Sejak tahu tentang cinta, aku pernah berkata pada diri sendiri bahwa aku tidak ingin mempunyai mantan. Kalau tidak ingin mempunyai mantan, seharusnya kita tidak berpacaran, bukan?
Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang aku katakan. Inilah awal dari segalanya. Awal yang membuka jalan untukku memiliki seseorang yang nantinya akan kusebut sebagai mantan. Mungkin yang menyebabkan aku akhirnya memutuskan untuk menerima pernyataan cinta dari orang itu adalah teman-teman disekitar. Karena saat aku melihat mereka, sepertinya menyenangkan mempunyai seorang pacar. Bisa diajak untuk bertukar pikiran, mengerjakan tugas bersama, bisa mengobrol setiap hari, dan yang pasti membuat handphone tidak sepi lagi hahahaaa.
Altas adalah nama pacar pertamaku. Dulu kami tidak dalam satu kelas yang sama, tetapi kelas kami berdampingan. Saat itu kami masih duduk dibangku kelas tujuh. Gaya pacaran kami sangatlah positif, tidak bertemu jika tidak bertukar buku LKS, istirahat, dan saat menjalankan Sholat Dzuhur. Jarak rumah kami sangat dekat, tetapi kami tidak pernah memutuskan untuk bertemu ataupun pergi jalan-jalan bersama.
"Bahasa Inggris halaman tiga puluh delapan, udah?" tanya Altas saat berpapasan denganku seusai mengambil air wudhu
"Udah, Al. Tapi belum dibahas, soalnya jadwal Bahasa Inggris masih besok dijam terakhir" jawabku sambil membenarkan lengan baju yang kugulung sampai siku
"Yaudah nanti coba dicocokin, punyaku udah dibahas tadi dikelas" aku mengangguk dan tersenyum simpul
"Iya siap, makasih ya" gantian Altas yang mengangguk dan tersenyum
Setelah percakapan singkat itu, Altas dan aku segera menuju barisan kami masing-masing. Mukenah yang lebih dulu aku letakkan diatas sajadah sebelum berwudhu segera kupakai. Saat adzan berkumandang, Altas sempat menengok kebelakang dan tersenyum padaku. Altas orang yang lembut, tidak pernah aku melihatnya marah, dan dia juga murah senyum.
Sempat aku berpikir tentang hubungan ini akan seperti apa. Apakah Altas akan mengatur kehidupanku seperti yang dilakukan pacar temanku, atau akan sering marah karena hal sepele. Ternyata jauh dari dugaan ku. Altas justru membebaskan aku akan seperti apa, asalkan aku mengeti batasan-batasan yang tidak seharusnya dilakukan, dan Altas akan selalu bertanya jika ada yang mengganggu pikirannya.
"Nih, La. Jangan lupa dipakai" ucap Altas yang tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku sembari menyodorkan sebuah liontin perak yang cantik
"Hah? aku lagi enggak ulangtahun, Al" kataku sambil menatap liontin ditangannya bingung
Aku meletakkan cikrak dan sapu dibawah. Ya, saat itu aku sedang piket sepulang sekolah. Supaya pagi besok tidak terburu-buru untuk segera berangkat karena ada jadwal piket kelas. Dan lagi, lebih mudah membersihkan kelas saat semua penghuninya tidak ada alias sudah jam pulang. Dan Altas pun memiliki jadwal piket yang sama denganku, itulah kenapa saat ini ia masih berada disekolah.
"Harus ulangtahun dulu baru boleh aku kasih kamu hadiah?" Altas menarik tanganku dan meletakkan liontin nya disana
"Bagus, Al. Makasih banyak ya, nanti aku pakai" Altas mengangguk dan tersenyum
"Udah selesai piketnya?" tanya Altas
"Udah Al. Tapi aku mau keperpustakaan dulu, sekalian nunggu Nidya selesai kumpulan PMR" jawabku dengan disertai senyuman, "Kamu duluan aja pulangnya" lanjutku
"Oh gitu, yaudah aku duluan ya, soalnya ada tugas kelompok sama Gilang. Kamu pulangnya hati-hati" balas Altas sembari melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya
"Iya siap, yaudah sana, kasihan Gilang nungguin kamu lama" Altas mengangguk dan langsung berjalan menuju gerbang sambil melambaikan tangannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK TERAKHIR (On Going)
Teen FictionAku, Aisyah Shaila Amrulah yang ingin berdamai dengan hati. Ingin mengesampingkan persoalan cinta, tetapi ternyata sangat sulit bagi ku. Apa karena hati ku yang terlalu mudah rapuh? Terus menerus overthinking hingga aku benar-benar menemukan yang ku...