Balcony's Yellow Beanbag [Huang Renjun]

4 1 0
                                    

Gelap gulita. Langit hitam tak berbintang menjadi teman malam itu. Kuhirup udara dingin balkon apartemen, tak terhitung sudah berapa kali kuhela udara yang sama berat-berat.

Gumaman tipis mengisi udara, senandung melankoli isi hati yang sedang dilanda bosan. Ingin sekali aku menangis tapi rasanya stok air mata sudah mulai habis. Mungkin efek sudah menangisi kepingan hati selama seminggu, entahlah. Tapi tetap saja rasanya masih janggal. Hatiku masih ingin menumpahkan satu per satu butiran air sambil sesegukan tak kenal waktu.

Percaya saja bila aku katakan semua usaha sudah kucoba. Mendengar lagu galau dari berbagai penjuru dunia? Tidak mempan. Membaca cerita tragedi? Nyaris tertidur karenanya. Menonton film sedih? Sama sekali tidak. Jadi di sinilah aku, menatap langit gulita tak berujung.

"Ada orang, ya?" terdengar suara dari unit sebelah. Suara familiar yang sudah kukenal sejak berpindah ke gedung ini. Rafael Flavio, namanya. Kadang dia yang bersedia kuganggu untuk menitip atau menemani berbelanja dan berbagai aktifitas rumahan lainnya. Kadang kala mengobrol atau menyebrang di saat-saat bosan dan sepi. Juga, dialah yang menjadi sasaran utama ketika ada bumbu yang habis tapi tak sempat membeli. Bisa dibilang kami cukup akrab.

"Eh, kedengeran. Maaf, Raf," balasku, badan masih melekat di beanbag  kuning kesayangan. "Nggak ganggu sih, tapi kamu gak dingin?" Batang hidungnya akhirnya muncul, menyenderkan diri di pagar perbatasan unitku dan miliknya. Setelah kupikir-pikir, benar juga. Musim gugur sudah sampai di penghujungnya. "Agak, tapi gak apa." Kupaksa senyum untuk mengembang.

Ia berbalik, masuk ke rumah sementaranya. Tak mengubris atau berharap banyak, aku kembali bersenandung. Mungkin tadi dia bertegur sapa hanya untuk sopan-sopanan. Tapi tak menutup kemungkinan bahwa dia takut karena ada suara misterus dari luar unitnya. Yah, Rafael Flavio yang satu ini tak luput dari kata takut. Meski dia selalu menyangkal, tak pernah sekalipun ulah isengku gagal membuat dirinya bergidik.

Mataku kembali menelusuri luasnya angkasa. Memandang satu dua awan abu yang lewat. Pikiranku berkelana, lebih tepatnya memutar-mutar kejadian yang membuatku seperti ini. Di tengah berfikir, tiba-tiba sebuah benda berat menimpaku, menghasilkan hembusan angin dingin yang menggores muka. Kuperiksa benda itu, mengangkatnya tinggi-tinggi. Sebuah selimut kuning pucat dengan seorang karakter kartun yang sedang menggenggam bunga tepat di tengahnya. Entah apa makhluk itu, tapi ia terlihat cukup lucu dengan perut buncitnya. "Jangan dingin-dinginan," ucap pelaku serangan ambush sembari memanjat balkonku.

"Makasih." Kutarik selimut itu menutup dagu. "Mau minum gak?" tawarku, berusaha menjadi tuan rumah yang baik. "Ada apa aja emangnya?" sahutnya sambil membersihkan lutut tapakan. Kakinya masih belum sempurna berdiri. "Gak tau, coba masuk aja. Ambil sendiri, maksudnya." Ia menghembuskan nafas kasar, menepuk lututnya untuk terakhir kalinya, sama ketusnya. "Kalo gitu, ngapain nawarin?" ocehnya, tapi kakinya tetap beranjak ke dalam unitku. Dasar labil.

Segelas air lemon kini bersender manis dalam genggamannya. Badannya ia letakkan di atas kursi kayu, tepat di seberangku. "Kenapa?" tanyanya santai, menyeruput minuman yang ia buat. "Gak ada apa-apa," gumamku pelan. Aku tidak masalah dengan kehadirannya, malah sebaliknya. Hanya saja menceritakan hal ini terasa seperti memberikan sejumput garam ke permukaan luka yang belum tuntas tertutup.

"Gak kedengeran." Pria ini memang sangat menyebalkan, sungguh. "Gak ada apa-apa, Raf," kuulang lebih lantang, menatap sinis ke arahnya. Dia? Malah mendengus kecil, mengangkat kakinya ke arahku. "Geser," perintahnya singkat. Aku menurut, menggeserkan tubuhku 1 milimeter jauhnya. "Geser, atau aku tindih?" Kutekuk mukaku rapat-rapat, menantang dengan tatapan.

"RAFA! YA GAK NINDIH BENERAN JUGA DONG?! SAKIT, HEH! BERDIRI!!!" aku menjerit-jerit, memukul punggung yang menibanku kasar. Tubuhnya jatuh tepat di sebelahku, membuat lekukan baru di badan beanbag kuningku. "Lah, aku udah bilang kan? Ngeyel sih." Ia angkat pundaknya, bergaya di hadapanku. Anak ini memang benar-benar.

Tales of Our CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang