuki pikirannya, ia ingin mendengarkan lawan bicaranya telebih dahulu, siapa tahu memang bukan apa yang ia pikirkan. Semoga saja.
"Kita, bukan, aku capek sama hubungan ini. Rasanya gak jalan kemana-mana." Detak jantung Cella rasanya seperti ingin berhenti. Hipotesanya benar.
"Empat tahun itu gak lama La. Tapi bener aku capek."
"Rasanya ... it's like I fell out of love a long time ago. Aku minta maaf La ...."Seperti vas bunga cantik yang terjatuh, kini hati Cella hancur berantakan. Matanya memerah, berusaha menahan cairan bening keluar darinya, Tangannya sedikit bergemetar, Kakinya menopang ayunan yang sedari tadi bergoyang. Baginya, waktu kini berjalan sangat pelan, membuat sakit itu bertengger lebih lama.
Masih belum puas menyakiti hati kecil Cella, sang pria melanjutkan monolognya, "Aku juga gak tau kenapa tiba-tiba aku kayak gini. Percaya sama aku kalo aku pernah sayang sama kamu, La. Saat itu aku bahagia sama kamu, bareng kamu."
Oh astaga. Hati Cella rasanya sedang menaiki roller coaster terekstrim dunia, naik turun dan berkelok tak karuan. Ingin sekali ia berteriak, melepaskan rasa cemas dan kecewanya, tapi Cella tetaplah Cella; gadis yang selalu ingin terlihat tegar.
"Kamu dari kapan udah ngerasa kayak gitu?" rintih sang gadis perlahan. Lawannya berfikir sejenak, mereka ulang memori-memori lamanya, mencoba mematokkan waktu yang tepat. Mencari saat dimana ia berhenti mencintai manusia yang terduduk lesu di sampingnya. "Setahun yang lalu, give or take." jawabnya dengan nada tidak yakin. Satu tahun, bayangkan. Ada di dalam relasi romantis bersama orang yang tidak mencintaimu seperti kamu mencintai mereka. Sungguh perbuatan yang keji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of Our City
FanfictionBuku yang memaparkan kisah singkat mereka yang dibaca sekali lahap. Tentang romansa yang mengundang kupu-kupu untuk singgah Tentang perpisahan yang kadang-kala harus diikhlaskan Tentang tragedi, tangis, dan pilu Tentang relasi antar manusia Tentang...