Last Train to Tokyo [Lee Haechan]

0 0 0
                                    

Kereta malam menuju Tokyo penuh ditumpangi berbagai macam orang di dalam bilik mereka masing-masing. Kelegaman langit menjadi pemandangan para penumpang yang sibuk dengan dunia mereka sendiri-sendiri, tak terkecuali dua orang asing yang sedang duduk berhadapan dalam satu bilik berpatungan. Di sebelah kanan, ada seorang pria tua yang asik menghisap batang nikotinnya, sekali dua kali menggigil tipis. Sedangkan di sisi sebaliknya, ada seorang remaja yang terlihat sebal dengan bual putih menyengat itu. Mukanya dilipat rapat-rapat sedari tadi, kala si Pak Tua mematikkan batang pertamanya.

Sang Remaja sedari tadi menegur si Pak Tua. Jelas sekali peraturan kereta menyatakan bahwa merokok dapat berujung denda, namun pria paruh baya itu mengelak peringatan sesama penumpang. "Saya kedinginan, bocah," ketusnya di sela menghembuskan asap yang sungguh menyebalkan. "Biarkan saya nikmati rokok ini!" lanjutnya dengan suara parau khas penikmat batang olahan tembakau itu.

Memang benar, musim dingin sudah berkunjung ke Jepang selama beberapa hari, mungkin saja sudah menyentuh batas seminggu. Kehadiran angin dingin tidak pernah absen dan selimut putih sudah berani menutupi semua obyek yang bisa ditimpanya. Sekarang pun, kristal-kristal mungkil terlihat jelas di luar jendela, menari-nari diterpa angin hembusan transportasi tabung ini.

Tapi tetap saja, menurut si Remaja, ini tidak adil. Uang yang diberikan tidak berbuah hasil yang diinginkan. Padahal, ia sudah merencanakan banyak hal yang bisa dilakukan selama perjalanan dari kampung halamannya ke kota terkenal di kalangan turis itu. Alih-alih kenikmatan santai yang dibayangkan, ia malah merasa sesak sampai ingin muntah.

Baiklah, si Remaja memutuskan untuk mengalah. Ia angkat kakinya, beranjak pergi ke luar bilik dengan hentakan yang luar biasa kasar. Si Pak Tua tak memberikan setetes peduli, malah berbahagia melihat anak kecil yang mengoceh menghilang dari hadapannya.

Si Remaja menelusuri lorong kecil kereta setelah bebas dari ruang berasap itu. Tiap satu langkah timbul jejak penyesalan. Bagaimana tidak? Belum ada lima menit, badan tipisnya mulai menggigil kedinginan. Mantel merah yang ia kira tebal nyatanya tak mempan meninggikan suhu tubuhnya diantara rendahnya suhu ruangan. Ia memohon kepada siapa pun di luar sana agar si Pak Tua menjengkelkan itu lekas terlelap atau setidaknya menekan bara yang sama menyebalkannya dengan dirinya.

Diselipkannya kedua tangan di atas dada, gatal betul ingin masuk kembali ke dalam bilik. Niat itu dengan cepat ditepis jauh-jauh kala mata mendapatkan pria yang sama masih belum selesai dengan urusannya. Sudah terhitung sekitar 30 menit.

Dirinya hanya bisa berlalu-lalang, mondar-mandir diantara sempitnya lorong. Masih setia mengapit kedua tangan agar tak memutih dan beku di tempat.

"Hei, kamu ngapain?" suara tenor masuk dengan sopan ke dalam telinga. "Ah, maaf, saya ngalangin ya?" Dengan takut-takut, si Remaja menempelkan diri kepada tembok, memberi jalan kepada suara yang ia dengar tadi. Kepalanya mendongak, bertemu mata sang lawan bicara. Seorang pria bermata coklat nyaris hitam, berkulit sawo matang, dan berambut hartal yang berseri di bawah remang lorong. Ia berlapis serba-serbi coklat, krem, dan segara yang ada di antaranya, bercelana jeans biru gelap yang dikencangkan oleh gesper hitam, serta sepatu coklat tua bludru dengan sedikit hak di bagian tumitnya. Suaranya pun semanis warna yang mendominasi bagian kepala sampai dada.

"Bukan, bukan itu." Pemuda itu mendengus pelan dan menyelipkan tangannya ke punggung si Remaja, mendorongnya agar tidak tetap menempel pada tembok. "Maksud saya, kamu kenapa di luar bilik? Sudah larut, loh." Yang tertangkap basah melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan kirinya. Hampir pukul 12 malam — 11.40, lebih tepatnya. "Kalau lagi cari sesuatu atau apa lah, mungkin saya bisa bantu? Soalnya saya lihat-lihat dari tadi, kamu bingung begitu." Raut si Remaja pucat pasi. Matanya membelalak kala pikiran aneh terlontar di dalam kepala, berjungkal balik dan menerka sebenarnya siapa identitas si Pemuda. Penguntit? Pencuri? Atau mungkin dia ingin menjadikan dirinya sebagai sandera?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tales of Our CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang